Senin 02 May 2016 19:45 WIB

Satgas Penanggulangan Anak Putus Sekolah Dibentuk Banyumas

Rep: Eko Widiyatno/ Red: Yudha Manggala P Putra
Sejumlah siswa SMP berjalan melintasi seorang anak gelandangan (putus sekolah) yang tertidur di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta.
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Sejumlah siswa SMP berjalan melintasi seorang anak gelandangan (putus sekolah) yang tertidur di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, BANYUMAS -- Jumlah anak putus sekolah pendidikan dasar di Kabupaten Banyumas, tergolong masih cukup tinggi. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas, Purwadi Santosa, menyatakan berdasarkan data tahun 2015, jumlah anak usia SD yang tidak sekolah atau putus sekolah tercatat sebanyak 0,8 persen atau sekitar 230 anak.

Sedangkan untuk anak usia SMP, jumlah anak yang tidak sekolah mencapai 4,5 persen dan anak usia sekolah SMA yang tidak melanjutkan atau putus sekolah mencapai 14, 5 persen.

Mengingat masih tingginya jumlah anak yang menuntas pendidikan 12 tahun, pihaknya telah membentuk Satgas Penanggulangan Anak Putus Sekolah yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. ''Satgas ini dibentuk mulai dari tingkat Kabupaten Banyumas, hingga tingkat Desa. Untuk tingkat desa, anggota satgas terdiri dari para tokoh masyarakat, guru SD dan perangkat desa,'' jelas Purwadi, Senin (2/5).

Dia berharap, dengan dibentuknya Satgas tersebut, maka penurunan angka anak tidak sekolah atau putus sekolah, bisa lebih ditekan secara signifikan. Terlebih, melalui berbagai program yang dilaksanakan pemerintah pusat maupun daerah, sebenarnya sudah banyak bantuan yang diberikan pada anak dari keluarga miskin agar tetap bisa menuntaskan pendidikannya.

Purwadi menyatakan, berdasarkan data yang ada, jumlah anak putus sekolah di Banyumas dari tahun ke tahun, sebenarnya terus mengalami penurunan. Namun penurunannya belum seperti yang diharapkan, sehingga untuk mencapai angka putus sekolah mendekati nol persen masih harus dilakukan dengan berbagai pendekatan.

''Dari pengkajian yang kami lakukan, anak usia sekolah yang tidak mengenyam pendidikan juga tidak hanya disebabkan oleh masalah kemiskinan. Tapi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lain,'' katanya.

Untuk anak usia sekolah yang berkebutuhan khusus, masalah keterbatasan unit sekolah yang bersifat inklusi, juga masih sangat terbatas. ''Hal ini membutuhkan perhatian atau penanganan tersendiri, dibanding anak yang dalam kondisi normal,'' katanya.

Selain itu, masalah sosial terutama seperti persoalan keluarga anak yang tidak harmonis, juga seringkali menyebabkan anak akhirnya memilih untuk putus sekolah. ''Masalah ini juga memerlukan pendekatan yang berbeda agar anak tersebut bersedia melanjutkan sekolah lagi. Tidak bisa hanya sekadar memberi bantuan keuangan seperti yang diberikan pada siswa dari keluarga miskin,'' katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement