Selasa 19 Jul 2016 15:00 WIB

Penduduk Miskin Turun, Indeks Keparahan Naik

Red:

JAKARTA -- Penduduk miskin per Maret 2016 berjumlah 28,01 juta orang atau 10,86 persen. Ini lebih rendah setengah juta orang dibandingkan pada September 2015 yang mencapai 28,51 juta orang. Tapi, pada periode sama, indikator indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan justru naik.

Di sisi lain, persentase penduduk miskin periode Maret dalam kurun dua tahun belakangan juga merosot. Pada Maret 2014 penduduk miskin mencapai 11,25 persen. Pada tahun berikutnya 11,22 persen dan pada Maret 2016 turun menjadi 10,86 persen.

''Berkurangnya penduduk miskin karena inflasi umum yang rendah pada September 2015 hingga Maret 2016 yakni 1,71 persen,'' kata Kepala BPS Suryamin dalam paparan Profil Kemiskinan di Indonesia, Maret 2016, di Kantor BPS, Senin (18/7). Rendahnya inflasi ini ditandai dengan lebih murahnya sejumlah harga komoditas di pasar.

Secara nasional, rata-rata harga daging ayam ras juga turun 4,08 persen. Pada September 2015 harganya Rp 37.742 sedangkan pada Maret 2016 seharga Rp 36.203. Selain itu, harga telur ayam ras dan minyak goreng masing-masing turun 0,92 persen dan 0,41 persen.

Tingkat penangguran terbuka (TPT) pada Februari 2016 juga lebih rendah, menjadi 5,50 persen dibanding Agustus 2015 yang mencapai 6,18 persen. Selain itu, nominal rata-rata upah buruh tani per hari pada Maret 2016 meningkat 1,75 persen.

Nilainya Rp 47.559 dari sebelumnya Rp 46.739 per hari pada September 2015. Upah buruh bangunan per hari pada Maret 2016 naik menjadi Rp 81.481 dari Rp 79.657 per September 2015. ''Jika pendapatan naik dan harga terkendali, kemiskinan berkurang,'' kata Suryamin.

Ia menyebut, dana desa bisa membawa dampak positif dalam memangkas angka kemiskinan. Karena itu, ia menyarankan dana ini dikelola dengan tepat. Bantuan sosial pun ia anggap cukup bisa mengeluarkan masyarakat dari kemiskinan.

Meski demikian, ia menjelaskan, kemiskinan tak hanya soal jumlah dan persentase penduduk miskin, tetapi juga kedalaman dan keparahan kemiskinan. Selain harus bisa mengurangi jumlah, kebijakan kemiskinan juga harus bisa mengurangi kedalaman dan keparahan kemiskinan.

Indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan per Maret 2016 masing-masing naik menjadi 1,94 persen dan 0,52 persen dari periode September 2015 yang masing-masing sebesar 1,84 persen dan 0,51 persen.

Namun, pada periode Maret 2015-Maret 2016 indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan turun dari masing-masing 1,97 persen dan 0,54 persen menjadi 1,94 persen dan 0,52 persen. Nilai dua indeks ini di perdesaan lebih besar daripada perkotaan.

Per Maret 2016, indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan perdesaan mencapai 2,74 persen dan 0,79 persen. Angka ini lebih besar daripada indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan perkotaan yang mencapai 1,19 persen dan 0,27 persen per Maret 2016.

Indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan periode Septemeber 2015-Maret 2016 meningkat, tutur Suryamin, karena garis kemiskinan perdesaan lebih tinggi dari perkotaan mengingat inflasi perdesaan juga lebih tinggi dari perkotaan.

''Ini karena harga di perdesaan lebih tinggi dari kota. Masyarakat desa mulai mengonsumsi barang-barang daerah urban. Ini butuh biaya distribusi lebih besar, sehingga margin dinaikkan,'' jelas Suryamin. Belum lagi, masyarakat perdesaan membeli barang secara eceran.

Deputi Bidang Statistik Sosial BPS M Sairi Hasbullah mengatakan, peningkatan indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan meningkat karena pada Maret 2015 banyak warga yang berada mepet di garis kemiskinan.

Begitu inflasi rendah, pendapatan mereka naik, demikian pula warga miskin pada level kemiskinan di bawahnya. ''Jadi, bukan berarti ada kesenjangan yang meningkat, tapi kecepatan orang miskin di level tengah belum cukup cepat mendekati batas garis kemiskinan,'' katanya.

Menurut dia, satu-satunya cara mempercepat peningkatan kesejahteraan warga miskin level tengah dan bawah adalah dengan menaikkan pendapatan masyarakat miskin, terutama yang berada di perdesaan.

Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengklaim, penurunan angka kemiskinan sebesar 0,27 persen dari total penduduk Indonesia karena harga komoditas pangan yang stabil. ''Harga pangan komposisinya besar dalam konsumsi masyarakat miskin.''

Turunnya angka kemiskinan pun mencerminkan meratanya stabilitas pada berbagai harga komoditas, terutama yang banyak dikonsumsi masyarakat miskin. Tapi, ia menjelaskan, ini tak bisa dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2016 sebesar 4,92 persen.

Menurut dia, penurunan angka kemiskinan tersebut merujuk pada penghitungan berapa penduduk yang di bawah garis kemiskinan, sementara pertumbuhan ekonomi menghitung penambahan kegiatan ekonomi dan jasa.

Anomali

Pengamat ekonomi Universitas Padjadjaran Ina Primiana mengatakan, data BPS harus dicermati karena penurunan jumlah penduduk miskin serta penurunan TPT terbuka terjadi dalam kondisi ekonomi yang melambat.

"Jadi, menurut saya, ini anomali. Di satu sisi kondisi ekonomi nggak bagus, tapi ini menurun. Karena, kalau melihat lapangan pekerjaan itu juga tidak bertambah,'' kata Ina, kemarin.

Jadi, yang menadi pertanyaan, kata Ina, apakah mereka dapat pesongan karena banyak perusahaan tutup, sehingga dapat berbelanja dan kebetulan harga rendah pada kurun waktu periode tersebut. Ia juga menyebut, sektor informal berperan di dalam masyarakat.

Di tengah kondisi ekonomi yang melambat sekarang ini, sektor informal berupa usaha mikro masih tetap bergairah. ''Jadi, tidak bisa dielakkan bahwa dalam situasi apa pun yang tumbuh itu usaha mikro, sektor informal. Karena, mereka tidak terpengaruh yang lain-lain.''

Ekonom dari Universitas Paramadina Firmanzah menyebutkan, penurunan jumlah masyarakat miskin ini mayoritas disebabkan oleh inflasi yang cukup rendah, mulai periode September 2015 hingga Maret 2016.

"Karena, memang harga minyak mentah dunia relatif cukup rendah pada saat itu. Kemudian, komponen inflasi juga cukup rendah. Itu yang membuat mengapa ada penurunan sebanyak 500 ribu orang," ujar Firmanzah kepada Republika, Senin (18/7).

Firmanzah menjelaskan, secara persentase, penduduk miskin di perdesaan lebih tinggi. Karena itu, diperlukan fokus dari pemerintah untuk pengentasan kemiskinan di perdesaan, misalnya, anggaran desa digunakan untuk pengantasan kemiskinan.

TPT pada Februari 2016 juga turun menjadi 5,50 persen dibandingkan Agustus 2015 yang mencapai 6,18 persen. Padahal, saat ini, ekonomi tengah mengalami perlambatan. Ia menyatakan, ini disebabkan sektor informal yang menopang ekonomi.    rep: Fuji Pratiwi, Idealisa Masyrafina/antara, ed: Ferry Kisihandi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement