Ahad 08 Jan 2017 08:00 WIB

Ibu

Kasih ibu (ilustrasi)
Foto: Blogspot.com
Kasih ibu (ilustrasi)

"Setiap hari kau pegang kertas dan pensil itu, siang, malam, tiada hentinya. Untuk apa? Apa kau kira kertas itu dapat kau makan? Kau katakan kau bisa mencari makan dengan pensilmu, mana?! Yang kulihat masih nasi yang kutanak juga yang kau makan."

Begitulah ibu menggurutu setiap melihat aku mencoret-coret kertas. Aku tak marah, tidak sekali pun. Meski terkadang ibu merepet ketika aku sedang menghadap piring nasi. Padahal ayah pernah melarang, jangan memarahi anak ketika dia sedang makan.

Tapi ibu tetap melakukannya padaku. Bahkan pernah lebih pedas lagi kepadaku. Ibu pernah mengancam akan mengusirku jika masih saja menulis dari pada mencari kerja.

"Lebih baik kau cari kerja untuk menabung agar kau bisa melanjutkan ke perguruan tinggi dari pada membuat tumpukan kertas dalam kamar. Lebih baik kau tulis surat lamaran kerja. Kalau kau masih juga menulis yang tiada artinya, lebih baik kau pergi saja dari rumah ini, karena kau tidak lagi mendengar kata-kataku, ibumu, untuk apa kau ku beri makan!"

"Ibu, kelak jika aku jadi penulis besar, aku akan dapat uang banyak."

"Kelak! Kelak...! Kelak...! Kapan!? Sampai kelak kau menyusul ayahmu ke liang kubur?! Terus kau akan mencoret-coret kafanmu?! Apa itu yang kau harapkan dari tulisanmu?!"

"Ibu, aku memang tidak bisa berjanji, tapi aku akan berusaha. Dan aku percaya kelak akan berhasil."

"Berhasil." Suara ibu mengejek ku.

"Iya, ibu."

"Hei, kau bermimpi menjadi penulis. Orang sepertimu, mau jadi penulis?" Ibu menyindirku. "Tunggu saja tumbuh tanduk di kepala kucing betina. Kau kira ada yang membaca coretan jelek mu itu?! Pantas saja sudah beribu koran yang terbit, semua tak tertera nama mu."

"Ibu, jangan mengejek ku. Aku memang selalu mengirimkan tulisanku ke media massa, tak perduli mereka memuatnya atau tidak. Tetapi aku yakin mereka pasti membacanya, hanya saja mungkin belum sesuai dengan misi media itu. Bagi ku, mereka sudah membaca tulisan ku, sudah cukup."

"Dan ketika aku dapat menulis sesuatu, aku puas. Karena hanya dengan menulis aku dapat mengingat ibu. Andaikan hari ini aku menulis tentang ibu ketika marah, kelak jika Ibu tak marah lagi, aku pasti sangat merindukannya."

"Tetapi jika aku menulis bagaimana ibu memarahiku, muka ibu, kata-kata ibu, tangan ibu, langkah kaki ibu, mata ibu, bibir ibu, semuanya tentang Ibu ketika marah, akan ada yang aku ingat. Jika aku rindu ibu marah, aku tinggal melihat tulisanku tentang ibu marah. Bukankah menulis itu sesuatu yang mengasyikkan, Ibu?"

"Tak usah kau mengajari ibumu." ucap Ibu

"Aku tidak mengajari ibu. Aku hanya katakan yang sebenarnya. Nah, coba ibu ingat tentang kenangan ibu bersama ayah semasa sekolah dulu. Sukar 'kan? Kalau ibu masih menyimpan surat ayah, ibu pasti mudah mengingat semua kata-kata ayah. Jika ibu ingat ayah, ibu tinggal membuka suratnya, paling tidak rasa rindu ibu pasti berkurang," ujarku manja seraya memeluk ibu.

Saat itulah ibu diam. Kulihat mata ibu bening. Tapi ibu masih marah, karena kegemaran ibu memang memarahiku, apalagi setelah ayah meninggal. Kegemaran ibu marah padaku semakin bertambah.

Tapi aku tak membalas marah, malahan aku akan berkata manja sambil membawa nama ayah. Dan aku tahu, marah Ibu sebenarnya hanya karena ingin mendengar aku menyebut masa-masa Ibu bersama ayah. Setiap selesai aku mengungkit masalah Ibu dengan ayah, Ibu langsung diam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement