Rabu 07 Dec 2016 13:00 WIB

Jokowi Ingin Rupiah Mengacu ke Yuan

Red:
Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas terkait pengembangan sumber-sumber air di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (6/12).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas terkait pengembangan sumber-sumber air di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (6/12).

JAKARTA -- Presiden Joko Widodo menilai persepsi nilai tukar rupiah yang selama ini masih mengacu kepada dolar AS sudah tidak relevan. Menurut dia, anggapan itu sudah seyogianya diubah.

"Kurs rupiah dan dolar AS bukan lagi tolok ukur yang tepat. Yang relevan adalah kurs rupiah melawan kurs mitra dagang kita. Mitra terbesar kita Tiongkok (Cina)," ujar Presiden saat menghadiri sarasehan 100 ekonom yang digelar oleh Institute for Development of Economics and Finance di Jakarta, Selasa (6/12).

Ia menjelaskan, kurs dolar AS sekarang sudah tidak lagi mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia. Sebaliknya, mata uang Negeri Paman Sam itu lebih mencerminkan kondisi dalam negeri, terutama selepas terpilihnya Donald Trump sebagai presiden. "Jangan dibawa persepsi dolar AS," kata Presiden.

Apalagi, menurut Presiden, ekspor Indonesia ke AS hanya menyumbang porsi 10 sampai 11 persen dari total ekspor. Nilai tersebut lebih kecil dibandingkan porsi ekspor ke Cina (15,5 persen), Eropa (11,4 persen), dan Jepang (10,7 persen).

Sementara itu, berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik pada bulan lalu, sepanjang periode Januari-Oktober 2016, AS merupakan tujuan ekspor terbesar dengan nilai 12,889 miliar (12,2 persen) diikuti Cina 11,387 miliar dolar AS (10,70 persen) dan Jepang 10,673 miliar dolar AS (10,03 persen).

"Kalau diukur dengan dolar (AS) kita akan terlihat jelek. Padahal ekonomi kita oke-oke saja," ujar Presiden. Kondisi sebaliknya, menurut dia, terjadi bila nilai tukar rupiah diukur terhadap renminbi Cina atau yen Jepang. Sebab, rupiah terlihat lebih perkasa bila dipersepsikan dengan kedua mata uang tersebut.

Presiden pun menekankan agar pandangan soal nilai tukar rupiah yang tidak lagi mengacu kepada dolar AS, perlu diedukasi kepada masyarakat dan pasar. Hal itu agar mereka tidak hanya sebatas memantau dolar AS semata.

Berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam dua pekan terakhir memang menunjukkan tren pelemahan. Per Selasa (6/12), nilai tukar rupiah mencapai Rp 13.405 per dolar AS atau menguat dibandingkan hari sebelumnya, yang tercatat Rp 13.516 per dolar AS.

 

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan, keinginan Presiden untuk menahan persepsi rupiah terhadap dolar AS bukan berarti mengganti acuan yang selama ini sudah terbentuk. Tetapi, opsi ini masuk kajian pemerintah.

Nantinya, acuan persepsi nilai tukar rupiah akan mengacu kepada negara-negara mitra dagang.

"Presiden kan tidak bilang ditukar. Presiden bilang dipelajari kalau relevan. Bukan berarti ditukar. Artinya, kurs mata uang kita dengan Cina mestinya memang berdasarkan transaksi ekonomi kita dengan Cina, baik ekspor maupun impor," kata Darmin menjelaskan.

Darmin mengingatkan, meski secara porsi ekspor Indonesia ke AS terbilang lebih kecil dibanding dengan ekspor Indonesia ke Cina, nilai ekspor ke Negeri Paman Sam masih surplus. Hal ini berbeda dengan ekspor Indonesia ke Cina yang trennya menunjukkan ke arah defisit. Darmin menambahkan, pernyataan Presiden memiliki makna yang lebih dalam.

Sebab, pemerintah harus meyakinkan pasar bahwa ekonomi Indonesia baik-baik saja, terutama kepada negara-negara mitra dagang utama Indonesia termasuk Cina, Jepang, dan negara-negara Eropa. "Artinya, kurs suatu negara dengan negara lain ditentukan betul oleh nilai perdagangannya," ujar Darmin.

Sulit dilakukan

Senior Economic Analyst Kenta Institute Eric Alexander Sugandi menilai, permintaan Presiden agar persepsi nilai tukar rupiah tidak lagi mengacu kepada dolar AS sulit dilakukan. Penyebabnya adalah dolar AS masih menjadi acuan dalam kancah global.

"Benar bahwa Tiongkok (Cina) merupakan negara partner dagang utama kita, tapi mata uang dolar AS masih merupakan mata uang utama dalam perdagangan internasional," ujar Eric kepada Republika, kemarin.

Menurut dia, apabila bertransaksi dengan mitra dagang utama seperti Cina, Indonesia bisa saja langsung bertransaksi dengan yuan (renminbi/RMB). Apalagi, sudah ada bilateral swap agreement antara bank sentral Cina (The Central Bank of The Republic of China) dan bank sentral Indonesia (Bank Indonesia).

Kerja sama itu tidak hanya ditujukan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, tetapi juga untuk memfasitasi perdagangan bilateral kedua negara. "Tapi, partner dagang kita bukan hanya Tiongkok dan tidak semua negara partner dagang kita mau pakai RMB," kata Eric.

Sehingga, dia menilai, yuan masih dapat digunakan walaupun terbatas. Sebab, tetap lebih lazim menggunakan dolar AS.  "Tapi, kalau mau buat ukur-ukuran saja sih ya bisa-bisa saja. Bukan berarti kita harus ganti pakai RMB untuk semua transaksi perdagangan internasional," ujar Eric.

Dalam pertemuan gubernur bank sentral negara-negara G20 di Shanghai, Cina, 26-27 Februari 2016, Gubernur BI Agus Martowardojo terus mendorong peningkatan transaksi langsung antara rupiah dan yuan. Selain memperkuat cadangan devisa negara dalam jangka panjang, hal tersebut juga akan memaksimalkan kerja sama investasi dan perdagangan Indonesia-Cina.

Agus juga menyebutkan, penerbitan Letter of Credit (L/C) ataupun deposit yuan di Indonesia sudah dapat dilakukan. Meskipun harus diakui tingkat kepercayaan terhadap yuan belum sebesar dolar AS. Lebih lanjut, Agus mengatakan, Cina telah berkomitmen untuk menambah ketersediaan yuan di Indonesia dari semula 100 miliar menjadi 125 miliar. Tujuannya agar para pelaku usaha di Indonesia ataupun Cina dapat melakukan transaksi secara langsung dengan rupiah dan yuan. rep: Sapto Andika Candra, Idealisa Masyrafina ed: Muhammad Iqbal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement