DPR: Sektor Energi Masih Sisakan Banyak PR

Rabu , 21 Dec 2016, 23:11 WIB
Fasilitas produksi energi panas bumi yang dioperasikan oleh PT. Pertamina Geothermal Energy Area Ulubelu, Lampung, Senin, (14/12) malam.Republika/Edwin Dwi Putranto
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Fasilitas produksi energi panas bumi yang dioperasikan oleh PT. Pertamina Geothermal Energy Area Ulubelu, Lampung, Senin, (14/12) malam.Republika/Edwin Dwi Putranto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  --  Sejumlah catatan masih menghiasi kinerja sektor energi dan mineral di tahun 2016, baik disektor hulu maupun hilir. Ironisnya, banyak implementasi regulasi yang masih diabaikan dan  menyebabkan kerugian negara.

Sejalan dengan itu, nampaknya masih jauh cita-cita pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) mampu secara gradual menjadi tulang punggung energi nasional.

“Perhitungan cost recovery yang terus naik, perolehan lifting migas yang kian rendah dan tunggakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang masih tinggi masih menjadi catatan kurang baik sektor ESDM di tahun 2016," kata Anggota Komisi VII Rofi Munawar lewat siaran pers, Rabu (21/12).

Rofi menjelaskan, tercatat tunggakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor energi sampai dengan 2016 sudah mencapai Rp 13,1 triliun. Di antaranya, untuk sektor minyak dan gas bumi sebesar Rp 4,4 triliun atau setara  336,17 juta dolar AS.

Jumlah tersebut berasal dari temuan terhadap 143 kontraktor kontrak kerja sama yang belum melunasi sisa kewajiban keuangan di 30 wilayah kerja. Meliputi sisa komitmen pasti 327 juta dolar AS, bonus tanda tangan 2,5 juta dolar AS, barang dan jasa 575 ribu dolar AS, serta jaminan operasi 5,8 juta dolar AS.

"Tentu seluruh potensi penerimaan negara itu harus secara serius dikejar oleh Pemerintah. Jika tidak mampu, selain secara faktual akan mengurangi penerimaan negara juga berpotensi menjadi masalah hukum dikemudian hari," kata  Rofi.

Legislator asal Jawa Timur ini juga menyoroti sektor mineral dan batubara, kebijakan renegoisasi kontrak tidak banyak mengalami perkembangan berarti. Terbukti masih rendahnya komitmen sejumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Kontrak Karya (KK) membangun smelter padahal hal itu diamanahkan oleh UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.