Kamis 02 Jun 2016 12:00 WIB

Dunia Makin Cemas

Red:

Oleh Rahkmat Hadi Sucipto

 

Sejarah membuktikan Inggris menjadi negara yang sangat disegani di dunia. Kemampuannya di segala bidang tak perlu diragukan lagi. Bahkan, sering ada ungkapan: "Lebih baik dijajah Inggris daripada Belanda." Lalu, apa maknanya?

Penjajahan jelas tak mengenakan bagi negara mana pun. Tapi, faktanya banyak yang bersyukur pernah mengalami penderitaan di bawah kekuasaan Inggris ketimbang di bawah tirani Be landa. Negara terjajah merasa Inggris me ningkatkan kepandaian mereka. Se men tara, Belanda hanya mengambil se luruh kekayaan dari negara terjajah, bah kan terus mengadu domba antara pe nguasa dan penguasa serta penguasa dengan rakyatnya.

Tapi, kini Inggris sedang merasa terja jah. Itulah yang membuat negara ini meng ambil keputusan untuk melakukan re ferendum untuk menentukan tetap ber ada di Uni Eropa atau keluar darinya (Brexit).

Banyak yang menganggap Uni Eropa tak memberikan manfaat yang signifikan kepada Inggris, termasuk di bidang eko nomi. Karena itulah, muncul kelompok yang berkampanye mendukung Brexit. Tapi, pada saat yang sama banyak juga yang menilai Inggris harus tetap berada ber sama 27 negara lainnya di Uni Eropa agar bisa meningkatkan performa eko nominya.

Isu Brexit ini tak hanya memanas di lingkungan domestik Inggris. Gemanya sudah menjalar ke seluruh dunia. Ma sing-masing negara pun bersiap menghadapi keputusan rakyat Inggris pada 23 Juni mendatang.

Dunia terus mengamati perkembangan yang terjadi di Inggris. Maklum saja, tidak sampai sebulan lagi seluruh warga negara Inggris akan memutuskan sikap: tetap bersama dengan Uni Eropa (UE) atau justru bercerai dengan kelompok yang beranggotakan 28 negara ini.

Para pemimpin dunia anggota Grup 7 (G7) pun ikut mendiskusikan isu Brexit ini pada pertemuan ke-42 mereka di Kashiko Island, Shima, Jepang, pada 26- 27 Mei lalu. Pemimpin dari Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat berpendapat bila Inggris keluar dari Uni Eropa, akan menjadi ancaman bagi ekonomi internasional. Isu Brexit bahkan menjadi salah satu bagian dari deklarasi bersama setebal 32 halaman yang mereka sepakati. Isu utama lainnya yang masuk dalam kesepakatan adalah ancaman nonekonomi, seperti isu konflik geopolitik, terorisme, dan krisis pengungsi.

Dalam deklarasi G7 tersebut disebutkan: "Keluarnya Inggris dari Uni Eropa akan menurunkan tren perdagangan global dan investasi, serta penciptaan lapangan kerja. Pada masa mendatang akan menjadi risiko serius bagi pertumbuhan ekonomi global." Ancaman Brexit masuk dalam butir pernyataan tentang ekonomi global.

Sebelum menyebutkan ancaman dari dampak Brexit dalam deklarasinya, pe mimpin G7 menyatakan usaha pemulihan ekonomi global masih harus dilanjutkan. Akan tetapi, pertumbuhan eko nomi global masih moderat dan tidak merata. "Dan sejak terakhir kita bertemu, risiko penurunan prospek global telah meningkat." Dana Moneter Internasional (IMD) juga tak mau kecolongan dengan isu Brexit. Lembaga ini cenderung menolak Brexit dengan memberi alasan Inggris akan merasakan kerugian dibandingkan manfaatnya bila keluar dari Uni Eropa.

Bersama dengan Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dan Institut Ekonomi dan Riset Sosial Nasional Inggris, IMF sepakat keluarnya Inggris dari Uni Eropa akan mengurangi masuknya investasi di negara ini. Tidak hanya itu, pelaku bisnis internasional dan perbankan juga akan terpengaruh.

Kementerian Keuangan Inggris mem perkirakan Brexit akan menyebabkan pendapatan setiap rumah tangga me rosot hingga 4.300 poundsterling pa da 2030. Beban pajak bagi setiap warga ne gara juga akan meningkat. Imbas lain nya, harga properti akan jatuh dan nilai pensiun pegawai akan kolaps hingga 300 miliar poundsterling.

Beberapa waktu lalu, Institute for Fiscal Studies (IFS), memperingatkan ke putusan meninggalkan Uni Eropa akan memaksa para menteri memper pan jang langkah-langkah penghematan hingga dua tahun lagi demi mencapai surplus anggaran. Brexit juga dianggap akan mem perlambat laju pertumbuhan eko nomi Inggris. Beban utang pemerintah ju ga akan bertambah 20 miliar pound hing ga 40 miliar pound pada 2020. Ini akan memaksa para menteri harus ber juang keras menyeimbangkan neraca ang gar annya hingga 2022 nanti, dua tahun lebih lama ketimbang perkiraan semula.

Kepala Organisasi Perdagangan Du nia Roberto Azevedo mengingatkan, bila Bre xit benar-benar terjadi, Inggris akan mengalami kerugian ekonomi hingga 9,0 miliar poundsterling. Ini terjadi karena Inggris akan terkena tarif impor saat ber hubungan dengan negara-negara UE. De ngan keputusan Brexit, Inggris harus ber ne gosiasi ulang untuk tetap menjadi ang gota WTO karena selama ini representasi nya sudah dilakukan oleh Uni Eropa. Bah kan, Inggris harus melakukan ke sepa kat an ulang dengan seluruh ne gara di du nia. Di kubu lainnya, ekonom pegiat Bre xit memaparkan fakta yang berbeda.

Meng gunakan model yang dikembang kan oleh Patrick Minford, guru besar ekonomi Universitas Cardiff, mereka membantah komentar yang anti-Brexit, termasuk yang dipaparkan oleh Kemen terian Keuangan.

Menurut ekonom Brexit, penurunan nilai mata uang poundsterling, proteksi tenaga kerja yang lebih baik, dan penghapusan tarif impor akan mendorong perdagangan Inggris melampaui masa ketidakpastian sementara. Mereka juga yakin pasar bebas yang selama ini didengungkan oleh Uni Eropa, termasuk untuk produk pertanian dan manufaktur, justru akan lebih baik lagi bila Inggris meninggalkan Uni Eropa. Apalagi, sektor jasa juga akan melesat dan mampu mendorong pertumbuhan produk pertanian dan manufaktur.

Tidak hanya di Inggris perdebatan Brexit makin memanas. Beberapa negara lain juga terus memantau dan berusaha memprediksi kemungkinan yang bakal terjadi pada referendum nanti.

Berdasarkan studi Ipsos melalui online panel system dengan melibatkan 14 negara, yaitu Australia, Belgia, Kanada, Perancis, Inggris, Jerman, Hungaria, India, Italia, Polandia, Afrika Selatan, Spanyol, Swedia, dan Amerika Serikat, Brexit tak hanya mencemaskan Inggris, tetapi juga negara-negara lainnya di Eropa maupun di luar Uni Eropa. Survei yang diselenggarakan pada 25 Maret hingga 8 April dan melibatkan 11.030 responden sebagai sampel studi ini menunjukkan, mereka cemas bila Inggris lepas dari Uni Eropa.

Responden dari sembilan negara Eropa, termasuk Inggris, memperkira kan 53 persen rakyat Inggris akan memi lih tetap berada di Uni Eropa, sedangkan yang memilih keluar mencapai 47 per sen. Survei di lokal Inggris menghasilkan 65 persen responden yakin negara ini tak akan memilih Brexit. Namun, yang me nge jutkan 58 persen responden di Pran cis yakin Inggris akan keluar dari Uni Eropa. Di Italia bahkan yang optimistis Ing gris akan mengambil keputusan Bre xit lebih besar lagi, mencapai 60 persen.

Di luar Uni Eropa yang melibatkan Kanada, Amerika Serikat, India, Austra lia, dan Afrika Selatan, responden yang pesimistis Inggris akan hengkang dari Uni Eropa mencapai 62 persen, sedangkan 38 persen yakin Brexit akan terjadi.

Keyakinan terbesar Inggris akan memutuskan pergi dari Uni Eropa berasal dari responden Australia dan Afrika Selatan yang sama-sama mencapai 42 persen. Yang patut dicermati dari studi tersebut, ternyata 51 responden dari Uni Eropa sangat yakin Brexit akan sangat merugikan negara-negara Uni Eropa. Ironisnya, hanya 36 persen responden yang percaya Brexit akan memberikan dampak negatif bagi Inggris.

Di luar sampel dari Uni Eropa juga memberikan temuan yang mengejutkan. Tercatat 41 persen responden dari Kana da, Amerika Serikat, India, Australia, dan Afrika Selatan yakin keluarnya Inggris dari Uni Eropa justru akan merugikan ne gara-negara anggota Uni Eropa, se men tara yang yakin merugikan Inggris ha nya 29 persen. Lalu, apa arti dari semua itu?

Temuan tersebut mengindikasikan, justru negara-negara lain di Uni Eropa yang lebih mencemaskan keluarnya Inggris dari kelompok 28 negara tersebut. Mereka tak yakin Inggris akan lebih menderita dibandingkan negara Uni Eropa lainnya dengan keputusannya keluar dari regional ini.

Hungaria, Swedia, Spanyol, dan Po lan dia mewakili responden yang paling percaya Brexit akan merugikan negaranegara Uni Eropa lainnya. Bahkan, 75 persen responden dari Hungaria percaya kerugian Uni Eropa akan besar dengan kepergian Inggris dari kawasan ini. Ter catat keyakinan mereka di atas 50 per sen, sementara yang di bawah 50 persen berada di Belgia, Italia, Inggris, Prancis, dan Jerman. Responden dari luar Uni Eropa memberikan jawaban di ba wah 50 persen terhadap kerugian ne gara-negara Uni Eropa sebagai dampak dari heng kangnya Inggris ini.

Fakta tersebut menunjukkan, efek Inggris benar-benar terasa di negara lain, apalagi di Uni Eropa. Banyak sekali ne gara yang berkepentingan dengan Ing gris. Bagi AS dan sekutunya, Inggris bisa menjadi kawan dalam menekan dan meng invasi lawan. Secara geopolitik, keberadaan Inggris masih diperlukan. Tanpa Inggris, UE tak terlalu kuat. AS pun kekurangan sokongannya bila Inggris lepas dari UE.

Sementara, Inggris merasa ingin hidup di atas kaki sendiri. Apalagi, ne gara ini sudah kuat secara ekonomi. Nilai mata uangnya paling kuat dibandingkan negara maju lainnya. Dolar AS dan euro saja tak berdaya menghadapi poundsterling.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement