Kamis 02 Jun 2016 11:00 WIB

Perang Survei Brexit

Red:

Oleh Rakhmat Hadi Sucipto

 

Inggris akan menapaki sejarah baru bila pada 23 Juni mendatang warga negaranya meng ambil keputusan menyetujui Brexit atau keluar dari Uni Eropa (UE). Ada yang cemas ada juga yang tidak sama sekali. Karena itu, ada yang terus berusaha agar seluruh rakyat Inggris sepakat dengan Brexit, tetapi pada saat bersamaan pihak lain berusaha agar Inggris tetap berdamai di Uni Eropa. Dua kubu yang berseberangan, yaitu kelompok yang mendukung Inggris hengkang dari UE (Brexit) serta kubu yang ingin Inggris tetap berada di UE, pun makin sering ber kam panye menyuarakan aspirasi mereka. Beberapa lembaga, termasuk media juga terus menggelar jajak pendapat untuk memprediksi kemungkinan yang terjadi pada referendum 23 Juni mendatang. Sampai saat ini, hasil jajak pendapat nyaris seimbang antara yang pro dan kontra.

Hasil jajak pendapat the Financial Times hingga 25 Mei lalu menunjukkan, 46 persen warga negara Inggris masih ingin tetap berada di UE, sementara 41 persen memilih Inggris keluar dari UE. Tentu komposisi ini masih bisa berubah karena sisanya sebanyak 13 persen belum menentukan pilihan.

Yang menarik kubu yang mendukung Brexit tampak lebih agresif ketimbang yang menolak. Kampanye Brexit makin sering dilakukan oleh mereka yang pro dengan Brexit. Bahkan, dana yang dikeluarkan dalam kampanye untuk mendorong Inggris agar meninggalkan UE, berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum Inggris, tercatat naik lebih dari dua kali lipat dibandingkan kubu lainnya dalam beberapa pekan terakhir.

Organisasi Leave yang mengampanyekan Brexit menerima 4,0 juta poundsterling antara 22 April dan 12 Mei lalu. Sementara, kubu yang menolak Brexit hanya mengeluarkan dana 1,6 juta poundsterling pada saat yang sama. Sebenarnya Financial Times sudah mela kukan riset tentang isu Brexit ini sejak lama. Financial Times juga sering melibatkan bebe rapa lembaga riset atau memaparkan hasil studi lembaga-lembaga riset di Inggris. Sejak 9 September 2010, riset untuk mengetahui probabilitas Inggris keluar dari Uni Eropa dilakukan oleh beberapa lembaga survei untuk mengetahui gambaran pilihan masa depan rakyat Inggris.

The Economist juga melakukan jajak pendapat serupa untuk memetakan kekuatan dua kubu tersebut. Hingga 26 Mei 2016, hasil jajak pendapat the Economist menunjukkan 40 persen responden ingin Inggris tetap berada dengan 27 negara lainnya di UE, sedangkan 39 persen lainnya berharap Inggris keluar dari UE. Sisanya, sebanyak 16 persen tak mau memberikan komentar. What UK Thinks: UE Poll of Polls yang merangkum hasil jajak pendapat dari enam lembaga survei memberikan informasi yang cukup mengejutkan, 47 persen responden me minta Inggris agar tetap berada di UE, se dangkan 41 persen yang memilih Brexit. Ada 12 persen responden yang tak mau memberikan jawaban.

Keenam lembaga survei tersebut melaku kan survei mutakhir pada 17 hingga 25 Mei 2016 dengan metode pengambilan sampel yang berbeda. YouGov menggunakan survei online, Opinium melalui online, ORB me nyur vei melalui telepon, ICM dengan metode online, Survation dengan sambungan te lepon, serta MBG Research dengan online. Bila dipetakan menurut masing-masing lembaga survei, hasilnya memang bervariasi. Sebagai contoh, survei BMG menunjukkan yang mendukung Inggris tetap bersanding dengan UE hanya 44 persen, sementara yang mendukung kepergian Inggris dari UE justru 45 persen. Survei ORB yang memberikan hasil mencolok, 58 persen responden meno lak Brexit, sementara yang mendukung Brexit hanya 38 persen.

Lalu, survei YouGov pada 25 Mei menunjukkan hasil yang berimbang antara yang pro dan kontra, yaitu 41 persen berbanding 41 persen. Survei ICM juga memperlihatkan posisi yang berimbang, dengan porsi 45 persen berbanding 45 persen.

Dengan kata lain, ada kecenderungan hasil jajak pendapat dari online berbeda dengan metode telepon. Hasilnya juga ber beda dibandingkan dengan analisis dan ta ruhan yang juga turut mempermainkan isu Brexit. Jajak pendapatan dengan online cenderung menempatkan kubu yang setuju Brexit akan memenangi referendum, sementara dari metode telepon dan lainnya menem patkan kubu anti-Brexit sebagai pemenang. Beberapa pihak menuding beberapa lem baga survei menerima pesanan sehingga hasilnya kurang atau bahkan tidak akurat.

Man tan presiden YouGov Peter Kellner da lam publikasinya di sebuah blog menyatakan, YouGov yang selama ini menggunakan me tode survei online cenderung menempatkan Brexit sebagai pemenang meski pun sudah mengubah metodologinya. Perusahaan riset ini menuding jajak pendapat dengan telepon cenderung tidak akurat karena melibatkan terlalu banyak kelompok yang sebenarnya cenderung memilih anti-Brexit.

Pakar pemilu John Curtice menjelaskan, terjadi perbedaan temuan dari jajak pendapat online dengan telepon karena perbedaan sampel yang dipakai oleh keduanya. Karena itu, tak ada jaminan metode online yang paling representatif atau sebaliknya metode telepon langsung yang lebih akurat. Tidak ada cukup bukti yang menunjukkan jajak pendapat yang satu lebih unggul karena mendekati kenyataan dibandingkan lainnya.

Secara khusus, Curtice mencontohkan YogGov yang menganggap jajak pendapat via telepon dianggap terlalu mendukung kelompok anti-Brexit karena mengambil terlalu banyak sampel tingkat lulusan pendidikan yang ingin Inggris tetap bergabung dengan Uni Eropa. Ada korelasi kuat antara tingkat pendidikan dan sikap mereka terhadap keanggotaan Uni Eropa. Ini yang sering dilupakan oleh lembaga jajak pendapat. Tapi, pengalaman YouGov saat menggunakan metode survei telepon mengambil sampel latar pendidikan yang terlalu sedikit, tidak terlalu banyak.

Kellner pun sependapat dengan Curtice. Meskipun sudah menggunakan metode online selama 15 tahun dan memberikan hasil yang memuaskan pada beberapa konteks, dia berpikir jajak pendapat via telepon jauh lebih akurat ketimbang metode online. Dia yakin kubu yang memilih tetap bersama Uni Eropa akan memenangkan referendum dengan angka 55 persen.

Analis jajak pendapat dari Number Cruncher Politics (NPL) Matt Singh menya takan, probabilitas Inggris memilih meninggalkan Uni Eropa pada 23 Juni nanti kecil. Perkiraan terakhirnya menunjukkan, kemungkinan Brexit terjadi hanya 17,4 persen, sementara yang tak setuju Brexit mayoritas sebesar 56,6 persen. Perusahaan taruhan Inggris juga memberikan gambaran yang berbeda terhadap ke mungkinan hasil referendum nanti. William Hill dan Ladbrokes, misalnya, menempatkan rasio 7/2 untuk Brexit. Artinya, bila diterje mahkan dengan bahasa yang mudah, ke mung kinan Brexit menang hanya 22 persen.

Mayoritas rakyat yakin Inggris akan memilih tetap berada dalam Uni Eropa pada referendum mendatang berdasarkan survei Partai Konservatif yang dimotori oleh Mi chael Ashcroft. Survei yang dimuat oleh the Guardian ini menyebutkan, 65 persen ber pikir Inggris akan tetap bersama UE, sementara hanya 35 persen yang beranggapan Brexit akan memenangi referendum 23 Juni. Hasil pastinya tentu baru bisa diketahui pada 23 Juni nanti. Seperti yang diungkapkan Bloomberg, tak ada jajak pendapat yang sempurna. Karena itu, sulit menentukan yang bakal memenangi jajak pendapat tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement