Senin 25 Apr 2016 15:00 WIB

Gerak Feminisme Awal Abad ke-20 di Dunia Islam

Red:

Pada awal abad ke-19 M, masyarakat Timur Tengah mulai mengalami perubahan sosial yang cukup fundamental. Pengerukan kekayaan oleh negara-negara Barat, munculnya negara-bangsa (nation state) serta penguasaan secara formal maupun informal oleh kekuatan-kekuatan kolonial pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 M telah membentuk parameter perubahan ekonomi dan politik yang sangat penting.

Pada awal dekade pertama abad ke-20 M, menurut M Nuruzzaman dalam bukunya yang berjudul Kiai Husein Membela Perempuan, beberapa perempuan khususnya para pekerja perdesaan dan perempuan kelas bawah di kota-kota (seperti Mesir dan Suriah) merasa tertindas sebagai konsekuensi logis atas pergantian model ekonomi dan politik. Bagi kaum perempuan, dampak politik dan budaya dari pengerukan kekayaan oleh Eropa ditanggapi negatif.

Meskipun demikian, ada hal-hal yang bersifat positif karena institusi dan mekanisme sosial untuk mengontrol dan mencerminkan perempuan dari urusan-urusan publik secara gradual mulai dibongkar.

Sistem sosial hasil gabungan budaya Mediteranian, Timur Tengah, dan Islam yang ditafsirkan secara negatif untuk kaum perempuan telah mulai ditinggalkan.

Beberapa perubahan yang berasal dari perubahan ekonomi dan kebijakan-kebijakan negara, baik itu dipacu oleh pribumi maupun oleh birokrasi kolonial, bahkan yang diikuti oleh pembangunan ideologis dan kultural, mempunyai dampak atas kehidupan laki-laki dan perempuan.

Pada abad ini, untuk pertama kali semenjak kemapanan Islam, perlakuan terhadap perempuan dalam hukum Islam, seperti poligami dan segregasi secara terbuka didiskusikan di Timur Tengah.

Untuk pertama kali, topik tentang perempuan naik ke permukaan sebagai konsekuensi dari karya-karya intelektual muslim laki-laki di Mesir dan Turki.

Pada awalnya, gerakan perempuan muncul bersamaan dengan munculnya isu-isu lain yang menurut para intelektual Muslim penting bagi kemajuan masyarakat.

Jadi, pada dasarnya gerakan perempuan di dunia Islam dimulai dari gerakan-gerakan perempuan yang terjadi di negara-negara Timur Tengah (Mesir, Turki, dan Suriah) yang notabene penduduknya mayoritas Muslim.

Secara langsung, munculnya kesadaran tentang status perempuan memang terjadi akibat kolonialisme atau terpengaruh gerakan feminisme Barat. Akan tetapi, perdebatan dunia Eropa tentang status perempuan yang sudah lama terjadi juga berpengaruh terhadap gerakan perempuan dalam Islam.

 

Organisasi feminis

Banyak organisasi dan gerakan feminis di negara-negara Muslim muncul di berbagai sistem negara dan kondisi masyarakat. Beberapa kecenderungan gerakan feminis abad ke-20 adalah upaya membentuk warga negara perempuan modern, memperbarui hukum keluarga, menghargai raga perempuan, dan mengahadapi isu mobilitas dan busana perempuan.

Dalam buku Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern dijelaskan kaum feminis Muslim melakukan berbagai bentuk tindakan kolektif untuk membantu menciptakan warga negara perempuan modern.

Di Mesir, hal ini dilakukan oleh Persatuan Feminis Mesir (EFU) yang berdiri pada 1923 dengan pemimpin Huda Sya'rawi. EFU menjadi gerakan feminis terorganisasi serta independen yang menyerukan hak mendapatkan pendidikan, pekerjaan, dan politik bagi perempuan, hak mendapatkan pelayanan kesehatan bagi setiap warga negara, pembaruan hukum keluarga, dan diakhirinya pelacuran yang diatur oleh negara.

Pada 1948 Durriyah Syafiq mendirikan Perhimpunan Anak Perempuan Nil (Bint Al-Nil) yang melancarkan kampanye militan tentang hak pilih dan usaha nasional memelekhurufkan perempuan.

Kedua organisasi itu dibubarkan oleh pemerintah pada pertengahan 1950-an setelah perempuan diberi hak pilih yang mengakhiri tiga dasawarsa aktivisme feminis independen.

Pada saat negara baru Turki dikonsolidasi, kaum feminis gagal membentuk partai politik pada 1923. Tahun berikutnya, mereka diizinkan mendirikan federasi perempuan Turki dengan ketua Latife Bekir.

Perempuan yang merasa kesulitan membentuk organisasi yang independen dari negara pada masa pemerintahan Kemal Ataturk  diberi banyak hak oleh pemerintah. Pemerintah Turki, pada 1934 memberikan hak pilih kepada kaum perempuan. Akan tetapi, tak lama setelah itu, Federasi Perempuan Turki dipaksa bubar.

Di Iran, selama gerakan konstitusionalis pada 1905-1911, perempuan mengorganisasikan banyak kelompok feminis kecil dan menerbitkan jurnal. Di antaranya adalah Liga Perempuan Patriotis yang didirikan di Teheran pada 1910, Perhimpunan Perempuan Revolusioner yang dididirikan di Syiraz pada 1927 oleh Zandukht Syirazai, dan Perhimpunan Perempuan Isfahan oleh Sediqeh Dovlatabady pada 1918.

Pada tiga dasawarsa lalu, kaum feminis juga mengangkat masalah-masalah yang berhubungan dengan tubuh peremupuan, seperti kesehatan fisik dan psikologis, pemukulan, pemerkosaan, dan pelacuran.

Meski berbeda secara kultural, gerakan-gerakan ini diwarnai secara mencolok oleh perjuangan  demi emansipasi, baik melawan tradisi-tradisi setempat maupun melawan imperialisme kolonial yang sering kali melemahkan kedudukan kaum perempuan  di daerah-daerah yang dijajah. 

Tujuan yang mereka  rumuskan secara jelas memberikan arah dan masukan bagi kegiatan gerakan praktis mereka untuk pembaharuan di segala bidang, termasuk bidang moral keagamaan (spiritual). Propaganda dan dalih tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan kebebasan kaum perempuan memberikan peluang pula bagi mereka.

Namun, pada umumnya, para feminis religius ini tidak didukung oleh para pemikir perempuan yang pada waktu itu sudah mulai mengajar, terutama pada sekolah-sekolah untuk perempuan.

Namun demikian, hasil dari gerakan-gerakan ini telah berkembang sebagaimana hak pilih yang dimiliki dari suatu negara ke negara lain. Gerakan-gerakan kemerdekaan di suluruh dunia, termasuk di Indoenesia, telah menghasilkan persamaan kedudukan bagi kaum perempuan.

Satu hal yang perlu dicatat adalah setelah hak memilih diberikan pada 1920, gerakan feminisme seakan hilang dan tenggelam. Kedudukan kaum perempuan sampai dengan 1950-an tidak pernah digugat. Karena idealnya peran perempuan sebagai ibu rumah tangga, walaupun pada periode tersebut sudah banyak yang aktif bekerja di luar rumah.

Barulah, ketika itu pada 1960-an gerakan feminisme mendapatkan momentum. Gerakan ini menjadi suatu kejutan besar bagi masyarakat tersebut karena gerakan ini memberikan kesadaran baru, terutama bagi kaum perempuan bahwa peranan tradisional perempuan ternyata menempatkan perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan, yaitu subordinasi perempuan.ed: nashih nashrullah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement