Rabu 21 Dec 2016 17:00 WIB

Perlu Penelitian Lebih Lanjut

Red:

Guru Besar Fakultas Pertanian IPB Prof Elisabeth Sri Hendrastuti menilai, dugaan bakteri pada benih cabai yang disita dari warga negara Cina di Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, perlu diteliti lebih lanjut. Pasalnya, bakteri yang disebut membahayakan bagi tanaman itu bisa disebabkan banyak kemungkinan.

"Perlu diklarifikasi. Betul nggak sih dari Cina. Jangan-jangan bakterinya memang sudah ada. Kemungkinannya apakah bakteri terbawa dari Cina atau memang biji cabai terserang bakterinya pas ditanam di lahan itu," kata Sri, akhir pekan lalu.

Menurut Sri, jenis bakteri Erwinia chrysanthemi sebetulnya sudah ada di Indonesia, tetapi hanya di wilayah terbatas, seperti di sekitar Pulau Jawa. Artinya, memang belum terlalu meluas. "Tanaman inangnya juga banyak, bukan hanya cabai,'' ujarnya menjelaskan.

Secara teori penyakit, kata Sri, sumber penyakitnya harus dimusnahkan. Kemungkinan bisa menular ke tanaman lain harus dicegah. ''Sebaiknya dicabut langsung tanamannya. Tapi, kalau tanaman tidak sakit, ya tidak apa-apa, harus dilihat dulu," katanya.

 

Sementara, Sri mengatakan, pengendalian penyakit secara terpadu pada tanaman cabai yang terserang hama atau virus lebih efektif dibanding pencegahan secara kimiawi. "Strategi pengendalian penyakit harus melalui pendekatan terpadu jauh lebih efektif dibanding pengendalian kimiawi," ujarnya.

Menurut Sri, pengendalian kimiawi digunakan sebagai langkah terakhir. Karena efektivitasnya tidak terlalu tinggi, tapi dampaknya bagi lingkungan dan petani.

Sri menjelaskan, masalah utama yang sering dihadapi para petani cabai adalah gangguan hama dan penyakit. Sementara, penyakit tanaman berpengaruh dalam kehidupan manusia karena kerusakan yang ditimbulkannya dapat mengganggu ketersediaan kebutuhan hidup akan pangan, sandang, dan papan.

Salah satu penyakit yang sering menyerang tanaman cabai, yakni penyakit daun keriting kuning. Penyakit ini dapat menyebabkan kehilangan hasil dan sampai sekarang masih menjadi masalah besar bagi petani di Indonesia.

Gejala penyakit mosaik kuning, daun keriting, dan tanaman kerdil yang menjadi gejala khas penyakit daun kuning cabai pertama kali dilaporkan pada 1998 di daerah Bogor. Kemudian pada 2009, gejala yang sama ditemukan di daerah Magelang, Jawa Tengah, dan Sleman, Yogyakarta.

"Pada 2004, epidemi penyakit daun keriting kuning cabai di daerah Lampung. Ini cukup besar dampaknya dan meluas sehingga menyebabkan petani tidak mau menanam cabai pada beberapa musim tanam karena khawatir merugi," kata Sri.     Oleh Santi Sopia, ed: Muhammad Hafil

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement