Jumat 08 Apr 2016 11:00 WIB

Sorogan dan Bandongan Metode Khas Pesantren

Red:

Pondok pesantren tradisional mempunyai metode tersendiri dalam mengajarkan agama Islam terhadap santri, yaitu metode sorogan dan bandongan. Kedua istilah ini sangat populer di kalangan pesantren, terutama yang masih menggunakan kitab kuning sebagai sarana pembelajaran utama.

Kedua metode tersebut kerap digunakan santri untuk menggali ajaran-ajaran Islam melalui kitab kuning atau kitab turats. Secara bahasa, sorogan berasal dari kata Jawa sorog, yang artinya menyodorkan. Dengan metode ini, berarti santri dapat menyodorkan materi yang ingin dipelajarinya sehingga mendapatkan bimbingan secara individual atau secara khusus.

Sorogan merupakan metode pembelajaran yang diterapkan pesantren hingga kini, terutama di pesantren-pesantren salaf. Usia dari metode ini diperkirakan lebih tua dari pesantren itu sendiri. Karena metode ini telah dikenal semenjak pendidikan Islam dilangsungkan di langgar, saat anak-anak belajar Alquran kepada seorang ustaz atau kiai di kampung-kampung.

Pada masa lalu, di langgar-langgar atau surau seorang kiai akan membacakan ayat Alquran terlebih dahulu, kemudian muridnya mengikuti dan menirukannya secara berulang kali. Namun, lama-kelamaan metode ini dipraktikkan di dalam pesantren, yang merupakan satu-satunya lembaga pendidikan Islam terbesar di Indonesia.

Dengan menggunakan metode sorogan, setiap santri akan mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dengan ustaz atau kiai tertentu yang ahli dalam mengkaji kitab kuning, khususnya santri baru dan santri yang benar-benar ingin mendalami kitab klasik. Dengan metode ini, kiai tersebut dapat membimbing, mengawasi, dan menilai kemampuan santri secara langsung. Metode Ini sangat efektif untuk mendorong peningkatan kualitas santri tersebut.

Dengan menggunakan metode sorogan, santri diwajibkan menguasai cara pembacaan dan terjemahan secara tepat dan hanya boleh menerima tambahan pelajaran bila telah berulang-ulang mendalami pelajaran sebelumnya. Hal ini tentunya menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan disiplin pribadi santri.

Metode ini pernah diilustrasikan oleh Abu Bakar Aceh sebagaimana diukutip Ridwan Nasir dalam buku Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal: Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan. Dalam mengadakan pengajian sorogan, guru atau kiai biasanya duduk di atas sepotong sajadah atau sepotong kulit kambing atau biri-biri, dengan sebuah atau dua buah bantal dan beberapa jilid kitab di sampingnya yang diperlukan. Sementara, murid-muridnya duduk mengelilinginya. Ada yang bersimpul, ada yang bertopang dagu, bahkan ada yang bertelungkup setengah berbaring, sesuka-sukanya mendengar sambil melihat lembaran kitab yang dibacakan gurunya.

Tak kalah menariknya, di pesantren juga kerap menggunakan metode bandongan atau bandungan. Istilah bandungan berasal dari bahasa Sunda ngabandungan yang berarti memperhatikan secara saksama atau menyimak. Dengan metode ini, para santri akan belajar dengan menyimak secara kolektif. Namun, dalam bahasa Jawa, bandongan disebutkan juga berasal dari kata bandong, yang artinya pergi berbondong-bondong. Hal ini karena bandongan dilangsungkan dengan peserta dalam jumlah yang relatif besar.

Penulis buku Tradisi Pesantren Zamakhsyari Dhofier mengatakan, dalam menggunakan sistem ini, sekelompok murid yang terdiri antara 5 sampai 500 orang mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan sering kali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit.

Metode kedua ini oleh beberapa kalangan disebut juga wetonan, yang berasal dari kata wektu yang berarti waktu. Hal ini karena pengajian-pengajian tersebut hanya diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum atau sesudah melakukan shalat fardhu di masjid atau mushala pesantren.

Dalam mempraktikkan metode ini, seorang kiai akan membacakan kitab kuning dan menerjemahkannya ke dalam bahasa ibu, seperti ke bahasa Madura, Sunda, atau Jawa. Kemudian, santri menuliskan terjemahan kata demi kata seperti yang disampaikan oleh kiai tersebut. Sistem penerjemahan disampaikan sedemikian rupa sehingga para santri mudah mengetahui baik arti maupun fungsi kata dalam suatu rangkaian kalimat dalam kitab kuning tersebut.

Metode bandongan adalah metode transfer keilmuan atau proses belajar mengajar yang ada di pesantren yang mengajarkan khusus pada kitab kuning. Kiai tersebut membacakan, menerjemah, dan menerangkannya. Sedangkan, santri atau murid mendengarkan, menyimak, dan mencatat apa yang disampaikan oleh kiai yang memberi pengajian tersebut.

Bandongan merupakan metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren. Kebanyakan pesantren, terutama pesantren-pesantren besar, menyelenggarakan bermacam-macam kelas bandongan atau halaqah untuk mengajarkan kitab-kitab, mulai dari kitab dasar sampai kitab-kitab yang bermuatan tinggi.

Pada intiya, metode sorogan dan bandongan sama-sama memiliki ciri pemahaman yang sangat kuat dalam pengajaran ilmu agama. Namun, kedua metode tersebut dianggap tidak cukup efektif untuk mengembangkan nalar kritis santri karena sedikitnya kesempatan yang diberikan untuk mempertanyakan kebenaran materi yang dipelajarinya. Metode ini sangat minim terjadinya proses dialog lantaran sedikitnya waktu pengajian yang diberikan.  c39, ed: Hafidz Muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement