Jumat 09 Sep 2016 14:00 WIB

Pria Korban Kejahatan Seksual

Red:

Terungkapnya prostitusi dengan korban anak laki-laki sebagai pemuas syahwat kaum penyuka sesama jenis di sekitar Bogor pada akhir Agustus 2016 ini menghadirkan sisi lain kejahatan seksual. Bahwasanya anak-anak dan pria juga rentan terhadap kejahatan seksual. Tidak hanya perempuan yang melulu menjadi korban.

Bentuk kejahatan seksual terhadap pria, apakah berstatus anak-anak ataupun orang dewasa adalah bervariasi. Dapat berupa pelecehan seksual dalam segala bentuknya, pemaksaan berhubungan seks, dieksploitasi untuk keperluan pornografi, diperdagangkan, ditipu, diperdaya (human trafficking) dalam bisnis prostitusi, dan lain sebagainya.

Sayangnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia memiliki rumusan delik yang terbatas ketika mengatur kejahatan seksual terhadap pria. Misalnya, dalam hal perkosaan. Pasal 285 KUHP menyebutkan bahwa "Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memerkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun." Sejatinya, pengertian 'perkosaan' seperti di atas membatasi kejahatan perkosaan hanya bisa terjadi oleh laki-laki kepada perempuan yang bukan istrinya. Sehingga, perkosaan oleh perempuan kepada laki-laki dikeluarkan dari pengertian perkosaan. Juga, perkosaan antara sesama jenis (antara sesama laki-laki atau antara sesama perempuan) adalah dianggap bukan perkosaan juga. 

Kasus yang menimpa artis SJ di Kelapa Gading, Jakarta Utara, adalah salah satu contoh. Pada 14 Juni 2016, ia dipidana tiga tahun penjara karena terbukti melakukan tindak pidana cabul dengan orang yang belum dewasa dan berjenis kelamin sama  (Sindonews, 14/6). Sebagian kalangan kecewa dengan vonis ini karena dianggap terlalu ringan. Pasal yang digunakan adalah Pasal 292 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara. Barangkali, apabila delik perkosaan direformulasi sehingga mencakup jenis kejahatan yang dilakukan artis SJ, ia bisa dipidana atas dasar melakukan tindak pidana perkosaan dengan hukuman penjara yang tentunya lebih lama. 

Pria sebagai korban perkosaan

Kenyataan sosial dan perkembangan tren kejahatan menunjukkan bahwa kejahatan 'serupa perkosaan' bisa terjadi antara   perempuan kepada laki-laki atau bahkan antara sesama jenis. Dan, sebagian negara Barat sudah mengakomodasi hal tersebut. Sebagai contoh, sejak Januari 2012, Amerika Serikat memberlakukan rumusan baru tentang perkosaan, yaitu "Penetrasi, baik berskala berat maupun ringan, terhadap vagina maupun anus, oleh bagian tubuh atau alat tertentu, termasuk penetrasioral melalui organ seks oleh orang tertentu, tanpa persetujuan dari korban." (NBCNews, 06/1/2012).

Terkait fenomena laki-laki sebagai korban perkosaan ini, Jessica Turchik (2012) menyebutkan bahwa meskipun mayoritas kejahatan seksual dewasa dilakukan oleh laki-laki terhadap wanita, laki-laki juga potensial mengalami serangan seksual.

 

Namun, fenomena ini sering diabaikan. Diperkirakan sekitar tiga-delapan persen pria Inggris dan Amerika pernah mengalami insiden serangan seksual pada masa dewasanya. Kemudian, riset dari Lara Stemple (2008) mengungkapkan bahwa Center for Disease Control and Prevention dan National Justice Institute Amerika Serikat menemukan data bahwa 92.700 pria dewasa telah diperkosa secara paksa setiap tahunnya di USA. Sekitar tiga persen dari total pria Amerika (atau   totalnya 2,78 juta jiwa) pernah mengalami perkosaan ataupun percobaan perkosaan dalam hidupnya. Statistik dari National Crime Victimization-Bureau of Justice menemukan bahwa 11 persen dari total korban serangan seksual adalah laki-laki. Di   Inggris, prevelansi laki-laki menjadi korban perkosaan adalah 2,89 persen. Kemudian, Inggris dan Wales, kasus-kasus pemerkosaan laki-laki berjumlah 7,5 persen dari total kasus perkosaan. 

Satu analisis yang dilakukan terhadap 120 studi tentang prevalensi menyimpulkan bahwa tiga persen laki-laki di seluruh dunia pernah diperkosa sepanjang hidupnya (baik ketika anak-anak maupun ketika sudah dewasa). Angka prevalensi yang  sama adalah 13 persen terhadap perempuan. WHO bahkan menyebutkan angka yang lebih tinggi dengan menyampaikan data bahwa lima persen sampai 10 persen laki-laki di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan seksual pada waktu anak-anak  (Stemple, 2008). Bagus Takwin (2011) menyebutkan bahwa korban perkosaan dilakukan terhadap perempuan, anak-anak, dan laki-laki di setiap usia, juga orang dengan beragam jenis fisik dan cara bertingkah laku.

Perkosaan tidak hanya terjadi terhadap perempuan dengan karakteristik tertentu, juga tidak hanya terjadi terhadap orang   yang keluar malam atau sering berpapasan dengan orang asing, tetapi bisa terjadi pada siapa saja, termasuk terhadap laki-laki. Menurutnya lagi, perkosaan adalah tindakan kekerasan, sebuah kejahatan kekerasan, bukan tindakan gairah.  Perkosaan adalah sebuah usaha untuk menyakiti dan merendahkan yang menggunakan seks sebagai senjatanya. Selain   senjata lainnya. Korbannya bisa perempuan atau laki-laki, bisa anak-anak atau orang dewasa, bahkan manula.

Merumuskan ulang delik perkosaan demi keadilan bagi para korban perkosaan dan memberikan jaminan kepastian hukum dalam penanganan kasus-kasus perkosaan, sepatutnya delik perkosaan memang harus  dirumuskan ulang. Rumusan   perkosaan pada Pasal 285-288 KUHP sudah kedaluwarsa.

Memang, dalam rumusan draf RUU KUHP yang baru (draf Kemenkumham pada 2015), rumusan tentang perkosaan (Pasal   491) sudah mengalami perluasan. Bahwasanya perkosaan tidak harus terjadi dengan kekerasan dan tidak harus terjadi dengan perempuan yang bukan istrinya. Tindak pidana perkosaan juga diperluas cakupannya, tidak hanya laki-laki   memasukkan alat kelaminnya ke alat kelamin perempuan, tapi juga laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan atau laki-laki memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan.

Namun demikian, pemahaman bahwa perempuan juga bisa melakukan perkosaan terhadap laki-laki ataupun sesama jenis   (sesama pria dan sesama wanita) bisa melakukan perkosaan, tampaknya belum terakomodasi dalam draf RUU KUHP yang baru. Memang perlu kajian khusus dan mendalam untuk mereformulasi delik perkosaan untuk sampai mencakup hal tersebut. Juga meluaskan perspektif dan siap menerima wawasan baru. Bahwasanya perkosaan bukanlah semata-mata persoalan gairah seks, melainkan juga persoalan relasi kuasa antardua (atau lebih) anak manusia.

Pemahaman terhadap korban juga harus diperluas. Apalagi, siapa 'korban' dan siapa bukan 'korban' sejatinya tidak   semata-mata persoalan hukum, tapi juga konstruksi sosial.  'Korban' menjadi 'korban' karena dikonstruksikan oleh masyarakat sebagai 'korban' bukan semata-mata mandat undang-undang (Kevin D Brown, The Social Construction of Rape Victim, 1992).

Akhirnya, mari kita mengawal perubahan delik tentang kekerasan seksual maupun tentang perkosaan di KUHP, baik di Mahkamah Konstitusi maupun DPR. Saat ini, Pasal 284, 285, dan 292 KUHP yang berkisar tentang kekerasan seksual tengah diajukan uji materiilnya ke hadapan Mahkamah Konstitusi oleh para sarjana dan aktivis pencinta keluarga dan pelindung anak.      

Juga, DPR saat ini tengah menuntaskan perubahan KUHP yang baru, termasuk rumusan tentang kejahatan seksual. Semoga,   baik MK maupun DPR, akan memutuskan yang terbaik untuk perlindungan keluarga dan anak-anak Indonesia, termasuk mengakomodasi rumusan bahwa pria, baik berstatus anak-anak maupun orang dewasa, adalah juga rentan menjadi objek kejahatan seksual.

Heru Susetyo

Staf Pengajar Viktimologi dan Hukum Perlindungan Anak Fakultas Hukum Universitas Indonesia 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement