DPR: Regulasi Kesepakatan Harus Diterima Taksi Konvensional dan GrabCar

Rabu , 23 Mar 2016, 15:31 WIB
aplikasi grab taxi di Andoid.
Foto: Republika/dwi
aplikasi grab taxi di Andoid.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Solusi untuk menghentikan pertikaian antara taksi konvensional dan GrabCar adalah dengan menyamakan regulasi antara keduabelah pihak. Sebab jika ada kesepakatan dari yang bertikai tanpa regulasi, menjadi lemah.

"Oleh karena itu, pertemuan antara Kemenhub dan Kemenkominfo hari ini dapat menghasilkan kebijakan regulasi, apakah akan merevisi Undang-Undang, keputusan menteri atau keputusan bersama," kata Wakil Ketua Komisi V dari Fraksi PKS, Yudi Widiana Adia, Rabu (23/3).

Yudi mengatakan salah satunya adalah regulasi dengan pentarifan baku, yang memadukan antara taksi reguler dan taksi online. Sehingga tarif mereka diharapkan tidak berbeda jauh antara taksi konvensional dan taksi online.

"Untuk taksi konvensional memang dibebani banyak perizinan, dan berdampak pada tarif. Sementara taksi yang online atau tanda kutip ilegal tanpa persayaratan berat," kata dia.

Dia menerangkan misalkan tidak ada yang namanya uji KIR dan sebagainya. Sementara itu, Yudi melihat taksi online tidak tunduk pada tarif yang ditetapkan Kemenhub. Namun hanya yang dibuat oleh penyedia aplikasi mereka.

Terkait dengan disahkannya izin usaha oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia memang menjadi legal. Namun karena bidang yang mereka lakukan adalah transportasi, maka harus dilegalkan oleh Kemenhub.

"Untuk transportasi beroperasi belum legal, karena belum ada aprove Kemenhub. Meskipun secara kelembagaan sudah berbadan hukum," tutur dia.

Namun menurutnya, jika taksi online tidak masalah karena tergabung dengan taksi konvensional. Sementara yang menjadi masalah di masyarakat adalah GrabCar.

"Yang ikut dengan GrabTaksi banyak, taksi berplat kuning. Namun GrabCar, plat hitam atau mobil pribadi," tutur dia.