Rabu 28 Dec 2016 16:00 WIB

Mencegah Korupsi Daerah

Red:
Bupati Tanggamus, Bambang Kurniawan (kedua kiri) menuju mobil tahanan usai diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (22/12).
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A.
Bupati Tanggamus, Bambang Kurniawan (kedua kiri) menuju mobil tahanan usai diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (22/12).

Berbagai upaya dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberangus habis praktik korupsi di Indonesia, baik itu melalui program penindakan maupun pencegahan.

Namun, selama ini publlik lebih banyak melihat penindakan KPK sebagai cara yang paling efektif memberantas korupsi. Sementara, dari sisi pencegahan, masih dianggap sebelah mata dan belum banyak mengetahuinya. Padahal, sejak dibentuk 2004 silam, selain menindak para koruptor, KPK juga menyisipkan program pencegahan sebagai bagian upaya memberantas korupsi. Hal ini karena seiring terus meningkatnya kasus korupsi, penindakan dirasa tidak cukup untuk melenyapkan mental dan budaya korupsi para penyelenggara negara.

KPK menilai, pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan perbaikan mulai dari hulu hingga hilir. Artinya, bukan hanya dilihat saat pemberian uang suap, melainkan juga dari penyebab dan celah pemberian suap tersebut.

Kasus-kasus korupsi yang terjadi di pemerintahan daerah pun menjadi jalan masuk KPK melakukan program pencegahan. Pasalnya, hampir sebagian besar kasus korupsi bersinggungan dengan pemerintahan daerah.

KPK menilai, perlu perbaikan tata kelola pemerintahan daerah sebagai upaya pencegahan paling efektif kasus-kasus korupsi. Salah satunya mendorong penggunaan sistem pemerintahan berbasis elektronik (e-government) di daerah.

Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif menyebut pencegahan sebagai upaya untuk menyinergikan dengan kerja penindakan. Sebagai langkah utama, KPK fokus ke beberapa hal yang dianggap celah rawan korupsi.

"Pengadaan barang dan jasa berhubungan sistem perizinan satu atap, memperbaiki APIP yang di dalamnya kita membicarakan dulu e-planning sampai e-budgeting, kita ingin pemda-pemda meng-install ini," ujar Syarif, awal pekan ini.

Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan mengatakan, pencegahan terintegrasi difokuskan KPK kepada enam provinsi target, yakni Aceh, Sumatra Utara, Riau, Banten, Papua, dan Papua Barat. Alasannya agar tidak terjadi lagi korupsi di enam provinsi tersebut. "Dengan catatan, kalau ditemukan tetap dilakukan penindakan," kata Basaria.

Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menjelaskan, koordinasi supervisi pencegahan (korsupgah) sebenarnya telah dilakukan KPK sejak 2012. Tetapi, pada saat itu korsupgah lebih banyak untuk me-review kinerja pemerintah daerah.

Barulah pada 2015 pendekatan korsupgah dititikberatkan pada perbaikan empat hal. Yakni, penerapan pengadaan berbasis elektronik (e-procurement), perizinan terpadu satu pintu (PTSP), APBD berbasis elektronik (e-budgeting), dan efektivitas aparat pengawasan intern pemerintah (APIP).

"Jadi, waktu itu ada bupati bilang begini, 'Pak kalau review kerja kita, ya pasti ada salahnya. Bantu saya di depan dong, bukan pas sudah ada salahnya.' Nah, kita pikir, bener juga ya, harusnya bantu di depan. Nah, itu momen pertama yang bikin korsupgah jadi modelnya begini," kata Pahala.

Pahala melanjutkan, pendekatan korsupgah melalui penerapan empat hal itu juga tidak hanya berlaku pada enam provinsi target. Pasalnya, seiring waktu sejumlah daerah juga menyatakan komitmennya untuk menerapkan program tersebut, di antaranya Bengkulu dan Jawa Tengah.

Selain itu, KPK juga meminta penerapan empat hal tersebut ke daerah-daerah yang mengikuti pilkada serentak pada 2015 lalu. "Nah, empat item ini kita sebut barang wajib yang mau kita benerin. Ini ada target 276 daerah, enam provinsi yang ditargetkan KPK untuk perbaikan," ujar Pahala.

Menu wajib

Pahala menyebutkan, dipilihnya empat menu wajib dalam korsupgah ini mengingat kasus-kasus yang ditangani KPK tidak jauh dari empat item tersebut. Pertama, pengadaan barang dan jasa berbasis elektronik atau e-procurement yang tersentralisasi dengan keberadaan unit layanan pengadaan (UPL) mandiri di setiap pemerintahan daerah.

Menurut Pahala, meski e-procurement telah diadopsi sejumlah pemda, penggunaan e-procurement diketahui masih berada di setiap masing-masing satuan kerja perangkat daerah (SKPD) atau dinas-dinas di daerah. Hal ini membuat standar harga di setiap dinas juga berbeda.

"Makanya kita bilang e-procurement harus sentralize. Ini nggak boleh ngadain sendiri setiap dinas, tapi ada unit sendiri ULP mandiri. Contoh yang paling bagus itu DKI. Dia bikin sendiri. Pegawainya juga bukan dari dinas-dinas, melainkan pegawai khusus. Kerjaannya pengadaan aja tiap hari. Dia terlatih dan paham harga dasar," kata Pahala.

Hal ini sebelumnya juga telah disarankan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP). Tetapi, urung ditindaklanjuti pemda lantaran belum ada instruksi dari Kementerian Dalam Negeri terkait perlu dibentuknya ULP mandiri.

Terlebih, pemahaman daerah bahwa ada Permendagri Nomor 99 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembentukan ULP yang menyatakan bahwa struktur organisasi kabupaten tidak memungkinkan ULP mandiri. Karena itu, pihaknya berencana meminta Kemendagri mengeluarkan peraturan yang menghendaki pembentukan ULP mandiri.

"Padahal, ada PP 18 ya yang memungkinkan reorganisasi agar lebih slim dan ringkas untuk pengadaan terpadu. Kita mau ngomong ini ke Mendagri karena ada Gorontalo yang sudah buat ini. Kemudian harus dibatalkan karena dinilai menyalahi aturan," kata Pahala.

Sementara, menu kedua adalah Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP), yang pada praktiknya di daerah belum terintegrasi keseluruhan. Sehingga, masyarakat yang ingin mendapat pelayanan harus mendatangi loket pelayanan secara terpisah.

Ketiga, yakni soal pembuatan APBD berbasis elektronik atau e-planning atau e-budgeting. Menu ketiga ini, kata Pahala, meminta agar pemda bisa menguraikan susunan APBD daerahnya.

"Tetapi, jangan dibayangkan ini rumit. Jadi, cukup APBD ini diuraikan proyek dari mana, kan melalui musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan) mulai tingkat desa-kelurahan-kecamatan-kabupaten hingga penyusunan kebijakan umum anggaran dan priorotas plafon anggaran sementara (KUAPPAS) diuraikan secara terbuka dan runut," kata Pahala.

Penerapan program ketiga ini dilakukan agar nantinya proyek atau program kerja di APBD jelas asal-muasal dan peruntukannya, bukan berasal dari proyek titipan. Sehingga, jika ada penyimpangan, mudah bagi masyarakat ataupun pengawasan untuk menindak.

Pahala melanjutkan, terakhir, yang tak kalah penting adalah memaksimalkan peran aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) untuk mendukung tiga menu wajib sebelumnya. Pasalnya, selama ini peran APIP dinilai belum maksimal melakukan pencegahan korupsi.     Oleh Fauziah Mursid, ed: Muhammad Hafil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement