DPR: Dwifungsi TNI Dikembalikan, Indonesia Kembali ke Masa Lalu

Kamis , 06 Oct 2016, 17:30 WIB
Anggota TNI dan Polri melakukan Apel Gelar Pasukan di Halaman Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Kamis (28/7).  (Republika/ Yasin Habibi)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Anggota TNI dan Polri melakukan Apel Gelar Pasukan di Halaman Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Kamis (28/7). (Republika/ Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi I DPR, Meutya Hafidz merasa heran terhadap gagasan untuk mengembalikan tugas TNI kepada fungsi lamanya di bidang sosial politik seperti masa lalu.

"Kita sudah maju dan memilih kepada meninggalkan dwifungsi ABRI dan memberikan TNI satu fokus tugas. Saya tidak paham kalau ada yang ingin mengembalikan ini ke era yang lama," katanya di Gedung Nusantara II, Jakarta, Kamis (6/10).

Ia mengatakan di era reformasi, masyarakat Indonesia memperjuangan agar TNI profesional, artinya fokus kepada tugas utamanya sebagai fungsi pertahanan yaitu melindungi NKRI, dan rakyat. Meutya khawatir kalau ada wacana membawa-bawa kemungkinan tersebut maka menimbulkan harapan-harapan bagi militer untuk turut berpolitik praktis.

"Saya berharap Panglima TNI (Jenderal TNI Gatot Nurmantyo) salah ucap (meminta TNI diberikan hak politik). Saya tidak paham alur berpikir Panglima sehingga bisa mengatakan itu," ujarnya.

Politisi Partai Golkar itu menjelaskan, silahkan saja kalau Panglima mencontoh negara lain yaitu militer memiliki hak politik namun kondisi Indonesia berbeda dengan negara tersebut.

Meutya menegaskan, Indonesia telah memilih hal yang berbeda berdasarkan pengalaman masa lalu sehingga tiap negara memiliki aturan beda terhadap posisi militer.

Wajar

Sementara itu,Wakil Ketua Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin mengatakan, pernyataan Panglima TNI yang menginginkan hak politik bagi TNI, merupakan hal yang wajar.

Namun jenderal purnawirawan ini mengingatkan bahwa realitasnya saat ini adalah UU TNI tidak mengizinkan militer masuk dalam politik sehingga kalau keinginan itu diwujudkan maka harus merevisi UU tersebut.

"Caranya pemerintah dan legislatif duduk bareng membahas hal itu lalu anggota akan menanyakan kepada publik perlu atau tidak," ujarnya.

Politikus PDI Perjuangan itu menilai saat ini belum waktu yang tepat bagi TNI diberikan hak politik karena tanpa tentara saja dunia politik Indoneaia ricuh apalagi ada pelibatan militer di dalamnya. Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo berharap TNI dapat memiliki lagi hak politik untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum.

"Saat ini TNI seperti warga negara asing saja kan begitu, tidak boleh memilih . Kemudian kalau ikut pilkada (pemilihan kepala daerah) harus mengundurkan diri sedangkan PNS tidak," kata Gatot, Jakarta, Selasa (4/10).

Dia memahami alasan TNI tidak memiliki hak politik karena TNI adalah organisasi yang dipersenjatai sehingga dikhawatirkan ada kampanye dengan melibatkan senjata. Namun, Gatot mengatakan saat ini pihaknya juga belum siap jika diberikan hak politik itu.

"Jadi belum siap sekarang, mungkin 10 tahun yang akan datang siap tergantung kondisi politik. Ya tergantung kondisi politik saat itu karena yang menentukan TNI bisa ikut siapa? undang-undang kan, undang-undang siapa yang buat? DPR kan, TNI hanya ikutin saja itu," ujarnya.

Dia mengatakan TNI bisa memiliki hak politik tergantung dari kondisi politik yang mana ada peraturan yang mendukung hal itu.

Sumber : Antara