Senin 28 Nov 2016 13:00 WIB

Bahrain, Direktur Advokasi YLBHI: UU ITE Ancam Kebebasan Berpendapat

Red:

Revisi UU ITE mulai diberlakukan pada Senin (28/11).  Pihak yang bisa dijerat hukum tidak hanya yang membuat, tetapi mendistribusikan dan mentransmisikan pesan yang berbau kebencian, SARA, tuduhan, maupun fitnah, tanggapan Anda?

Ini jelas makin membahayakan, mengekang kebebasan berpendapat dan pintu masuk, menghalangi kebebasan pers juga ini. Dari beberapa banyak yang kita lakukan pendampingan, yang UU ITE sebelumnya saja catatan kita mulai mentransfer, mendistribusikan, dan mentransimisi sudah dipidana, apalagi jika ini ditegaskan, makin banyak pasti korban yang dipidana.

Revisi ini ketatnya seperti apa. Harus jelas karena dari banyak hal kita temukan justru hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan kasus. Seperti dalam kasus, misal, pencemaran nama baik. Begitu kita lakukan penelitian, ternyata bukan bersumber dari dia, tapi dipidana dengan pasal tersebut. Hanya kena teks saja, dia dapat berita, kena hukum juga.

Kan sudah bahaya sekali. Artinya apa, harus dipastikan dulu, hubungan antara yang membagi dan yang memberitakan itu. Kalau memang ada beritanya, harus dilihat dulu, apakah ada kaitannya mereka ini. Jangan tiba-tiba karena kena teks saja, mereka ini dipidana.

Artinya, penjelasan pihak yang mendistribusikan dan mentransmisi itu tidak ideal?

Perlu dipahami adalah ketika itu dianggap pencemaran nama baik, dipastikan dulu siapa yang membuat, siapa yang menerbitkan, siapa yang distribusikan. Kalau dalam satu rangkaian, boleh. Lalu, dilakukan pemidanaan. Jangan segampang mungkin, orang yang nggak punya kaitan, share berita orang, itu kena.

Dalam kaitannya ini kan mungkin kapasitas masyarakat ini kan juga sebagai konsumen. Mereka juga terlindungi oleh hak atas informasi yang baik dan benar. Jadi, ketika mereka mendapat informasi, apakah masyakarat yang harus membuktikan informasi itu benar atau tidak, sementara dia mendapat dari sumber yang terpercaya, masa iya dia yang kena pidana.

Tetapi, dalam revisi UU ini dipertegas bahwa pidana berlaku jika delik aduan, bukan delik umum?

Ya sama saja. Pencemaran nama baik ini kan di beberapa negara sudah dihapuskan karena bentuknya yang abstrak.

Revisi juga menguatkan peran pemerintah untuk memutus akses informasi yang melanggar undang-undang?

Wah, bahaya itu. Kan jadi bisa pintu masuk untuk mengekang kebebasan pers, kawan pers juga harus kritisi itu. Masa iya, ada di KUHP tentang penghinaan terhadap pemerintah atau tidak dinilai relevan pemerintah. Artinya, kritik pemerintah siap-siap sajalah di pidana, udah nggak sehat nih. Kalau nggak mau dikritik ya jangan jadi pemerintah. Kalau dikit-dikit dikritik, lalu dijadikan target untuk dikriminalisasikan, bahaya itu.

Tapi, KUHP kan memang mengatur juga soal itu?

Dalam konteks global soal pencemaran nama baik dan penistaan agama ini sudah harus dihilangkan. Ada yang namanya dalam tataran global itu hatespeech, itulah yang harusnya menjadi prioritas untuk dilaksanakan karena dalam kapasitasnya itu penyelesaiannya bukan lewat pidana.

Pidana itu terjadi jika dua pihak itu tidak ada dialog, artinya ruang pertama yang dikembangkan itu dialog. Kalau sudah selesai, ya nggak usah dibawa ke ranah hukum. Selesai di mediasi, kan begitu.

Banyak norma di republik ini, nggak langsung norma hukum. Ada susila, ada kesopanan. Norma hukum itu kan jadi pilihan terakhir untuk melakukan suatu penghukuman. Artinya, di republik ini mekanisme norma itu tidak berjalan, belum dikerjakan negara, tapi sudah menghukum. Ini yang salah dan harus dibenahi.     Oleh Fauziah Mursid, ed: Fitriyan Zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement