Ahad 10 Jul 2016 07:00 WIB

Mudik Tahun 1960-an, dan Cerita Sukarno Berantas Buta Huruf

Pemudik yang menuju Pelabuhan Merak.
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Urbanisasi, industrialisasi, dan perkembangan ekonomi mendorong pertambahan penduduk di perkotaan (ilustrasi).

Kala itu, banyak warga berdatangan dari Garut dan di Jakarta, mereka berprofesi sebagai tukang cukur, tukang kitab gendongan, serta tukang sol dan semir sepatu. Selain itu, warga Tasikmalaya juga sudah banyak berdatangan dan berprofesi sebagai tukang kredit dengan menjual barang plastik dan produk kerajinan. Sebagai tukang kredit, mereka gigih menagih tagih an meski harus keluar masuk kampung.

Warga Kuningan umumnya membuka warung soto mi, sedangkan warga Sumedang membuka kedai kopi. Sementara itu, warga Cirebon di Jakarta, umumnya menjadi pedagang gado-gado dan ketoprak. Kini banyak dari mereka menjadi pedagang nasi jamblang.

Lain halnya dengan warga dari Padang (Sumatra Barat), umumnya berdagang baju dan tekstil. Banyak di antara mereka yang dulunya pedagang kaki lima dan kini menjadi pedagang di Pasar Tanah Abang yang menjadi bursa tekstil terbesar di Tanah Air dan Asia Tenggara.

Sedangkan, orang Madura sejak dulu dikenal sebagai pedagang sate dan warga dari Tegal membuka warteg di banyak tempat. Meski banyak dari mereka yang mudik kala Lebaran, tapi suasananya tidak hiruk-pikuk seperti sekarang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement