Rabu 22 Jun 2016 12:01 WIB
Kontroversi Hari Lahir Pancasila

Bermula dari Fragmentasi, Pengaburan Pancasila Yamin dan Desukarnoisasi Orba

Rapat BPUPKI
Foto: dok. Istimewa
Rapat BPUPKI

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Nasihin Masha (Tulisan dalam versi lengkap)

Di era reformasi, PDIP selalu mengadakan upacara pada setiap 1 Juni. Spanduk-spanduk juga dipasang. Judulnya jelas: “Pancasila 1 Juni”, dalam satu tarikan napas. Mereka berjuang agar 1 Juni 1945 ditetapkan sebagai hari lahir Pancasila.

Saat menjadi ketua MPR, Taufiq Kiemas berkirim surat secara resmi ke Presiden SBY. Ia meminta pemerintah menetapkan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Namun permintaan itu tidak dipenuhi SBY. Banyak pihak yang berkeberatan.

Ada yang beranggapan kelahiran Pancasila yang resmi adalah 18 Agustus 1945. Dasarnya adalah rumusan Pancasila yang diutarakan pada 1 Juni berbeda dengan yang diputuskan pada 18 Agustus.

Bahkan ada yang beranggapan rumusan 18 Agustus itu pun dilahirkan pada 22 Juni 1945. Rumusan 22 Juni itu berubah pada 18 Agustus dengan menghilangkan kalimat “dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan menggantinya dengan kalimat “Yang Maha Esa”. Sedangkan sila-sila lainnya sama persis.

Pendapat lain menyebutkan bahwa usulan lima sila tak hanya dilakukan Sukarno tapi juga oleh Soepomo dan Muh Yamin. Memang Sukarno yang memberi nama Pancasila pada pidato 1 Juni itu.

Namun PDIP terus berjuang. Karena itu, pada 2010, dengan kewenangan yang dimiliki Kiemas, MPR mengadakan Peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni. Judul acara itu merupakan kompromi. Acara itu dihadiri Presiden.

Kini, perjuangan itu membuahkan hasil. Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Kepres No 24 Tahun 2016. Pada poin menimbang ada delapan butir pertimbangan lahirnya Kepres tersebut. Intinya adalah Sukarno adalah orang pertama yang mengenalkan Pancasila sebagai dasar negara, yaitu pada 1 Juni 1945, pada sidang BPUPK.

Poin berikutnya adalah bahwa rumusan Pancasila mengalami proses seperti tercantum pada Piagam Jakarta 22 Juni 1945 hingga rumusan final pada 18 Agustus 1945. Semua itu merupakan satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai dasar negara.

Tanggal 18 Agustus sudah ditetapkan sebagai Hari Konstitusi lewat Kepres No 18 Tahun 2008. Karena itu kelahiran Pancasila ditetapkan pada 1 Juni. Proses penetapan oleh Presiden Jokowi tak semulus yang dikira. Ada tarik ulur. Sempat ada informasi yang mengatakan bahwa penetapan itu tidak jadi. Padahal draf Kepres sudah lama disiapkan.

Lobi-lobi Istana ke berbagai pihak untuk mendapat dukungan pun sudah dilakukan. Namun kabarnya ada lembaga penting yang berkeberatan. Tapi kemudian, dalam acara napak tilas perjalanan Sukarno di Bandung, dari Gedung Merdeka tempat Bung Karno diadili ke penjara Banceuy – Bung Karno diadili penjajah Belanda dengan judul pembelaannya yang monumental v“Indonesia Menggugat” -- Presiden mengumumkan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila.

Sejak dipimpin Zulkifli Hasan, setiap tahun MPR mengadakan kegiatan napak tilas perjalanan Bung Karno pada setiap 1 Juni. Tahun lalu diadakan di permakaman Bung Karno di Blitar, Jawa Timur. Pada acara di Bandung itu, Rabu (1/6), Presiden mengumumkan penetapan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila.

Mengapa jadi ditetapkan? Ada yang menyebutkan bahwa  hal itu terkait dengan acara pengukuhan gelar doktor honoris causa untuk Megawati di Unpad, Bandung, yang diadakan tepat sepekan sebelumnya, Rabu, 25 Mei 2016. Saat itu Jokowi tak diundang, hanya Wapres Jusuf Kalla yang diundang.

Sempat Dilupakan

Penetapan kelahiran Pancasila pada 1 Juni ini merupakan proses yang panjang. Bukan hanya sejak era reformasi yang diperjuangkan PDIP, yang dipimpin Megawati, putri Sukarno. Tapi jika merujuk pada terbitnya buku Lahirnya Pancasila pada 1947 maka perjuangan itu telah menempuh waktu 69 tahun. Buku tipis itu berjudul Lahirnja Pantja Sila.

Dalam kata pengantarnya, bertanggal 1 Juli 1947, Radjiman Wediodiningrat, yang sebelumnya ketua BPUPK, menyebutkan bahwa pidato Bung Karno itu tak tertulis. Dokumen pidato yang kita kenal sekarang merupakan hasil kerja dua stenografer – betapa para founding fathers sudah menyadari pentingnya dokumentasi. Buku itu memuat pidato Bung Karno pada 1 Juni tersebut.

Prof Mr AG Pringgodigdo, dalam tulisannya berjudul Sekitar Pancasila, menulis “bahwa setelah pada tanggal 1 Juni 1945 diterima oleh semua anggota Badan Penyelidik dengan tepuk tangan yang riuh kemudian setelah tanggal itu dalam tahun 1945 tidak pernah disebut lagi, sehingga baik dalam Pembukaan maupun dalam Batang Tubuh UUD 1945 istilah itu tidak dijumpai.”

AG Pringgodigdo adalah wakil kepala sekretariat yang juga merangkap anggota BPUPK. Sehari-hari dia adalah wedana Purwokerto. Menurutnya, “Istilah Pancasila itu baru timbul kembali pada waktu Presiden Sukarno dalam bulan September 1947 mengeluarkan buku kecil yang memuat pidatonya dari 1 Juni 1945 di muka rapat Badan Penyelidik itu dengan judul: Lahirnya Pancasila. Sejak saat itu Bung Karno mulai memperkenalkan Pancasila menurut perumusannya kepada khalayak ramai.”

Istilah Pancasila memang tak ditulis dalam Pembukaan UUD 1945 maupun di Batang Tubuh UUD 1945. Namun lima sila itu jelas tercantum di Pembukaan UUD 1945. Karena itu wajar jika orang tak pernah bercakap lagi soal Pancasila dan baru muncul kembali pada 1947 sejak terbitnya buku Lahirnja Pantja Sila. Pada sisi lain, ada semacam kesadaran bersama bahwa konstitusi itu bersifat sementara sampai lahirnya badan yang dipilih secara demokratis yang bertugas untuk menyusun konstitusi.

Istilah Pancasila memang baru pertama kali muncul saat Bung Karno berpidato pada 1 Juni 1945 tersebut. Dalam pidatonya, ia mengungkapkan, “Namanya bukan Panca Dharma, tetapi – saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa – namanya ialah Panca Sila.”

Menurut Bung Karno, istilah Panca Dharma tidak tepat karena dharma berarti kewajiban. “Sedang kita membicarakan dasar,” katanya. Padanan sila adalah dasar atau asas. Ini sesuai dengan permintaan Radjiman Wediodiningrat, ketua BPUPK, bahwa persidangan untuk mencari mufakat tentang dasar negara (philosofische grondslag).

Sesuatu yang wajar jika suatu kata baru butuh waktu untuk diterima oleh umum. Benar saja, seperti kata AG Pringgodigo, setelah itu orang melupakan kata Pancasila. Pada 1947 istilah itu muncul lagi setelah terbitnya buku Lahirnja Pantja Sila, yang diterbitkan kementerian penerangan. Orang mulai lagi membicarakan Pancasila.

Dalam tulisannya pada 1981, AG Pringgodigdo kemudian berkisah tentang 'penemuan' Pancasila ini. Pada tahun 1950 Ki Hajar Dewantara mengeluarkan buku kecil berjudul “Pancasila”.

Dalam buku ini Ki Hajar mulai mengenalkan siapa penemu Pancasila. Ia menulis bahwa Bung Karno adalah “Pencipta Pancasila”. Sebutan yang sama juga diucapkan pihak UGM saat memberikan gelar doktor honoris causa pada Bung Karno pada 19 September 1951. Namun dalam pidato penganugerahan itu Bung Karno menolak sebutan sebagai “pencipta Pancasila”. Ia mengaku hanya sebagai “perumus” dan “pengutara” Pancasila.

Upaya untuk menggelorakan Pancasila terus dilakukan. Antara lain, pada 16-20 Februari 1959 di Yogyakarta juga diadakan seminar tentang Pancasila. Seminar ini ditutup Sukarno dan hanya lima bulan sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tentang pembubaran Konstituante dan kembali ke Pancasila dan UUD 1945.

Fragmentasi politik dan alam bawah sadar tentang kesementaraan UUD 1945 merupakan faktor penting lain tentang “dilupakannya” Pancasila dan UUD 1945. Hal ini dibuktikan oleh sejarah. Tak lama setelah merdeka, terbit maklumat wapres yang mempraktikkan sistem pemerintahan parlementer. Padahal itu tak sesuai dengan konstitusi. Sjahrir diangkat menjadi perdana menteri pada November 1945.

Praktik ini terus berlanjut hingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sebelum dekrit, konstitusi yang berlaku berganti-ganti, yaitu UUD 1945, UUD RIS, dan UUDS 1950.

Bukti lainnya, pemilu 1955 selain memilih anggota parlemen, juga memilih anggota Konstituante. Lembaga ini bertugas untuk menyusun konstitusi baru. Ada dua aliran di Konstituante, yang satu memperjuangkan Pancasila sebagai dasar negara dan yang satu lagi memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.

Polemik berlarut-larut di Konstituante dan jatuh-bangunnya pemerintahan parlementer, membuat sebagian pihak mengambil langkah. Bung Karno yang kehilangan kekuasaan pemerintahan, serta militer yang kehilangan peran dan lelah memadamkan pemberontakan mulai ada kesepahaman.

Dekrit Presiden – yang membubarkan parlemen hasil pemilu dan Konstituante – merupakan kolaborasi presiden dengan tentara. Mereka menjadikan Pancasila sebagai pijakannya. AH

Nasution, pimpinan militer saat itu, telah menginisiasi lahirnya partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), yang kemudian melahirkan Pemuda Pancasila pada 1959. Hal ini merupakan bagian dari prosekusi terhadap Dekrit Presiden yang memerintahkan untuk kembali ke Pancasila dan UUD 1945. Sejak Dekrit, hari lahir Pancasila pada 1 Juni selalu diperingati secara resmi.

Perlu dicatat, sejak 24 September 1955, di Surabaya, kata Pringgodigdo, Bung Karno akhirnya menyebut dirinya hanya sebagai “penggali” Pancasila. Sebutan inilah yang kemudian banyak diterima publik.

“Aku tidak menciptakan Pancasila. Sebab sesuatu dasar negara ciptaan tidak akan tahan lama...jangan bikin sendiri, jangan anggit sendiri, jangan karang sendiri. Selamilah sedalam-dalamnya daripada sejarah! Gali sedalam-dalamnya.... Aku bukan pencipta Pancasila. Pancasila diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Aku hanya menggali Pancasila,” katanya.

Hal itu juga diulangi di berbagai kesempatan, antara lain: “Kenapa diucapkan terima kasih kepada saya, kenapa saya diagung-agungkan, padahal toh sudah saya sering katakan, bahwa saya bukan pencipta Panca Sila. Saya sekadar penggali Panca Sila daripada bumi Tanah Air Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara yang saya gali itu, saya persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia.”

Pengaburan Yamin

Pada 1959, M Yamin menerbitkan buku berjudul Naskah Persiapan UUD 1945 jilid I (815 halaman) – dalam tulisan ini selanjutnya hanya disebut Naskah Persiapan. Pada tahun berikutnya menerbitkan jilid II (848 halaman) dan jilid III (957).

Yamin memang seorang yang sangat produktif. Ia menulis banyak buku. Ia sarjana hukum dan guru besar hukum tata negara. Ia juga seorang sastrawan dan memiliki minat yang sangat besar terhadap sejarah. Imajinasinya tentang keindonesiaan luar biasa. Ia figur kunci Kongres Pemuda yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda.

Ia menulis buku tipis berjudul Sumpah Indonesia Raya, yang berisi tiga sumpah: sumpah di kaki Bukit Siguntang (tahun 683, masa Sriwijaya), sumpah di kaki gunung Penanggungan (1331, masa Majapahit), dan sumpah Indonesia Raya (1928).

Imajinasinya tentang wajah Gajah Mada pernah disentil kolumnis Mahbub Djunaidi. Kita mengenal wajah Gajah Mada yang tak pernah ditemukan kuburnya dan jejak lainnya itu berkat 'jasa' Yamin.

Ia juga menulis buku Tata Negara Majapahit, yang dirancang tujuh jilid (Sapta Parwa), namun hanya bisa diselesaikan empat jilid. Buku ini tak sempat ia selesaikan karena ia wafat, dalam usia 59 tahun, pada 17 Oktober 1962. Ia juga menulis buku berjudul 6.000 Tahun Sang Merah Putih, Gajah Mada, Sejarah Peperangan Dipanegara, dan naskah drama Ken Arok dan Ken Dedes.

Buku Naskah Persiapan adalah buku pertama yang mempublikasikan dokumen sidang BPUPK/PPKI. Penulisan itu bersumber dari dokumen yang di kemudian hari dikenal sebagai Arsip AG Pringgodigdo. Sebagai wakil kepala sekretariat BPUPK, ia menyimpan dokumen-dokumen persidangan. Sidang itu juga menyediakan dua orang stenografer. Selain itu juga ada dokumen dari notulis sidang. Sehingga semua pembicaraan lisan, baik itu pidato maupun tanggapan dari floor, bisa terekam dengan baik. Bahkan tepuk tangan maupun tertawa juga dicatat.

Ada sejumlah sisi kontroversial dari buku Naskah Persiapan tersebut. Namun yang paling krusial adalah tentang pidato Yamin pada hari pertama, 29 Mei 1945. Dalam buku yang disusunnya sendiri itu, Yamin mencantumkan naskah yang panjang yang disebutnya bersumber dari pidatonya saat itu. Di situ Yamin sudah mengemukakan usulan lima dasar negara dengan urutan: peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.

Uniknya, dalam buku itu pidato Yamin (halaman 87-107) diletakkan sesudah pidato Sukarno (halaman 61-81). Walaupun tetap ditulis bahwa pidato Yamin disampaikan pada 29 Mei dan pidato Sukarno diucapkan pada 1 Juni. Lima dasar usulan Yamin itu mirip dengan usulan Sukarno. Lima dasar usulan Sukarno itu, sesuai urutannya: kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau peri kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan.

Karena buku Yamin itu kita menjadi dikaburkan tentang pengusul pertama Pancasila. Walaupun semua sepakat bahwa nama Pancasila dikemukakan oleh Sukarno pada pidato 1 Juni. Namun isi sila-sila Pancasila antara Yamin dan Sukarno boleh dikatakan sama.

Bahkan usulan Yamin lebih dekat dengan rumusan final Pancasila. Karena itu klaim bahwa Sukarno sebagai penggali Pancasila bisa runtuh jika merujuk pada buku tersebut. Apalagi buku itu diberi kata pengantar oleh Sukarno, dengan tulis tangan pula. Selain itu, hubungan antara Sukarno dan Yamin memang dekat. Ia beberapa kali menjadi menteri di masa Demokrasi Terpimpin.

Saat buku itu terbit ia sedang menjabat sebagai menteri urusan sosial dan budaya. Dan, saat itu tak ada kontroversi sama sekali tentang pidato Yamin.

Inilah petikan dari kata pengantar tersebut, yang ejaannya sudah disesuaikan, yang ditulis Bung Karno: “Pembaca dan penelaah buku ini akan menyaksikan bahwa UUD 1945 itu sungguh-sungguh suatu ciptaan nasional, yang dipercik oleh 62 orang putera dan puteri Indonesia...Kumpulan Naskah UUD 1945 ini ialah pula dipergunakan sebagai fondasi bagi amanah Presiden Sekali lagi Res Publica, yang saya ucapkan pada tanggal 22 April 1959 di depan sidang pleno Konstituante di Bandung. Membolak-balik halaman buku sama dengan menggali tambang emas Konstitusi Proklamasi...Karena itu bacalah dan pelajarilah dengan teliti.”

Namun demikian, kebenaran tetap harus dicari. Data harus ditelisik. Asal-usul sumbernya harus disusur ulang. Namun kontroversi pertama justru terjadi di masa Orde Baru. Yang menyoal pun bukan para Sukarnois. Tapi lima founding fathers yang memiliki kredibilitas. Mereka adalah Dr M Hatta, Mr Ahmad Subardjo, Mr AA Maramis, Prof Mr AG Pringgodigdo, dan Prof Mr Sunario.

Mereka ini dikenal dengan Panitia Lima, yang dibentuk oleh Presiden Soeharto pada 1975. Mereka diberi tugas untuk merumuskan pengertian Pancasila. Namun mereka memanfaatkan penugasan tersebut dengan menyatakan menolak kebenaran pidato Yamin pada 29 Mei dan sekaligus menyatakan bahwa Sukarno adalah satu-satunya orang yang mengemukakan usulan lima dasar tersebut.

Namun peruntuhan terhadap klaim Yamin baru benar-benar dilakukan ketika buku AB Kusuma terbit pada 2004, yang disempurnakan lagi pada edisi revisi pada 2009. Buku itu berjudul Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 dengan tebal 671 halaman.

Untuk lebih meyakinkan, buku itu diberi kata pengantar oleh banyak orang: Jimly Asshiddiqie (dua tulisan, untuk edisi pertama dan kedua), Safri Nugraha, Moh Mahfud MD, Hidayat Nurwahid, Satya Arinanto, dan Sri Soemantri. Sebetulnya Kusuma sudah mengemukakan temuannya sejak 1994. Hal itu ia ungkapkan dalam sarasehan yang diadakan oleh Yapeta. Bahkan pada 1993 Kusuma sudah menulis hal itu di surat kabar. Namun Kusuma masih belum menyusunnya secara utuh seperti dalam bukunya.

Berdasarkan penelusurannya, Kusuma berkesimpulan bahwa Yamin tak memberikan pidato seperti yang ditulis di buku Naskah Persiapan. Dalam bukunya, ia memuat pidato Yamin yang asli yang hanya sekitar dua halaman bukunya saja. Hal itu ia temukan berdasarkan notulis yang berlogo Dokuritu Zyunbi Tyoosa Kai. Pidato itu diperkirakan hanya menelan waktu 20 menit. Karena alokasi waktu untuk semua pembicara pada sidang 29 Mei 1945 itu hanya 120 menit untuk tujuh pembicara. Sedangkan pidato Yamin yang tercantum di Naskah Persiapan, sekitar 20 halaman bisa memakan waktu satu jam. Hal itu didukung kesaksian Bung Hatta bahwa pidato Yamin pendek saja.

Desukarnoisasi Orde Baru

Kelahiran Orde Baru merupakan pembalikan terhadap Orde Lama (Demokrasi Terpimpin). Selain melakukan pembersihan terhadap pengikut Sukarno, isolasi terhadap Sukarno di sisa hidupnya sejak mundur dari jabatan presiden, serta penempatan lokasi kuburan di Blitar dan bukan di Bogor sebagaimana keinginannya, upaya desukarnoisasi juga dilakukan di lapangan ideologi.

Dengan doktrin “kembali ke Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen” -- Orde Lama juga memiliki doktrin kembali ke Pancasila dan UUD 1945 namun dinilai tak murni dan konsekuen, karena misalnya memasukkan komunisme yang anti-Tuhan maupun penetapan presiden seumur hidup dan anggota parlemen yang diangkat presiden – sama saja artinya menengok ke peran utama Sukarno dalam hal ideologi Pancasila.

Sepuluh tahun pertama, rezim Orde Baru melakukan konsolidasi di lapangan politik dan pemenuhan kehidupan ekonomi yang lebih stabil dan lebih baik. Maka pada paro kedua dekade 1970, tepat 10 tahun setelah pelantikannya sebagai presiden, pada 1976 Soeharto masuk ke hal yang substansial, yakni di lapangan ideologi.

Hal itu dimulai dengan lahirnya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Hal ini hanya satu tahun setelah melahirkan Panitia Lima yang menyampaikan “Uraian Pancasila”. Pada 1978, pemerintah mulai menyelenggarakan penataran P4.

Menyebut Pancasila berarti menggelorakan Sukarno. Pada 1978, sejarawan yang juga tentara dan kemudian menjadi rektor UI dan menteri pendidikan dan kebudayaan, Nugroho Notosusanto, menerbitkan buku Naskah Proklamasi yang Otentik dan Rumusan Pancasila yang Otentik.

Dalam kata pengantarnya, Nugroho mencatat bahwa penulisan buku ini berawal dari pertanyaan para siswa atau peserta di lembaga pendidikan ABRI (kini TNI) seperti di sekolah staf dan komando dan juga di Lemhannas. Buku ini memang berawal dari brosur untuk lingkungan internal. Hal ini terlihat dari kata pengantar oleh Letjen TNI Daryatmo, kepala staf kekaryaan Hankam. Kata pengantar itu bertanggal 17 Agustus 1971.

Dalam buku tipis itu Nugroho sudah menegaskan bahwa Pancasila lahir pada 18 Agustus 1945. Secara retoris ia menulis, “Bilamanakah Pancasila yang sah itu dilahirkan atau disahkan? Jawabnya adalah: bersamaan dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengandungnya, yakni pada tanggal 18 Agustus 1945”.

Ia juga menulis bahwa perumus Pancasila pertama adalah Yamin, sesuai dengan pidato pada 29 Mei. Sedangkan perumus kedua adalah Sukarno, berdasarkan pidato 1 Juni. Lalu ia menyebut ada rumusan ketiga, yaitu pada Piagam Jakarta. Pada rumusan ketiga ini, sila pertama berbunyi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Berdasarkan hal itu, Nugroho menyimpulkan, “Dengan demikian pula rumusan Pancasila yang otentik bukanlah rumusan ke-1 oleh Mr Muh Yamin, bukan pula rumusan ke-2 oleh Ir Soekarno, bukan pula rumusan ke-3 di dalam Piagam Jakarta”. Ia menyebut semua itu hanya “konsep belaka”. Sehingga ia menegaskan, “Pancasila yang otentik adalah rumusan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan pada tanggal 18 Agustus 1945”.“Kiranya tidak perlu lahirnya Pancasila itu kita kaitkan kepada seorang tokoh secara mutlak,” katanya. Nugroho juga menyebutkan bahwa pemerintah telah mengeluarkan Inpres No 12/1968 yang menetapkan bahwa rumusan Pancasila dasar negara termuat dalam pembukaan UUD 1945. Hal itu juga merujuk pada Tap MPRS No XX/MPRS/1966, Tap MPR No V/MPR/1973, dan Tap MPR No II/MPR/1978. “Dengan demikian hari lahir Pancasila dasar negara (yang otentik) bukanlah tanggal 1 Juni 1945,” katanya. Ia juga menyebut perdebatan hari lahir Pancasila itu tak bermanfaat. Bahkan ia menyebutkan yang dirayakan itu bukanlah hari lahir Pancasila tapi hari “kesaktian Pancasila”.

Nugroho – yang dipercaya rezim Soeharto untuk memimpin penulisan buku sejarah resmi Indonesia – juga menerbitkan buku berjudul “Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara”.  Ia selalu meletakkan Pancasila dan “dasar negara” dalam satu tarikan napas. Buku ini terbit pada 1981 dan dilengkapi dengan tulisan AG Pringgodigdo yang berjudul Sekitar Pancasila.

Dalam kata pengantarnya, Prof Dr Dardji Darmodihardjo menyebutkan bahwa tulisan Pringgodigdo itu pernah diterbitkan Kodam VIII/Brawijaya dalam rangka rapat pimpinan (TNI? -- pen) pada 1970. Juga pernah diterbitkan Dephankam dan Pusat Sejarah ABRI pada 1978.

Buku kedua Nugroho ini pada hakikatnya berisi penegasan, penjelasan lebih dalam, serta klarifikasi dan pertanggungjawaban bukunya yang pertama. Karena itu, ia menulis, “kita akan segera bertemu dengan masalah kredibilitas sumber”. Ia menegaskan, “Sumber tertulis utama yang ada hanya satu, yakni buku Prof Mr Muh Yamin”. Yang ia maksud adalah buku Naskah Persiapan. Selain menjadi sumber primer, buku itu disusun oleh salah seorang pelaku dan diberi kata pengantar dengan tulis tangan oleh Sukarno yang juga salah seorang pelaku.

“Atas dasar keyakinan itu buku Prof Yamin itu saya pakai sebagai sumber yang autentik,” kata Nugroho. Bagi yang meragukan ontentisitas buku Yamin itu ia bertanya dari mana kita bisa mengetahuinya? “Padahal notulen autentik itu tidak ketemu,” tulisnya.

Pada bagian lampiran, Nugroho juga menulis bahwa Soepomo pun mengusulkan lima dasar, yakni saat pidato pada 31 Mei 1945. Lima dasar itu adalah: persatuan, kekeluargaan, keimbangan lahir dan batin, musyawarah, dan keadilan rakyat. Hal itu ditegaskan lagi dalam buku Sejarah Nasional Indonesia yang diterbitkan Balai Pustaka yang menjadi buku induk sejarah Indonesia.

Usulan Soepomo di buku terbitan 1993 itu oleh Kusuma disebut hanya berdasarkan pada satu halaman dari 13 halaman pidato Soepomo. Jadi hanya upaya mencocok-cocokkan saja agar menjadi lima. Jika kita baca kembali dokumennya maka sebetulnya Soepomo memang tak bicara usulan lima hal itu, tapi banyak sekali poinnya.

Namun Pringgodigo dalam tulisan yang dimuat di buku Nugroho juga mendukung ide adanya usulan Soepomo itu. Jadi menurutnya, selain Yamin dan Sukarno, yang mengusulkan lima dasar juga Soepomo. “Ketiga-tiga pembicara mengusulkan 5 hal untuk menjadi dasar-dasar negara merdeka,” katanya. Menurutnya, “dalam kata-katanya berbeda tapi pokok-pokoknya sama.” Bahkan, katanya, “Perumusan Pancasila dalam Mukadimah itu praktis sama dengan perumusannya (dari Muh Yamin).”

Untuk menghentikan kontroversi, pemerintah membentuk tim yang dipimpin Saafroedin Bahar. Tim di bawah koordinasi menteri sekretaris negara itu – mungkin karena sekretariat BPUPK yang kemudian menjadi sekretariat negara – kemudian menerbitkan buku berjudul Risalah Sidang BPUPKI PPKI pada 1980 (selanjutnya dalam tulisan ini disebut sebagai buku Risalah Sidang). Buku ini diharapkan menjadi buku putih untuk menjernihkan sengkarut soal sidang BPUPK/PPKI.

Buku ini menggunakan buku Yamin sebagai rujukan utamanya. Bahkan untuk edisi pertama hanya semacam cetak ulang saja dari buku Yamin, dengan membuang unsur analisis Yamin.

Buku ini kali pertama terbit pada 1980, dan telah dicetak sembilan kali. Cetakan kesembilan terbit pada 2014, isinya sama dengan cetakan 1998. Jika delapan cetakan sebelumnya diterbitkan Sekretariat Negara, maka cetakan terakhir oleh Aliansi Kebangsaan.

Dalam sembilan kali cetakan itu, buku Risalah Sidang memiliki empat edisi. Sampai cetakan tahun 1995, nama AB Kusuma masih tercantum sebagai salah satu dari tiga penyunting. Dua lainnya adalah Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati. Mulai cetakan 1995 sudah ada kata pengantar dari sejarawan Taufik Abdullah. Namun pada tahun 1994, Yapeta mengadakan seminar. Walau tak menanggapi buku itu tapi pemakalah utamanya adalah AB Kusuma, yang justru meruntuhkan isi buku itu.

Jika edisi pertama hanya cetak ulang dari buku Yamin, maka pada edisi kedua pada 1992 sudah ada perbaikan. Yaitu soal ejaan, penyusunan dikelompokkan sesuai urutan pembicaraan dan pembahasan, catatan mengenai tiga materi penting yang tak ada dalam buku Yamin, dilengkapi dengan biodata para anggota BPUPK/PPKI, dan dilengkapi dengan indeks.

Pada edisi ketiga, yakni cetakan tahun 1995 (cetakan ke-7), penyunting menjelaskan tentang ditemukannya arsip AK Pringgodigdo di Belanda dan arsip AG Pringgodigdo yang dipinjam Yamin. Dua arsip tersebut dijelaskan sudah ada di Arsip Nasional RI. Di situ dijelaskan bahwa dua arsip itu telah diteliti dan ditelaah oleh sejumlah pakar, di antaranya Taufik Abdullah, Abdulrachman Surjomihardjo, dan Anhar Gonggong. Mereka adalah sejarawan yang memiliki reputasi baik.

Penemuan dua arsip itu bisa memperbaiki buku Risalah Sidang. Yaitu soal risalah rapat Panitia Perancang UUD tanggal 11 Juli 1945 dan mengganti pidato Soepomo pada 15 Juli dengan versi yang lengkap.

Pada edisi ketiga ini juga ada perbaikan tentang lamanya pidato para pembicara pada sidang 29, 30, dan 31 Mei. Hal ini sesuai manuskrip 20 halaman yang diserahkan sejarawan RJ Drooglever. Selain itu pada edisi ketiga ini ada upaya 'penjernihan' terhadap pemikiran negara integralistik yang dikemukakan Soepomo.

Pada edisi keempat (1998) atau cetakan ke-8 ada penambahan lampiran. Yaitu berupa keterangan tertulis dari dua stenografer, yaitu Ny Sumarti (istri mendiang Letjen TNI TB Simatupang) dan Ny Netty Karundeng. Isi keterangan bertulis tangan dua stenografer saat sidang BPUPK/PPKI persis sama. Inilah petikannya: “Catatan stenografis dari

risalah sidang kedua badan tersebut telah kami musnahkan setelah transkripnya diketik. Dengan demikian maka transkrip yang telah diketik itulah yang merupakan naskah asli dari risalah sidang BPUPKI PPKI.”

Pada edisi keempat ini juga ada penambahan materi pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo pada 31 Mei 1945. Materi reproduksi itu diserahkan oleh putra Ki Bagus ke Sekretariat Negara.

Nugroho wafat sebelum dokumen yang dinilai otentik ditemukan. Dokumen di ARA (Algemeen Rijksarchief) di Den Haag, Belanda, telah menyimpan Pringgodigdo Archief (tercatat sebagai arip AK Pringgodigo – adik AG [Abdul Gafar] Pringgodigdo). Arsip itu dikembalikan ke Indonesia pada 1989. Sekarang ada di Arsip Nasional Republik Indonesia,

Jakarta. Mr AK (Abdul Karim) Pringgodigdo adalah pegawai Gunseikan yang bertugas mengikuti jalannya sidang BPUPK. Pelacakan Kusuma ke ARA itu berdasarkan petunjuk dari buku JCT Simorangkir yang mengungkap soal itu.

Pada sisi lain, risalah sidang BPUPK dan PPKI yang dipegang AG Pringgodigdo seperti diketahui telah dinyatakan hilang, seperti dinyatakan Nugroho. AG Pringgodigdo adalah wakil kepala sekretariat BPUPK, sekretariat ini kemudian menjadi sekretariat negara.

Arsip ini dipinjam M Yamin untuk menyusun buku Naskah Persiapan. Ternyata arsip itu kemudian ditemukan secara tak sengaja di perpustakaan Puri Mangkunegaran, Solo, pada 1990. Penemunya adalah pegawai arsip nasional -- yang dimintai tolong BRA Satuti, putri Mangkunegoro VIII, yang juga menantu Yamin – saat diminta merapikan perpustakaan Mangkunegoro. Kini dokumen itu ada di Arsip Nasional Republik Indonesia. Keberadaan arsip Yamin tak lepas dari meninggalnya Rahadian Yamin, putra tunggal Yamin yang menikah dengan Satuti. Sehingga sejumlah buku dan manuskrip peninggalan Yamin dibawa ke Solo.

Penemuan-penemuan dokumen otentik itu tentu saja melegakan. Namun ternyata dari dua dokumen yang sama bisa menghasilkan dua buku yang berbeda, khususnya soal isi pidato Yamin pada 29 Mei 1945. Buku Risalah Sidang tetap memuat pidato Yamin sebagaimana buku Naskah Persiapan, yang menyebutkan bahwa Yamin mengusulkan lima dasar. Sedangkan buku Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 memuat pidato Yamin yang isinya tanpa ada usulan lima dasar.

Yudi Latif, penulis buku Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila mengabaikan buku Risalah Sidang maupun buku Naskah Persiapan. Ia lebih percaya pada buku Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 karya AB Kusuma. Sehingga Yudi berkesimpulan bahwa Yamin tidak mengusulkan lima dasar. Kusuma juga memperkuat pendapatnya dengan mengemukakan sejumlah argumen seperti lamanya waktu pidato, konsistensi pemikiran Yamin dalam persidangan, dan juga merujuk pendapat Panitia Lima.

Lalu Kapan Pancasila Lahir?

Subjudul itu merupakan pertanyaan pokok kita semua. Jika kita sudah bisa bersepakat bahwa pidato Yamin yang otentik tak memuat usulan lima dasar dan pidato Soepomo juga tak memuat usulan lima dasar, maka Sukarno merupakan satu-satunya yang mengusulkan lima dasar dan bahkan memberinya nama Pancasila. Lalu apakah pidato Sukarno pada 1 Juni 1945 bisa dinilai sebagai pidato kelahiran Pancasila?

Sebagian ada yang berpendapat tidak bersepakat. Ini semata-mata karena rumusan Pancasila pada 1 Juni berbeda dengan rumusan Pancasila pada 18 Agustus 1945. Apalagi pada pidato tersebut, Sukarno menyatakan bahwa jika lima sila itu terlalu banyak maka bisa diperas menjadi trisila. Jika tiga sila masih dinilai terlalu banyak juga maka cuma ada satu sila, ekasila. Padahal setelah 18 Agustus, sudah tidak ada lagi tiga sila atau satu sila tersebut. Karena hal itu tak ada dalam keputusan resmi. Penolakan ini sesuatu yang wajar belaka. Apalagi pada tahun-tahun berikutnya, Sukarno masih tetap berpidato tentang tiga sila dan satu sila.

Seperti ditegaskan Nugroho Notosusanto, “Jadi kalau ada orang yang mengatakan bahwa tanggal 1 Juni 1945 adalah hari lahir Pancasila maka kita harus menanyakan terlebih dahulu: Pancasila yang mana?” Bahkan Nugroho menyatakan tentang pentingnya “pengamanan” Pancasila. “Ibaratnya Pancasila itu merknya, isinya dapat saja ditukar dengan isi lainnya,” katanya. Hal itu ia rujuk pada kenyataan praktik Demokrasi Terpimpin yang menerima komunisme yang bisa dinilai bertentangan dengan Pancasila.

AG Pringgodigdo juga mempunyai pendapat yang sama. Menurutnya, “Perumusan dalam pembukaan UUD 1945 itu berbeda dengan perumusan yang diberikan oleh Bung Karno pada 1 Juni 1945. Berhubung dengan itu maka tidak benar bahwa Pancasila lahir pada tanggal 1 Juni 1945...1 Juni bukan hari lahir Pancasila tapi lahirnya pemakaian istilah Pancasila.”

Pendapat yang bijak dikemukakan oleh Yudi Latif, seperti ditulis dalam karya magnum opusnya, Negara Paripurna (terbit 2011). Buku yang sangat berpengaruh sejak era reformasi ini merupakan buku yang secara komprehensif memberikan perspektif historik dan konseptual tentang Pancasila yang objektif dan ilmiah serta tak ditumpangi kepentingan politik.

Setelah itu, Yudi juga menulis buku Mata Air Keteladanan, Pancasila dalam Perbuatan (terbit 2014). Buku ini menulis tentang praktik-praktik hidup berpancasila seperti dicontohkan para pendahulu kita.

Jika dua buku itu merupakan buku-buku yang tebal, maka pada buku ketiganya ia menulis buku yang relatif lebih tipis. Judulnya Revolusi Pancasila (terbit 2015). Buku terakhir dari trilogi bukunya tentang Pancasila ini merupakan buku praksis dalam menerapkan Pancasila. Buku ketiga ini semacam buku panduan.

Dalam Negara Paripurna, Yudi membagi fase kelahiran Pancasila dalam tiga tahap: fase pembuahan, fase perumusan, dan fase pengesahan. Fase pembuahan dimulai dari kiprah Perhimpunan Indonesia di Belanda pada 1924. Fase perumusan berlangsung dalam sidang BPUPK pada 29 Mei-1 Juni 1945. Adapun fase pengesahan adalah pada 18 Agustus 1945.

“Oleh karena itu, rumusan Pancasila sebagai dasar negara yang secara konstitusional mengikat kehidupan kebangsaan dan kenegaraan bukanlah rumusan Pancasila versi 1 Juni atau 22 Juni, melainkan versi 18 Agustus 1945,” kata Yudi.

Kendatipun begitu, Yudi menilai Sukarno lah satu-satunya orang yang memiliki pemikiran utuh dan sistematis serta menjadi orang pertama yang menjawab pertanyaan Radjiman tentang dasar negara. Sehingga 1 Juni sebagai hari kelahiran Pancasila memang sesuatu yang seharusnya.

Pidato Sukarno pada 1 Juni ia sebut sebagai creme de la creme. Ia mengemukakan kelayakan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Saat fase pembuahan, Sukarno sudah mulai merintis pemikirannya. Pada fase perumusan, Sukarno adalah orang pertama yang mengkonseptualisasikan dasar negara dalam konteks dasar falsafah (philosofische grondslag) secara sistematis dan koheren.

Sukarno pula yang mengemukakan lima prinsip itu sebagai Panca Sila. Ia pula yang menjadi ketua Panitia Sembilan yang menghasilkan Piagam Jakarta, menjadi ketua Panitia Perancang Hukum Dasar, dan menjadi ketua PPKI.

Toh, Yudi berpendapat bahwa Pancasila merupakan karya bersama. “Setiap fase konseptualisasi Pancasila itu melibatkan partisipasi perlbagai unsur dan golongan. Oleh karena itu, Pancasila benar-benar merupakan karya bersama milik bangsa,” katanya.

Hingga kini masih belum ada yang bisa menjawab siapa perumus akhir Pancasila menjadi Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Rumusan final itu merupakan penyempurnaan dari rumusan awal yang dikemukakan Sukarno, yaitu Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau peri-kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan.

Saafroedin Bahar, dalam suatu perbincangan menyebutkan, bahwa tak diketahuinya proses perumusan final itu karena sidang Panitia Sembilan -- yang melahirkan rumusan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 yang kemudian menjadi Pembukaan UUD 1945 dengan membuang anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” setelah kata “Ketuhanan” dan menggantinya dengan kalimat “Yang Maha Esa” – tak didampingi stenografer. Kusuma bahkan menyebutkan bahwa sebetulnya Panitia Sembilan itu hanya inisiatif Sukarno pribadi dan bukan merupakan lembaga resmi yang dibentuk BPUPK. Karena itu Radjiman sempat menegur Sukarno dan yang bersangkutan meminta maaf.

Memang kemudian diketahui bahwa penghapusan tujuh kata itu kemudian menghasilkan rumusan final Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan usulan Ki Bagoes Hadikoesoemo. Namun hadirnya diksi adil, adab, dan hikmah pada sila kedua, keempat, dan kelima merupakan kosa kata yang lekat dengan konsep Islam. Pada sisi lain, lahirnya rumusan final itu makin menegaskan bahwa Pancasila benar-benar karya bersama. Dengan demikian penolakan terhadap klaim personal bisa dipahami.

Sebetulnya yang lebih penting dari persoalan kapan Pancasila lahir adalah bagaimana menjadikan Pancasila relevan dan menjadi budaya serta karakter manusia Indonesia. Persoalan ini merupakan hal yang sangat mendesak di tengah arus globalisasi. Identitas lokal merupakan kebutuhan di era flat ini. Pembudayaan Pancasila ini juga akan menjadi kekuatan intrinsik manusia dan bangsa Indonesia dalam menghadapi era pasar bebas.

Ideologi tak bisa hanya ada di awang, tapi harus riil menjadi laku hidup sehari-hari. Harus diakui, Pancasila baru berhasil sebagai ideologi pemersatu tapi belum berhasil sebagai laku budaya, pandangan hidup, dan identitas nasional. Inilah tantangan kita bersama agar keindonesiaan tetap relevan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement