Ahad 08 Jan 2017 15:00 WIB

Awasi Dinasti Politik

Red:

JAKARTA  Koordinator Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng menuturkan, tidak ada satu daerah yang maju dan inovatif dengan kepemimpinan dinasti politik. Faktanya seperti itu," kata dia di Menteng, Jakarta, Sabtu (7/1).

Menurut Endi, dinasti politik dan korupsi seperti koin yang memiliki dua sisi. Dinasti politik amat rentan terjadi korupsi. Sayangnya, pemerintah masih terjebak pada anggapan dinasti politik adalah bagian dari hak politik tiap individu yang bersangkutan dan pihak yang berdinasti politik belum tentu korup.

Pemerintah, lanjut Endi, perlu membangun sistem pencegahan yang baik. Pemerintah pusat selama ini masih seperti pemadam kebakaran terhadap kondisi di daerah yang melakukan dinasti politik. Ia mencontohkan kasus korupsi yang terjadi Kabupaten Klaten. "Di Klaten itu sampai dibikin daftar harga, tarif, dan banderolnya (untuk pengisian jabatan)," ujar dia.

 

Dinasti terlama

Endi menyebut tiga model dinasti politik yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Model dinasti politik pertama adala dinasti regenerasi. Dinasti politik ini dilakukan secara bergilir tanpa jeda. Daerah yang pertama kali melakukan dinasti politik adalah Kabupaten Kediri dengan kepemimpinan di bawah Sutrisno selama dua periode sejak 1999 sampai 2009.

"Jadi, memang ini dinasti pertama yang sebetulnya paling lama di Indonesia, sejak 1999 dipimpin keluarga," kata dia.  Kemudian, berlanjut ke istri pertama Sutrisno, Haryanti. Dalam pertarungan pilkada 2009, pun terjadi persaingan antara Hariyanti dan Nurlaila sebagai istri kedua Sutrisno yang juga ikut mencalonkan diri .

Hingga kini, Kediri masih dipimpin Bupati Haryanti Sutrisno itu. Dinasti politik ini kemudian menular ke daerah lain, seperti Provinsi Banten dan Kota Cimahi.

Model kedua adalah dinasti lintas kamar yang terjadi di Provinsi Aceh. Misalnya, kerabat yang masih satu keluarga itu ada yang menjadi pejabat di suatu dinas atau anggota DPRD setempat. Dalam kondisi ini, kontrol dari masyarakat dan check and balances tidak terjadi.

Model ketiga, yakni dinasti politik lintas daerah. Misalnya, anak seorang kepala daerah atau orang yang masih satu keluarga dengan kepala daerah di suatu tempat menjadi pejabat publik di daerah lain. "Tiga model ini yang ada di Indonesia," kata dia.

Menurut Endi, masyarakat harus betul-betul didorong untuk peduli dengan kondisi pemerintahan di daerahnya sehingga bisa ikut mengawasi. Ia mengakui, masyarakat di daerah kerap ketakutan untuk melapor jika menemukan penyimpangan.

"Isu apa pun yang muncul di masyarakat itu harus diperhatikan, jadi harus membangun kesadaran masyarakat," ujar dia.

 

 Menurut Endi, fenomena dinasti politik yang terjadi di sejumlah daerah ibarat fenomena desentralisasi yang sentralistik.

"Sesungguhnya diharapkan terjadi penyebaran (pembangunan). Fakta mengatakan terjadi penggumpalan (kekuasaan)," ujar dia. Penggumpalan kekuasaan di tingkat daerah itu merupakan sentralisasi yang terjadi di tingkat lokal yang berbasiskan pada jejaring yang kuat. Jejaring ini juga yang membuat potensi korupsi itu makin kuat.

 

Belakangan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap kepala daerah yang korupsi. Hingga akhirnya, diketahui, daerah yang terkena OTT KPK itu dipimpin oleh orang yang masih ada hubungan keluarga dengan kepala daerah sebelumnya. Kondisi inilah yang menurut KPK rentan terjadi korupsi. Misalnya, dalam kasus Kota Cimahi dan Kabupaten Klaten.

Belum bikin jera

Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo, menyayangkan penghukuman dari pengadilan tingkat pertama kepada koruptor masih belum memberikan efek jera. Perampasan aset sebagai hukuman kerap tidak termasuk dalam putusan.

Adnan menyatakan, hukuman yang memberikan efek jera bagi koruptor di antaranya upaya pemiskinan pelaku tersebut. Pemiskinan ini dilakukan dengan mengambil seluruh aset yang dikorup oleh pelaku.

"Kalau di pengadilan tingkat pertama kan, trennya, standarnya tidak terlihat sama sekali. Perspektif tentang perampasan aset juga belum terbangun di tingkat hakim," ujar dia di Menteng, Jakarta, kemarin.

Menurut Adnan, perlu ada semacam standardisasi terkait pendekatan dalam melihat perkara korupsi. Ia menambahkan, selain perampasan aset, pencabutan hak politik juga menjadi penting karena ketika hukuman itu diberlakukan, tentu akan menutup peluang munculnya korupsi oleh pejabat. Sebab, seseorang berpeluang melakukan korupsi karena memiliki jabatan politik.       rep: Umar Mukhtar, ed: Nina CH

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement