Selasa 13 Dec 2016 13:00 WIB

Bunda, Apakah Itu Hoax?

Red:

Berita hoax? Itu salah satu dari sedikit kekhawatiran Fitri Sabarudin (39 tahun) mengenai pemanfaatan jelajah dunia maya. Sebelum ramai-ramai berita hoax mengenai peristiwa politik, dia mengatakan, sudah muncul berita bohong tentang kematian sejumlah tokoh. Termasuk artis Olga Syahputra yang dikabarkan tutup usia jauh sebelum ia meninggal dunia.

Ada lagi hoax seputar produk makanan hingga soal keamanan. Meski, dia menilai, ketiga putrinya yang berusia 17 tahun, 15 tahun, dan sembilan tahun mampu menggunakan akal sehat. Fitri mengaku masih sedikit khawatir mereka akan termakan berita bohong.

Sebagai keluarga yang sering mencari data di dunia maya, Fitri pernah berbicara kepada anak-anaknya tentang berita hoax. Ia juga mengajari mereka untuk menyikapi suatu berita dengan mencari tahu lebih dahulu kebenarannya.

Kayaknya mereka tidak terpengaruh sama berita hoax yang tidak bisa dipercaya asal-mula beritanya, kata wanita yang bekerja di bidang kehumasan ini.

Diskusikan dengan anak

Berbicara mengenai berita hoax, sebenarnya apa sih definisinya? Menurut Deputy Director ICT Watch, Widuri, hoax adalah terminologi yang biasa digunakan untuk berita palsu atau berita bohong yang bertebaran di internet, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Contohnya, berita Jackie Chan meninggal.

Lalu, bagaimana cara orang tua menjelaskan hoax kepada anak? Widuri menyarankan, orang tua melakukan diskusi dengan anak mengenai berita hoax tersebut. Jelaskan bahwa tidak semua informasi yang ada di internet bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Sebelum men-share suatu berita perlu melakukan check dan recheck.

Karena itu, anak perlu bertanya kepada orang tua atau guru atau kakak, apakah berita yang diterima tersebut layak untuk disebarkan atau tidak. Terutama jika berita yang menyangkut kesukaan atau ketidaksukaan terhadap seseorang, ras, atau agama tertentu, ujarnya.

Pendapat senada disampaikan psikolog anak dan remaja dari Yayasan Pulih, Ika Putri Dewi, hoax adalah pemberitaan palsu atau pemberitahuan yang tidak jelas sumbernya dan biasanya isinya tidak benar. Biasanya mungkin banyak tentang kesehatan atau bahaya makanan. Padahal, belum ada risetnya dan bukan dari sumber yang memang ahli di bidangnya. Itulah hoax, ujarnya.

Ika mengatakan, informasi dan berita datang tanpa bisa dicegah. Anak bisa membaca ketika berita itu di-posting di grup, Twitter, akun Facebook temannya, atau share dari teman. Menurut dia, bukan persoalan besar ketika anak telanjur membaca hoax, tetapi jangan sampai anak tidak bisa membedakan dan percaya begitu saja semua berita yang dibaca.

Sangatlah wajar jika anak lebih mudah percaya, karena wawasan masih cenderung terbatas dan reaktif, namanya juga anak-anak, belum matang, ujarnya. Karena itu, cara membantu anak lebih peka terhadap hoax atau tidak adalah dengan memberi beberapa contoh berita hoax yang diketahui. Lalu, diskusikanlah dengan cara menelaah. Diskusikan dengan anak kira-kira logiskah berita tersebut? Apakah berita itu logis dari sudut lokasinya? Apakah orang-orang yang diberitakan benar ada atau tidak? Apakah orang yang diberitakan benar mengalami hal itu tidak? Apakah materinya masuk akal?

Bila perlu, orang tua memakai teori-teori pelajaran di sekolah (teori fisika, biologi, kimia, atau matematika) ketika menganalisis bersama anak. Atau, bila di antara kerabat, misalnya om, tante, atau eyang, yang memiliki latar belakang pendidikan atau profesi terkait bisa dimintai penjelasan logis tentang materi berita hoax tersebut. Selain itu, penting juga mengajak anak mengecek sumber yang tertulis dalam berita tersebut Dengan begitu anak mendapat contoh-contoh konkret tentang berita hoax. Lama-kelamaan secara mandiri ia mampu menyaring secara mandiri, atau paling tidak minta anak untuk bertanya pada orang tua jika ia meragukan isi berita tersebut, lebih baik ragu daripada reaktif, katanya menjelaskan.

Berita hoax bisa jadi viral

Ika mengungkapkan, berita hoax tentu memberikan dampak negatif. Salah satunya, bisa membuat kita tidak dipercaya orang, karena biasanya, kita akan men-share lagi ke orang lain. Khawatir berlebihan tanpa sebab, karena biasanya berita hoax isinya ekstrem atau berlebihan. Dampak lebih luas jadi viral menyebar kekhawatiran kepada banyak orang. Orang yang cenderung tidak menyaring berita, main asal posting biasanya orang yang cenderung reaktif kurang matang secara emosional, katanya menambahkan.

Orang yang tidak pernah menyaring berita hoax, kata dia, biasanya mudah terpengaruh atau tersulut oleh berita-berita bohong tersebut. Yang lebih berbahaya adalah jika ikut menyebarkan tanpa menyadari bahwa itu adalah berita kebohohongan, ujarnya.

Meski belum menemukan penelitian khusus tentang hoax, menurut Widuri, saat ini sudah ada kelompok-kelompok yang secara sukarela melakukan analisis bersama terhadap persebaran informasi yang diduga sebagai hoax. Kelompok-kelompok itu di antaranya, Forum Anti-Fitnah Hasut dan Hoax (FB) dan Indonesian Hoaxes (FB).

Nah, agar anak bisa memilih dan memilah berita yang dia baca. Widuri mengingatkan beberapa hal yang harus dilakukan orang tua. Terutama, kata dia, mengajarkan kriteria standar media yang bisa dipercaya. Menurut dia, biasanya media yang dapat dipercaya mencantumkan susunan dewan redaksi dan alamat redaksi dengan jelas. Media yang dapat dipercaya juga menerapkan pedoman media cyber yang dikeluarkan oleh Dewan Pers.

Bukan hanya itu, media yang bisa dipercaya biasanya tidak menggunakan judul berita yang provokatif. Media yang terpercaya biasanya isi beritanya tidak mengandung kecaman atau tudingan kepada pihak-pihak tertentu.

Terakhir, media yang terpercaya biasanya tidak memuat berita yang dapat memicu konflik SARA. Orang tua harus mengajarkan anak untuk melihat kapasitas narasumbernya. Misalnya, bila berita tentang kesehatan, tentulah orang yang dipercaya adalah yang berpengetahuan tentang kesehatan, seperti dokter, guru besar di perguruan tinggi, atau pejabat yang membidangi kesehatan. Orang tua harus mengetahui atau memantau isu-isu yang muncul pada halaman sosial media anak, katanya.      Oleh Desy Susilawati, ed: Nina Chairani

Akal Sehat dan Keterampilan Mengecek

Jangan teperdaya saat dihujani berita bohong dan berita benar yang bertebaran dan bercampur baur di dunia maya. Beberapa laman menggunakan internet secara sehat, menyarankan orang tua agar mengajarkan anak untuk menggunakan akal sehat.

Begini salah satu cara berpikir kritis. Bila informasi itu terlalu bagus untuk menjadi kenyataan, kemungkinannya memang tidak nyata. Atau bila informasi terlalu gila, jangan langsung percaya.

Anak-anak juga penting untuk mengetahui tentang keajaiban penggunaan software Photoshop, yang bisa mengubah foto menjadi tidak sesuai aslinya. Semakin ahli editor foto, foto itu akan tampak asli.

Anak juga penting untuk terampil mengecek informasi yang didapatnya. Mengecek sumber informasi dan sumber yang disebut penulisnya. Ajak juga anak untuk mengecek di laman-laman resmi lainnya. Meskipun media mainstream bisa menipu juga, tapi mengajarkan cara pengecekan ini baik sebagai langkah awal. Ada beberapa hal menarik yang disarankan laman Common Sense Media untuk membantu anak-anak melakukan 'penyelidikan':

  •   Cek di bagian about us atau tentang cari tahu siapa yang mendukung laman itu. Jika informasi tersebut tak ada, atau laman itu meminta Anda mendaftar sebelum bisa membaca, maka laman tersebut patut Anda curigai.
  •   Cek apakah laman berita mainstream yang dapat dipercaya lain melaporkan hal yang sama. Jika mereka tidak memberitakannya, bukan berarti informasi itu tidak benar, tapi kita harus mendalami lagi kebenaran berita itu.
  •   Cek emosi Anda. Berita hoax berusaha untuk mendapatkan reaksi yang ekstrem. Jika berita yang Anda baca membuat Anda sangat marah atau sangat bangga, Anda sedang dipermainkan.

Akhirnya, pastikan anak-anak tahu bahwa ayah bundanya selalu bersikap terbuka. Mereka bisa bertanya jika ragu terhadap sesuatu yang mereka lihat, baca, ataupun dengar.      commonsense.org/chicagonow.com

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement