Rabu 23 Mar 2016 18:35 WIB

Jangan Tunggu Sampai Ada Korban, Baru Pemerintah Bertindak

Demonstran tergabung dalam Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) melakukan aksi unjukrasa saat konvoi melintasi Jl Sudirman, Jakarta, Selasa (22/3).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Demonstran tergabung dalam Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) melakukan aksi unjukrasa saat konvoi melintasi Jl Sudirman, Jakarta, Selasa (22/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gesekan yang terjadi antara angkutan umum konvensional dan yang berbasis aplikasi online sudah mengkhawatirkan.

Karena yang terjadi di lapangan bukan hanya demonstrasi tetapi juga aksi pengrusakan, aksi saling sweeping dengan kekerasan serta bentrok antara pengemudi angkutan konvensional dengan yang berbasis aplikasi online.

"Jangan sampai jatuh korban, baru kita bertindak. Pemerintah harus segera inventarisasi persoalan dan tuntutan berbagai pihak dan rumuskan solusi jangka pendeknya. Ini persoalan perut, jadi solusinya tidak bisa lama-lama. Jangan sampai meluas, berlarut-larut apalagi terjadi di daerah atau kota lain," ujar senator asal Jakarta Fahira Idris, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Rabu (23/3).

Fahira mengungkapkan, kemajuan teknologi informasi saat ini membuat kelahiran angkutan umum berbasis aplikasi online tidak akan bisa dibendung atau dilarang. Kehadiran mereka terutama di kota besar seperti di Jakarta yang mobilitas warganya tinggi, sementara sistem dan menajemen transportasinya belum baik, sangat membantu dan sangat efisien.

"Kehadiran mereka sangat membantu, makanya jangan dilarang tetapi diatur. Antusiasme publik terhadap angkutan umum berbasis aplikasi online sebenarnya bisa menjadi catatan bagi pemerintah bahwa rakyat sudah sangat merindukan sistem transportasi massal yang efisien dan nyaman. Juga jadi peringatan bagi perusahaan angkutan umum konvensional terutama taksi untuk terus berinovasi memberi kenyaman pelanggannya, termasuk mulai memikirkan menggunakan aplikasi online. Kalau tidak, Anda akan ditinggal," ujar Wakil Ketua Komite III DPD ini.

Menurut Fahira, aksi besar-besaran para supir taksi ini karena mereka menganggap ‘diganggu’ dengan angkutan umum lain yang lebih efisien berbasis aplikasi online dan ternyata banyak dipilih orang.

Kondisi ini  mengakibatkan penghasilan mereka berkurang, sementara setoran ke perusahaan tidak mungkin berkurang sehingga membuat mereka frustasi.

Pemerintah, lanjut Fahira, harusnya bisa mendeteksi protes besar-besaran para supir taksi menolak angkutan umum berbasis aplikasi online ini pasti akan pecah, karena kejadian seperti ini juga sudah terjadi di banyak negara antara lain Perancis dan Mexico.

Saat ini, tambah Fahira, baik pengemudi dan perusahaan angkutan konvensional merasa diperlakukan tidak adil kerena mereka diikat berbagai regulasi tetapi angkutan online tidak.

Oleh karena itu, pemerintah pusat segera melahirkan regulasi atau payung hukum tentang angkutan umum berbasis online dan ini berlaku di semua daerah sehingga kejadian di Jakarta ini tidak terulang di daerah lain.

"Jalan keluar yang paling adil itu aturan hukum yang jelas. Jadi regulasi ini nantinya mengarahkan adanya persaingan sehat antara transportasi konvensional dengan online. Sembari itu, pemerintah sudah mulai bisa menginisiasi revisi UU terkait misalnya UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan dan bila perlu UU ITE agar payung hukumnya komprehensif," tukas Fahira.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement