Rabu 09 Nov 2016 16:00 WIB

Dr Mukhlis Paeni, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI): Mencari Denyut Sejarah Bahari Nusantara

Red:

Pemerintah ingin menggalakkan kembali kedaulatan kemaritiman. Semangat mengembalikan kejayaan maritim Indonesia harus ditunjang dengan akar budaya sejarah maritim bangsa ini. Tetapi, menurut catatan sejarah, budaya maritim Indonesia sudah hilang sejak empat abad silam. Budaya kemaritiman harus dibangkitkan dari tidur panjangnya. Semangat itulah yang melatari Konferensi Nasional Sejarah (KNS) X fokus menggali apakah budaya bahari Indonesia masih berdenyut? Berikut penuturan Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Dr Mukhlis Paeni yang turut mengawal KSN X di Jakarta kepada wartawan Republika, Hafidz Muftisany.

Apa yang ingin digapai dalam Konferensi Nasional Sejarah (KNS) X?

Kalau melihat kronologi konferensi pertama sampai sembilan, masih berkisar pada dialog soal perspektif sejarah dan kesadaran sejarah sebuah bangsa. Dulu, saat konferensi pertama kita serius membicarakan pentingnya perubahan perspektif sejarah ke arah Indonesiasentris. Kemudian, konferensi selanjutnya membicarakan masalah yang menyangkut sejarah bangsa indonesia bisa memperoleh identitas sebagai sebuah bangsa.

Pada konferensi selanjutnya muncul perdebatan menyangkut pendidikan, kurikulum sejarah, dan sebagainya. Pada prinsipnya konferensi satu hingga sembilan masih berkutat pada filosofi dan teori sejarah. 

Nah, pada konferensi sekarang, lebih mengarah pada persolaan yang riil, yakni membicarakan masalah menyangkut budaya bahari dalam perspektif sejarah. Lebih menginjakkan kaki ke persoalan masyarakat bahari. Hal ini untuk menunjang dan menopang nawacita dan arah pembangunan nasional dewasa ini yang mengarah ke pembangunan maritim.

Perspektif sejarah dalam konferensi ini akan dibahas seperti apa dinamika masyarakat bahari di negeri kita. Masihkah ada budaya bahari dan berdenyut masyarakat bahari ketika pembangunan bahari akan diarahkan ke situ.

Kita akan melihat dan membahas makalah-makalah yang bisa memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Apakah masyarakat Indonesia sebenarnya masih punya akar masyarakat dan budaya bahari? Atau masyarakat dan budaya bahari hanya semacam impian dan tidak lagi ada di tengah kehidupan kita? Kalau itu terjadi, seperti apa sejarah memberikan jawaban dan jalan keluar untuk menopang pambangunan kebaharian akan menjadi penting.

Apakah memang budaya bahari kita masih kuat?

Sejak kehancuran kekuasaan negara tradisional di Indonesia yang bertopang pada kehidupan kebaharian, dinamika budaya, dan masyarakat yang bergerak di bidang kebaharian berangsur mengalami degradasi. Lantas diisi dengan dinamika masyarakat yang lain, misalnya, diarahkan ke masyarakat petani. Dinamisasi masyarakatnya lebih mengarah ke sana dan melupakan kebaharian.

Kalau sekarang maritim dianggap penting dan menjadi ikon, seperti apa sejarah bisa memberikan sumbangannya? Konferensi ini akan menjadi jawabannya.

Pasti saja ada kegelisahan yang muncul dalam sejarah yang baru ketika fokus pada kebaharian. Sejak runtuhnya kekuasaan tradisional kita yang pada umumnya kerajaan maritim, maka secara langsung memengaruhi dinamika kebudayaan kebaharian kita.

Tepatnya kapan budaya bahari nusantara mulai redup?

Ada satu peristiwa besar dalam peristiwa bahari kita adalah ketika Makassar kalah pada 1667 kemudian ditandatangani Perjanjian Bongaya. Perjanjian itu dalam sejarah jelas disebut mulai saat itu Kerajaan Makassar harus meminta rakyatnya tidak lagi hidup di laut, tetapi bertani menanam kacang dan sayur-sayuran.

Dan seluruh perkampungan di pesisir pantai harus ditarik 10 mil dari pinggir pantai. Tidak boleh lagi rumah menghadap laut harus membelakangi laut. Ini rekayasa politik yang luar biasa.

Kapal-kapal tradisional seperti pinisi yang awalnya tonasenya 200-350 ton dalam perjanjian disebut tidak boleh lebih dari 50 ton lalu turun menjadi 30 ton lalu turun lagi menjadi 10 ton. Itu politik yang menghancurkan kemaritiman kita. Ke mana-mana harus mendapat pass dari VOC dan saat itu yang dituju hanya daerah tertentu, tidak semua wilayah boleh dilayari rakyat Makassar.

Dan yang paling parah itu orang-orang Bajo yang merupakan orang laut tidak boleh menjadi rakyat Makassar. VOC luar biasa memotong satu tradisi bahari lewat kekuasaan. Ketika itulah kita berangsur-angsur menjadi petani dan meninggalkan laut. Itu rekayasa politik.

Dalam kongres ini harus ada desakan, ada rekayasa politik pula untuk mengembalikan kemaritiman kita. Sejak VOC, dinamika kemaritiman kita menjadi lumpuh.

Budaya besar bahari kita menjadi hilang, tidak ada lagi nyanyian laut, astronomi laut, mitologi laut, undang-undang laut, tidak ada lagi semua. Permainan zaman dulu yang berkaitan dengan laut tidak ada lagi.

VOC mulai pembangunan dermaga secara besar-besaran, pembangunan galangan kapal untuk mengangkut hasil agraris dan rakyat tidak diikutkan dalam mekanisme tersebut. Rakyat hanya jadi buruh pelabuhan dari dinamika yang baru itu.

Budaya bahari kita sudah mati sejak 400 tahun yang lalu. Kita ingin melihat masih adakah denyut-denyut kehidupan bahari. Membangkitkan kemaritiman kita bisa dengan dua hal. Pertama, dengan rekayasa budaya dan rekayasa politik.

Mengapa tradisi dan sejarah bahari begitu penting?

Kita ingin meminta kembalikan laut kepada pemiliknya kepada rakyat. Di negeri ini dalam tradisi kebaharian ada tradisi besar ada tradisi kecil. Tradisi besar itu negara. Tradisi kecil itu rakyat.

Tradisi besar itu pun ada hal yang dimiliki rakyat. Ada undang-undang, ada filosofi, ada sastra. Sekarang nyanyian laut saja tidak ada. Lalu apa yang dimiliki rakyat? Kedaulatan kita punya negara. Jika memang benar kedaulatan itu ditumpukan ke kedaulatan maritim, mari semua rakyat diikutkan.

Jangan sampai mereka hanya jadi penonton dalam kegiatan maritim. Kalau hanya jadi penonton, rakyat tak pernah lepas dalam kehidupan lama yang tetap abadi, yakni kemiskinan. Kemiskinan rakyat itu yang tidak berubah sampai sekarang. Rakyat hanya jadi kuli dalam kehidupan bahari.

Butuh berapa lama mengembalikan tradisi kemaritiman yang hilang?

Tidak seperti membalikkan telapak tangan. Pemerintah kolonial mau memusnahkan dinamika kemaritiman membutuhkan waktu yang lama. Mereka menghacurkan sejak 1667 secara berangsur-angsur sehingga kehidupan kemaritiman hilang.  Kalau sudah mati suri empat abad lalu, tentu butuh satu perawatan untuk menghidupkan kembali, tidak seketika.

Kita mencoba revitalisasi ingatan kolekif kita terhadap ingatan kebaharian. Itu penting, menghidupkan sesuatu yang hilang kalau benih-benihnya masih ada revitalisasi itu bisa dilakukan. Tapi, kalau benih-benih sudah tidak ada, tidak ada gunanya revitalisasi.

Adapun yang ada hanya dokumentasi sejarah. Konon katanya kita punya sejarah kemaritiman, konon katanya ada perahu, ada naskah sisa itu saja. Konon-konon waktu saja. Dugaan sementara masih ada, jadi memerlukan waktu yang agak lama juga. Tidak terapi langsung sembuh tiba-tiba muncul masyarakat maritim yang kompeten.

Puluhan tahun banyak yang harus diperbaiki secara perlahan. Saya mungkin sudah mati, perjuangan ini memerlukan waktu panjang. Tapi, kalau tidak dilakukan sekarang, mau ke mana bangsa ini? Mau jadi bangsa agraris? Tidak juga.

Langkahnya mulai dari mana?

Transformasi budaya itu lewat pendidikan. Tidak mungkin lewat yang lain. Pemerintah harus mendukung ini. Porsi pendidikan sejarah saat ini dapat porsi yang cukup besar. Masalahnya saat ini muatan budaya lokal dalam pendidikan sejarah masih kurang.

Pendidikan bisa lewat bermacam cara. Saat ini anak-anak muda muncul dengan film-film dokumenternya yang bertemakan sejarah. Itu bagian dari media didaktik yang terbaru dalam pendidikan sejarah. Dalam rangka mempercepat kemaritiman Indonesia yang utuh, muatan lokal menjadi sangat penting. Seperti diketahui, materi pendidikan sejarah kita dalam buku muatan lokal sangat kurang sehingga menjadi sangat penting digalakkan. Guru-guru sejarah berkepentingan dengan hal ini.

Dari segi politik, pemerintah harus mendukung infrastruktur kebaharian. Harus ditingkatkan kehidupan budaya bahari, harus digiatkan permainan rakyat lewat festival tradisi. Kenalkan nyanyian-nyanyian bahari dan sajak-sajaknya. Dulu setiap pelaut pergi berlayar istrinya menuliskan sajak. "Kalau engkau pergi berlayar lalu buih mendekat kepadamu, jangan engkau tanyakan karena buih itu adalah rinduku." Hal-hal seperti itu sudah tidak ada lagi.

Soal perspektif sejarah, saat ini mana yang harus digunakan?

Saya rasa sudah cukup tak perlu lagi perdebatan perspektif, sudah oke. Saatnya menginjak hal yang riil. Kita gunakan perspektif Indonesiasentris. Bangsa ini harus jadi pelaku. Dulu, tulisan sejarah adalah yang ada hubungannya dengan kolonial, dengan politik. Sekarang perspektif bukan lagi soal cerita politik, melainkan cerita masyarakat tentang kehidupan mereka. Bukan lagi cerita orang-orang besar semata.

Apa saja fokus masyarakat sejarawan Indonesia saat ini?

Kita merasakan kegelisahan pada pentingnya peristiwa lokal diangkat menjadi penguat untuk NKRI menjadi negara kesatuan. Kita merasakan saat ini ada hal yang berbahaya terjadi yang bisa membuat pemahaman menjadi NKRI menjadi kabur. Lalu, beralih mengkristal pada lokalitas.

Contoh sederhana di Sulawesi Tenggara, ada Bandar Udara Wolter Mongisidi. Wolter Mongisidi, dia pejuang dari Sulawesi Utara, ditembak di Makassar dan diabadikan sebagai nama bandara di Sulawesi Tenggara. Ini kan pemahaman NKRI yang luar biasa. Tapi, setelah otonomi daerah dibuat menjadi Haluuleo, ini lokalitas. n

***

Sumber Autentik Sejarah pada Era Bias Informasi

Lewat internet kita bisa menemukan informasi apa saja, termasuk informasi masa lampau. Tetapi, informasi yang tersaji di internet rawan bias. Sumber-sumber penulisan informasi sejarah mesti dikritisi. Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Dr Mukhlis Paeni mengatakan, dalam tulisan sejarah ada kritik sumber. Menurut dia, tidak semua sumber di internet bisa ditelan sebagai sumber sejarah.

"Ada kritik eksternal ada kritik internal yang harus dilalui dulu sebelum menjadikan sumber sejarah," ujar Mukhlis kepada Republika, tengah pekan lalu.

Ia mengakui, era informasi digital membuka katup-katup yang menyediakan informasi melimpah. Meski begitu, ada sumber autentik dalam penulisan sejarah yang cukup ketat. Penulisan sumber sejarah harus melewati rangkaian kajian dan rujukan yang sahih dan autentik. "Tidak bisa hanya mengambil dari Google ditelan begitu saja. Ada kajian mendalam dari sumber autentik, seperti arsip nasional atau tulisan akademis sebelumnya," ujar dia.

Seorang sejarawan, ujar Mukhlis, pasti paham soal metode pengambilan sumber. Sementara, bagi masyarakat umum, ia juga menyarankan agar tetap melakukan kritik sumber secara pribadi. Ia melihat fenomena masyarakat yang sebenarnya semakin kritis. Meski pada sebagian lain masyarakat banyak yang gemar menelan mentah-mentah tiap informasi yang mampir. "Uji saja validitas dari sumbernya, terutama tulisan sejarah," kata Mukhlis.

Ia meyakinkan jika sumber sejarah yang autentik masih banyak. Permasalahannya, sering kali masyarakat enggan mengambil sumber autentik karena kendala bahasa. Akhirnya, sebut dia, yang dipakai adalah sumber yang tidak berasal dari sumber aslinya. "Ibarat cari sayuran yang dicari ke supermarket mencari olahannya bukan ke pasar tradisional," kata Mukhlis mengibaratkan.

Ia yakin, sumber autentik dalam sejarah tidak akan terputus sepanjang studi sejarah terus dikembangkan. Pemerintah harus memfasilitasi pendidikan sejarah di universitas sebagai pendidik calon sejarawan baru.

Ia juga mengapresiasi pemerintah yang menggelontorkan banyak dana untuk memelihara aset nasional, seperti Perpustakaan Nasional dan Arsip Nasional Republik Indonesia. "Biayanya luar biasa, tetapi sayangnya institusi ini lebih banyak didatangi peneliti asing dibandingkan peneliti lokal," kata dia.  Oleh Hafidz Muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement