Senin 28 Mar 2016 17:15 WIB

KEK, Kemajuan atau Kemunduran?

Red:

Keinginan pemerintah untuk membuat Batam memiliki kawasan ekonomi khusus (KEK) memang tidak sepenuhnya ditanggapi baik. Terlebih, dari pihak pengusaha yang telah malang melintang di kawasan ini. Mereka menilai, keberadaan Batam dan perubahan industri yang masuk free trade zone (FTZ) ke KEK dianggap justru akan membuat Batam lebih jelek dalam hal pertumbuhan perekonomian. Sebab, banyak investor dalam dan luar negeri yang menikmati konsep FTZ.

Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Kota Batam Jadi Rajagukguk menilai perubahan FTZ menjadi KEK yang diusung pemerintah sebagai sebuah kemunduran. Sebab, dengan konsep kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (PBPB), Batam mampu menjadi salah satu daerah yang meningkatkan perekonomian Indonesia dalam sisi industri.

Apalagi, lanjut Jadi, konsep KEK, yang saat ini disiapkan pemerintah untuk bersaing dengan negara lain dalam hal industri, disebut belum sukses dilakukan. "Saya kira, kita (pengusaha) bukan takut, melainkan kami kasih pengertian kepada pemerintah. Kalau pemerintah melakukan perubahan, maka akan memulai semua dari nol. Sementara, Batam ini sudah berjalan," kata Jadi.

Menurut Jadi, perubahan konsep dari FTZ ke KEK justru bakal menjadi kemunduran industri. Hal ini karena KEK baru saja akan dikerjakan oleh pemerintah. Sedangkan, FTZ ini sudah lama dilakukan dan diketahui banyak manfaatnya. Meskipun, tidak dimungkiri terdapat sejumlah persoalan yang harus diperbaiki.

Dia menjelaskan, program pemerintah menjadikan Batam menjadi KEK pun telah membuat berbagai pertanyaan dari investor, semisal dari Singapura. Mereka khawatir terdapat inkonsistensi yang diberlakukan pemerintah untuk menjadikan KEK, padahal konsep FTZ sendiri telah berlaku di Batam.

Sementara, Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Lembong mengatakan, Indonesia saat ini telah cukup tertinggal dengan sejumlah negara di ASEAN, seperti Vietnam dan Filipina. Vietnam, kata Lembong, yang tidak memiliki kekayaan alam melimpah mampu memfokuskan dalam hal perdagangan nonmigas.

 

Hasilnya perkiraan ekspor nonmigas Vietnam mencapai 150 miliar dolar AS pada 2015. Sementara, ekspor nonmigas Indonesia hanya di kisaran 140 miliar dolar AS. Hal ini memperlihatkan bahwa Indonesia telah terlalu terlena dengan kekayaan alam yang dijadikan komoditas utama dan kurang memaksimalkan komoditas lain.

"Vietnam itu satu sampai dua kali diambang kehancuran waktu kita booming. Tapi, apa yang terjadi? Mereka mereformasi diri. Mereka akhirnya terpaksa keluar mencari investor dan mencari peluang di bidang manufaktur. Hasilnya kita bisa lihat sendiri perkembangan mereka.

Untuk Filipina, lanjut Lembong, negara ini sudah jauh lebih maju dari Indonesia dalam pengembangan industri. Tak tanggung-tanggung, negara ini telah memiliki 300 KEK. Angka ini jelas sangat jauh dari Indonesia yang hanya memiliki delapan KEK dan baru akan menambah tiga sampai empat KEK lagi.

Lembong menuturkan, dengan keadaan seperti ini, Vietnam mampu mengalahkan Indonesia dalam hal ekspor nonmigas dan Filipina sudah mengalahkan dalam segi pembangunan KEK yang pasarnya cukup bagus. Hal ini kemudian menjadi pertanyaan besar, prestasi mana dalam hal industri yang menyebut Indonesia telah cukup baik?

 

Karena, jika dibandingkan dengan sejumlah negara di Asia, Indonsia sudah sangat tertinggal. "Kenyataan yang harus saya sampaikan adalah kelihatannya kita (Indonesia) sudah dalam posisi bahaya. Sehingga, Indonesia memang membutuhkan perubahan (KEK)," kata Lembong. Oleh Debbie Sutrisno ed: Ichsan Emrald Alamsyah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement