Home > Ojk > Ojk
Selasa , 06 Jun 2017, 11:20 WIB

Mengenal Seluk-beluk Pembiayaan Syariah

Red: Gita Amanda
Fanny Octavianus/Antara
Pembangunan infrastruktur juga bisa dibiayai dengan pembiayaan syariah, ilustrasi
Pembangunan infrastruktur juga bisa dibiayai dengan pembiayaan syariah, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Industri Keuangan Non-IKNB Syariah (IKNB Syariah) menjadi industri yang berkembang cukup pesat sejak masa berdirinya OJK. Dari beragam industri yang ada di IKNB Syariah, pembiayaan syariah menjadi salah satu primadona yang terus melakukan pengembangan produk.

Pembiayaan syariah memang sudah tak asing lagi di telinga, seiring dengan perkembangannya yang kian melesat. Walaupun demikian, banyak yang masih belum mengetahui di mana letak perbedaan antara pembiayaan berbasis syariah dengan pembiayaan konvensional yang ada. Unit Usaha syariah specialist PT Radana Finance Tbk, Dwi Yuni Atik, memberi contoh satu produk yang dimiliki oleh hampir semua Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yaitu produk pembiayaan pengadaan barang dengan prinsip transaksi jual beli. Perbedaan yang paling kasat mata yaitu dari dokumen-dokumen kelengkapan pembiayaannya.

Menurut Dwi, beberapa dokumen seperti formulir persetujuan pembiayaan, aplikasi permohonan pembiayaan dan persyaratan-persyaratan pembiayaan lainnya bisa jadi tidak ada perbedaan dengan dokumen pembiayaan konvensional. Hanya saja menurutnya, yang membedakan dalam pembiayaan konvensional ada yang disebut sebagai kontrak perjanjian pembiayaan atau perjanjian kredit, sedangkan dalam map syariah dokumen tersebut disebut dengan akad pembiayaan murabahah. 

"Hal lain yang membedakan yaitu pada kontrak pembiayaan konvensional prinsipnya adalah pinjaman dana untuk pengadaan barang. Sedangkan pada akad pembiayaan murabahah, prinsip yang digunakan adalah jual beli atau murabahah dengan pembayaran dilakukan secara angsuran," ujarnya melalui siaran pers, Selasa (6/6).

Lalu Dwi melanjutkan, yang menjadi perbedaan dimulai pada persoalan kontrak pembiayaan konvensional yang prinsip kontraknya adalah pinjaman dana. Mengapa prinsipnya pinjaman dana? Sebab menurutnya nasabah meminjam dana dari LKS untuk membeli barang tertentu yang dijual oleh supplier dan nasabah mengembalikan dana pinjamannya tersebut secara angsuran selama tenor tertentu yang telah disepakati. Pada pembiayaan konvensional, setiap pinjaman dana akan dikenakan bunga, sehingga angsuran yang dibayarkan oleh nasabah merupakan komposisi dari pinjaman pokok ditambah dengan bunga.

Pada pembiayaan syariah, akad yang digunakan adalah akad jual beli (murabahah) antara LKS sebagai penjual, dan nasabah sebagai pembeli. Namun LKS menurut Dwi, tidak menjual barang yang diinginkan tersebut kepada nasabah secara langsung melainkan memberikan kuasa kepada supplier untuk menjualkan barang tersebut kepada nasabah.

"Jadi posisi supplier disini bukanlah sebagai penjual, namun sebagai wakil dari LKS untuk menjualkan barang kepada nasabah. Keuntungan yang diambil oleh LKS berupa margin, sehingga harga jual yang dibayar oleh konsumen berupa angsuran berasal dari harga beli barang ditambah dengan margin yakni berupa nominal fix," kata Dwi.

Perbedaan selanjutnya yaitu pada sanksi yang dikenakan kepada nasabah jika lalai membayar kewajibannya tepat waktu. Pada pembiayaan konvensional, sanksi keterlambatan atau yang biasa disebut dengan denda dikenakan kepada nasabah yang lalai membayar angsuran tepat waktu sesuai tanggal jatuh tempo yang disepakati sebelumnya. Besarnya sanksi yang dikenakan pada setiap nasabah konvensional tidak sama karena tergantung pada besarnya angsuran misalnya dikalikan persen dari jumlah angsuran untuk setiap hari keterlambatan. Jumlah sanksi yang didapatkan pada pembiayaan konvensional diakui sebagai pendapatan perusahaan.

Namun Dwi menambahkan, seperti halnya pada pembiayaan konvensional, pada pembiayaan syariah juga diperbolehkan mengenakan sanksi kepada nasabah yang lalai membayar kewajibannya atau angsuran tepat waktu. Akan tetapi pada pembiayaan syariah, sanksi yang dikenakan jumlahnya tidak tergantung pada besarnya angsuran.

"Sanksi yang ditetapkan oleh LKS misalnya sebesar Rp X (nominal fix) pada setiap angsuran yang menunggak dan tidak dihitung per hari keterlambatan. Kemudian yang membedakan dengan sanksi pada pembiayaan konvensional disini adalah jumlah sanksi yang terkumpul pada pembiayaan syariah tidak boleh diakui sebagai pendapatan LKS dan seluruhnya diperuntukkan untuk dana sosial yang disebut dengan dana ta’zir," ujarnya.

Lalu bagaimana dengan kerugian yang dialami perusahaan akibat wanprestasi akad syariah karena nasabah tersebut? Dwi menerangkan, sesuai dengan Fatwa DSN MUI nomor 43, kerugian yang secara riil benar-benar dialami oleh para pihak dalam transaksi wajib diganti oleh pihak yang menimbulkan kerugian.

Oleh karena itu, nasabah wajib mengganti kerugian yang dialami oleh LKS akibat keterlambatannya dalam membayar angsuran. Besarnya ganti rugi atau disebut dengan ta’widh yang dikenakan harus sesuai dengan jumlah kerugian riil yang diderita, maka dari itu pengenaannya tidak boleh berupa prosentase melainkan berupa nominal.

Jumlah nominal ganti rugi tersebut, menurut Dwi, tidak boleh disebutkan di dalam akad karena belum terjadi saat akad dilakukan. Namun jumlah ganti rugi yang didapat boleh diakui sebagai pendapatan LKS dan digunakan untuk menutup kerugian yang dialami LKS.