Sabtu 09 Apr 2016 15:25 WIB

Studi: Patah Hati Sebabkan Kematian

Rep: MGROL55/ Red: Winda Destiana Putri
Patah hati
Foto: pexels
Patah hati

REPUBLIKA.CO.ID, Penelitian terbaru menunjukan seseorang yang patah hati dan ditinggal mati oleh pasangannya dapat menyebabkan kematian.

Menurut studi, orang-orang yang kehilangan pasangan mengalami peningkatan risiko mengembangkan detak jantung tidak teratur. Kondisi, yang dikenal dengan fibrilasi atrium, itu sendiri merupakan faktor risiko untuk stroke dan gagal jantung.

Dilansir dari laman TelegraphSains, Sabtu (9/4) para peneliti mengatakan risiko tampak tertinggi pada orang yang lebih muda setelah kematian salah satu orang mereka cintai.

Peneliti Denmark mengumpulkan data dari hampir 89.000 orang didiagnosis menderita fibrilasi atrium antara 1995 dan 2014 dan membandingkannya dengan 886.000 orang sehat. Sebanyak 17.478 dari mereka didiagnosis menderita fibrilasi atrium karena telah kehilangan pasangan mereka telah memiliki 168.940 dari kelompok pembanding.

Setelah memperhitungkan sejumlah faktor, para peneliti menghitung bahwa risiko mengembangkan detak jantung tidak teratur untuk pertama kalinya adalah 41 persen lebih tinggi di antara orang-orang yang telah kehilangan. Penelitian, yang diterbitkan dalam jurnal Open Heart, menemukan bahwa risiko tertinggi delapan sampai 14 hari setelah kehilangan, setelah itu secara bertahap menurun.

Orang yang paling berisiko adalah mereka yang berusia 60 tahun. Risiko juga meningkat ketika kematian pasangan itu dianggap tak terduga, dan sebanyak 57 persen lebih mungkin untuk mengembangkan detak jantung tidak teratur.

Para penulis memperingatkan bahwa tidak ada sebab dan akibat dapat disimpulkan dari studi observasional tetapi mengatakan bahwa suasana berkabung diketahui meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, penyakit mental, dan bahkan kematian. Stres akut dapat mengganggu irama jantung normal dan mendorong produksi bahan kimia yang kemudian menyebabkan peradangan.

"Dukacita adalah peristiwa besar dalam hidup, yang dikenal untuk meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, penyakit mental dan kematian. Penelitian kami telah menunjukkan bagaimana stres emosional dapat memiliki efek buruk pada jantung tapi studi ini juga menyoroti efek fisik yang signifikan. Risiko lebih besar terkena fibrilasi atrium ketika baru-baru berduka. Risiko ini muncul lebih besar pada kematian mendadak atau pada paasangan yang lebih muda."

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement