Senin 05 Dec 2016 16:00 WIB

Tahun Penuh Tantangan

Red:

Perkonomian Indonesia tahun depan masih dihadapkan dengan banyak tantangan. Ekonom senior sekaligus Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menngatakan, perlambatan ekonomi global yang masih akan terus berlangsung, membuat Indonesia harus bertopang pada konsumsi domestik dibanding dengan perdagangan internasional. Dengan ruang fiskal yang masih sempit, pemerintah harus membuat kebijakan yang dapat membuka celah pertumbuhan ekonomi.

Chatib menyebutkan, pemerintah membutuhkan rasio investasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 6,6 persen untuk setiap satu persen pertumbuhan ekonomi Indonesia. Artinya, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 6 persen, dibutuhkan rasio investasi terhadap PDB hingga 39 persen.

Perhitungan sederhana ini menunjukkan, pemerintah harus bisa menggenjot investasi untuk bisa menjadi pendorong pertumbuhan. Ia memprediksi, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017 bisa menyentuh 5,2 persen apabila pemerintah konsisten mendorong seluruh faktor pendorong pertumbuhan terutama investasi.

Peningkatan investasi bisa digenjot dengan adanya deregulasi ekonomi dan pemberian berbagai kemudahan bagi investor yang akan menanamkan modalnya di Indonesia. Meski begitu, Chatib menilai ada permasalahan serius yang perlu dicari solusinya. Permasalahan utama tersebut terletak pada minimnya permintaan seiring dengan lesunya ekonomi. Artinya, pelaku usaha juga enggan meminjam dana dari perbankan sekalipun suku bunga diturunkan. Alasannya, produk tidak akan terserap ketika permintaan tidak ada. Justru, ketika produksi tetap gencar dilakukan, yang ada malah kelebihan suplai.

"Ketika ada permintaan, maka otomatis ada peluang dan investasi," ujarnya.

Chatib juga memproyeksikan Bank Sentral AS tidak akan menaikkan suku bunganya pada tahun ini. Perekonomian AS yang belum pulih sepenuhnya pasca-pemilihan presiden, membuat the Fed berpikir ulang menaikkan suku bunga.

Dia mengingatkan pemerintah untuk waspada atas rencana Trump memangkas pajak dan meningkatkan belanja pemerintah di sektor infrastruktur. Menurut dia, rencana ini membuka ruang pelebaran defisit di ruang fiskal AS. Untuk membiayai defisit tersebut, AS membutuhkan penerbitan obligasi yang akan membuat suku bunga jangka menengah naik.

"Secara umum, tahun depan kita masih alami konsumsi swasta yang masih datar. Ekspor stagnan, investasi yang masih lambat, konsumsi pemerintah yang ruang fiskalnya sempit," ujarnya.

Duta Besar Singapura untuk Indonesia Anil Kumar Nayar menilai, Indonesia tak perlu khawatir terhadap pertumbuhan 2017. Menurut dia, Indonesia bersama dengan negara di kawasan Asia Tenggara merupakan salah satu pasar ekonomi terbesar dunia. Faktor tersebut menjadi modal besar bagi laju pertumbuhan konsumsi domestik untuk mendorong pertumbuhan.

Dia menjelaskan, salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah peningkatan kerja sama antarnegara di Asia Tenggara, termasuk dengan Singapura. Selama ini, Indonesia dan Singapura telah menjadi mitra dagang yang kuat. Bahkan, nilai investasi Indonesia atau sebaliknya selalu menduduki peringkat lima besar setiap tahunnya. Ia mencatat, nilai investasi Singapura di Indonesia pada 2015 lalu mencapai 9,5 miliar dolar AS. Tahun ini, sejak Januari sampai Oktober nilai investasi negeri Singa di Indonesia menyentuh 7,1 miliar dolar AS. Sedangkan, tahun depan ditargetkan nilanya bisa lebih tinggi dari capaian yang ada tahun ini.

"Kalau kita lihat pendekatan Jokowi, kami yakin langkah saat ini sangat prudent, pragmatis, dan berorientasi hasil. Jelas bahwa Presiden fokus pada kemudahan investasi," kata dia. ed: satria kartika yudha

Di sisi lain, pasar global masih berharap-harap cemas terhadap kebijakan ekonomi yang akan dibuat oleh Donald Trump di periode awal ia menjabat tahun depan. Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Kementerian Perdagangan Tjahja Widajanti menjelaskan, pemerintah Indonesia menggaris bawahi tiga kemungkinan kebijakan Trump yang akan berimbas ke pasar termasuk hubungan dagangnya dengan Indonesia. Ketiga kebijakannya tersebut adalah tindakan tegas dan keras kepada Cina yang dianggap melakukan manipulasi mata uang demi meningkatkan nilai ekspornya ke AS, melakukan negosiasi ulang untuk NAFTA, dan menolak kesepakatan atas TPP.

"Proteksionisme akan berakibat pada lanskap perdagangan global dan kinerja perdagangan Indonesia. Apabila Presiden AS ini secara konsisten melakukan kebijakan, lanskap perdagangan global akan berubah terutama dengan adanya perang perdagangan antara AS dan Cina," ujar dia.

Menurut dia, Indonesia pantas untuk mengawasi kebijakan Trump lantaran baik AS dan Cina menguasai pangsa pasar 23,6 persen perdagangan global. Sikap proteksionisme trump kepada Cina bisa berimbas pada nilai ekspor Cina ke AS yang selama ini menyentuh angka 18,6 persen.

"AS penting bagi Indonesia karena merupakan salah satu pasar utama ekspor Indonesia. AS adalah negara tujuan ekspor pertama bagi Indonesia. Selama 10 tahun terakhir pasar ekspor Indonesia stabil di 11 persen," ujarnya. rep: Sapto Andika Chandra  ed: Satria Kartika Yudha

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement