Rabu 22 Jun 2016 08:15 WIB
Kontroversi Perumus Pancasila

Piagam Jakarta, Sukarno, Wahid Hasyim, dan 'Gentleman's Agreement' Bapak Bangsa

 Persidangan resmi BPUPKI yang pertama pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945.
Foto: wikipedia
Persidangan resmi BPUPKI yang pertama pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah

Sampai saat ini berbagai pihak masih tetap mencurigai bahwa umat Islam anti-Pancasila. Mereka terus punya imajinasi bahwa umat Islam masih tetap bergerilya agar konstitusi bisa kembali ke Piagam Jakarta. Kepada kelompok Islam ini mereka sematkan sebutan 'Islam politik' atau bahkan 'ekstrem kanan' sebagai padanan untuk menyebut kelompok komunis yang dipanggil sebagai 'ekstrem kiri'.

Pencitraan itu populer semenjak tahun 1960-an, terutama ketika Orde Lama (rezim Sukarno) berada dalam puncak kejayaan hingga menjelang munculnya tragedi G-30-S/PKI. Dan situasi ini terbawa terus hingga zaman Orde Baru, meski sempat hilang pada ujung kekuasaan Soeharto, yakni antara 1990 hingga 1998. Namun, pada zaman reformasi, sebutan ini muncul kembali.

''Dalam kondisi negara yang saat ini terancam bangkrut, islamofobia muncul kembali. Hadirnya sudah nyata bahkan terekam dalam berbagai kampanye media saat ini. Mereka antipati terhadap segala yang mengandung Islam. Dalam soal perda syariah, keinginan itu tampak jelas,'' kata Lukman Hakiem, penulis buku mengenai sejarah dan tokoh Islam serta mantan staf mendiang ketua umum Masyumi dan mantan perdana menteri pertama RI M Natsir.

Menurut Lukman, untuk memahami seperti apa sejarah hubungan negara dan Islam, maka soal apa yang terjadi di sekitar penyusunan Piagam Jakarta harus dikuak kembali. Awalnya, harus merujuk apa yang terjadi pada 13 Juli 1945, yakni ketika dimulainya Rapat Besar Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) guna mendengarkan laporan dan mengesahkan hasil kerja Panitia Perancang Undang-Undang Dasar. Rapat berlangsung maraton dari 13 sampai 16 Juli, sejak pagi hingga hampir tengah malam.

"Saat itu, selaku ketua Panitia Perancang UUD, Ir Sukarno melaporkan hasil kerjanya kepada Rapat Besar berupa Rencana Pernyataan Kemerdekaan yang merupakan cikal bakal Pembukaan UUD," katanya.

Menurut Lukman, betapa pun Sukarno berusaha keras meyakinkan peserta rapat Dokuritsu Zjunbi Tjoosakai agar menerima hasil kerja Panitia Perancang Sembilan Orang (kemudian dikenal sebagai Panitia Sembilan) sebagai kompromi terbaik antara golongan Islam dengan golongan Kebangsaan, pro-kontra tetap muncul juga.

Keberatan itu muncul terutama terhadap rumusan yang disebut "tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menyangkut soal syariat Islam", yakni: "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya ...."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement