Ahad 27 Nov 2016 07:00 WIB

Warung-Warung Cina di Setiap Sudut Kampung

Produk Cina
Foto: Republika/Yulianingsih
Produk Cina

Menjelang 1950-an, orang Cina di Jakarta terbagi dua kelompok. Ada yang pro Chiang Kai Sek dan Mao Tse Tung. Kita dapat melihat keberpihakan mereka saat hari besar Cina. Karena, ada yang mema-sang bendera RRC (komunis) dan Taiwan di kediamannya. Meski konflik ideologi cukup sengit, mereka tidak bermusuhan.

Selain warung, mereka juga membuka toko-toko di Pasar Senen, Pasar Baru, dan Glodok. Di Pasar Baru terdapat toko De Zon, setelah kemerdekaan diganti dengan Toko Matahari, yang sekarang memiliki cabang pada ratusan tempat, khususnya di pertokoan-pertokoan. Sampai 1960-an, warga Cina dapat merayakan budaya dan tradisi mereka dengan bebas. Seperti Imlek yang dirayakan besar-besaran.

Rombongan tanjidor, semacam band musik yang ngamen di jalan raya sambil memainkan terompet, tambur, dan klarinet nyawer dari rumah ke rumah saban perayaan tahun baru. Toko dan warung diberi warna merah, yang menurut tradisi Cina sebagai simbol kegembiraan. Pada Imlek, kita disuguhi kue cina dari ketan dan gula merah.

Malapetaka terjadi pada 1957, pemerintah mengeluarkan larangan bagi warga Cina. Mereka tidak boleh berdagang di pedesaan dan kecamatan. Dampaknya besar karena menyangkut nasib ratusan ribu warga Tionghoa. Banyak di antara mereka yang memilih pulang ke daratan Cina.

Kala itu, banyak warga Cina yang memiliki dwikewarganegaraan RI-RRC. Sampai RRC mendatangkan kapal untuk mengangkut mereka. Pada 1960-an, hubungan RI-RRC sangat mesra. Waktu itu, Bung Karno gencar-gencarnya menghimpun kekuatan Nafo untuk melawan Nekolim (kelompok imperialis).

Waktu itu, RI dan RRC membentuk Poros Jakarta-Peking (sebutan Beijing). Ikut serta dalam poros ini, Phnompen (ibu kota Kamboja) dan Hanon (Vietnam Utara). Ketika konfrontasi dengan Malaysia, negara-negara ini menyokong Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement