Jumat 29 Jul 2016 06:07 WIB

Kisah Perjuangan Penyandang Tuna Netra Menembus Universitas Airlangga

Rep: Binti Sholikah/ Red: M.Iqbal
Melatih kemandirian penyandang tunanetra.
Foto: Antara
Melatih kemandirian penyandang tunanetra.

REPUBLIKA.CO.ID,Masuk ke perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi kebanggan tersendiri bagi sebagian kalangan masyarakat. Hal itu juga dirasakan Alfian Andhika Yudhistira (18 tahun).

Lulusan SMA Negeri 8 Surabaya ini diterima di Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya pada 2016. Untuk dapat diterima di Unair, Alfian yang menyandang tuna netra sejak usia tiga bulan ini butuh perjuangan.

Saat ini, dia menjadi mahasiswa tuna netra total pertama yang diterima di Unair. Alfian juga lolos mendapat beasiswa Bidikmisi.

Alfian bercerita, awalnya dia mendaftar di Unair melalui jalur SNMPTN atau jalur undangan berdasarkan prestasi, dengan menyertakan tiga piagam penghargaan tingkat nasional dan internasional. Ketiga piagam itu, yakni piagam Participant Global IT Challenge Asia Pasific khusus difabel tahun 2015, Juara 2 Global IT Challenge Nasional kategori E-Design grup tahun 2015, dan Juara 1 Olimpiade Sains Nasional (OSN) Matematika tingkat provinsi tahun 2015 untuk difabel.

Namun, dia tidak lolos di jalur ini. Padahal, teman-teman seangkatannya di sekolah banyak yang lolos tanpa menyertakan piagam.

Tak menyerah, Alfian mendaftar lagi melalui jalur SBMPTN atau jalur tertulis. Dia mengikuti tes seperti calon mahasiswa lainnya.

Namun, di jalur ini ia juga tidak lolos. Kemudian, ia mendaftar di jalur mandiri.

Alfian juga menelusuri penyebabnya tidak lolos jalur SNMPTN dan SBMPTN dengan melakukan pertemuan dengan Wakil Dekan 3 FISIP Unair. Saat itu, dia membuktikan jika penyandang tuna netra melek teknologi.

Dari pertemuan tersebut, Alfian menyimpulkan jika Unair tidak siap menerima mahasiswa penyandang tuna netra karena tidak memiliki perpustakaan braile. “Padahal saya tidak butuh perpustakaan braile, karena bisa mengoperasikan laptop. Setelah mengikuti tes dan lolos, akhirnya saya diterima dengan kesepakatan tidak boleh menuntut Unair untuk memfasilitasi saya,” jelasnya saat ditemui di sekretariat Komunitas Mata Hati, Rungkut Asri, Surabaya, Kamis (28/7).

Menurutnya, hal itu menjadi evaluasi bersama. Sebab, di Jawa Timur saat ini baru dua kampus yang menerima penyandang tuna netra, yakni Universitas Brawijaya di Malang dan Universitas Negeri Surabaya.

Sebelumnya, dia juga melakukan sosialisasi tuna netra yang melek IT di Unair. Dia pernah menjadi pembicara acara sosialisasi website www.makinpintar.com bentukan Unair.

Website ini ramah tuna netra karena bisa menampilkan konten suara. Acara itu dihadiri perwakilan beberapa universitas dan ratusan pelajar sekolah menengah atas di Surabaya.

Dia mengaku selama ini memanfaatkan IT melalui aplikasi Jaus for Windows yang sangat membantunya untuk belajar. Aplikasi ini mampu mengeluarkan konten suara dari dokumen yang dipindai.

Alfian mempelajari aplikasi ini sejak duduk di bangku SMP YPAB Surabaya. Selain Unair, ia juga mendaftar melalui jalur mandiri di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) di jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB).

Meski diterima di Unesa, Alfian lebih memilih untuk mengambil kuliah di Unair. “Bukan karena Unair kampusnya lebih besar, tapi saya ingin membuka jalur difabel di Unair untuk teman-teman tuna netra yang lain,” ungkapnya.

Remaja kelahiran Surabaya 30 Oktober 1997 ini mengaku menyukai mata pelajaran sosial yang tidak banyak angka-angka seperti Sosiologi, Bahasa Indonesia dan Sejarah. Dalam mempersiapkan kuliah di Unair, dia mengaku akan mencari teman sebanyak-banyaknya agar lebih mudah melakukan sosialisasi.

Alfian akan memberitahukan kepada teman-temannya jika penyandang tuna netra itu mandiri dan bisa beraktivitas seperti orang normal.

Sejak 2014, anak keempat pasangan Agus Priyonggo Warsito dan Sri Wahyuningsih ini bergabung dengan Komunitas Mata Hati.

Melalui komunitas ini, Alfian bersosialisasi dengan teman-temannya sesama penyandang tuna netra. Dia kerap melakukan sosialisasi kepada para tuna netra agar lebih mendiri.

Alfian juga mengajar membaca Alquran kepada tuna netra di Yayasan Raudlatur Makhfifin. Selain Alfian, tiga temannya sesama anggota Komunitas Mata Hati juga diterima di PTN pada tahun ini. Ketiganya adalah Fadlakal Jamal Ghafiru Anwar dan Prana Karenza Aditya Bagaskara yang diterima di Jurusan Sendratasi Unesa, serta Sofi yang diterima di Jurusan Pendidikan Ekonomi Unesa.  

Humas Komunitas Mata Hati, Dani Heru, mengatakan, sejak dibentuk pada tahun 2000, kegiatan komunitas ini lebih pada pengembangan soft skill penyandang tuna netra. “Kami ingin mengubah mindset bahwa tuna netra itu [masa depannya] tidak hanya tukang pijat,” ujar lulusan Jurusan Sendratasi Unesa ini.

Sejak 2007, lanjut Dani, ada pengerucutan tujuan komunitas terkait apa yang diberikan Mata Hati untuk orang di sekitarnya. Salah satunya melalui pengadaan printer braile. “Kegiatan-kegiatan ini menjadi laboratorium untuk proses kami agar sama seperti teman-teman lain,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement