Rabu 23 Mar 2016 14:00 WIB

Tantangan Menuju Kampus Hijau

Red:

Banyak instansi yang berupaya mendukung program Go Green, semua berbasis lingkungan. Salah satunya instansi pendikan, seperti Institut Pertanian Bogor (IPB) yang kini sedang berproses menuju Green Campus 2020. Target menjadi kampus yang mendorong kebiasaan hidup sehat dan hemat energi membuat kampus IPB Darmaga mulai menerapkan program tersebut secara bertahap.

Banyak program untuk menuju Green Campus 2020, mulai dari Green Transportation, Green Movement, Green Energy, hingga Green Building, atau Open Space. Rektor IPB Herry Suhardiyanto (2012-2017) mengungkapkan, Green Transportation sudah dicanangkan sejak September 2015, namun baru 1 Maret 2016 program tersebut diimplementasikan.

"Komponen Green Tranportation ini temanya adalah mengampayekan orang orang naik sepeda. Makanya sejak beberapa tahun lalu jalanan di kampus banyak dibongkar terutaman jalan yang menanjak," kata Herry saat ditemui di ruangannya beberapa waktu lalu.

Permulaan tak hanya saat itu saja, Herry melanjutkan, sejak 2005, rektor pada masa itu membeli belasan sepeda bekas untuk mengampanyekan program tersebut. Dana lain pun mulai dicari hingga mengalir dari alumni, salah satu bank, dan sumbangan dari industri sepeda.

"Karena sepeda dirasa belum bisa untuk semua orang makanya kami back up dengan bus kampus dan mobil listrik yang awalnya hanya tujuh unit sekarang sudah ada 46 mobil listrik dan sepeda sekarang sudah ada 900 unit," jelas Herry.

Upaya untuk mengajak seluruh sivitas akademika ataupun semua yang ada di lingkungan IPB untuk naik sepeda atau jalan kaki terus dilakukan. Menuju Green Campus 2020, komponen Green Transportation dilakukan bukan tanpa alasan. Semakin ke sini, IPB menyadari program tersebut mendesak untuk dilakukan untuk menekan emisi pencemaran udara di area kampus.

Menurut hasil penelitian Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH), pada 2014, sepeda motor di IPB hanya 3.076, namun meningkat pesat pada 2015 menjadi 10.619. Selanjutnya, mobil pada 2014 hanya 619, namun pada 2015 menjadi 1.267. Selain itu, kendaraan pelintas di kampus IPB Darmaga pada 2015 sudah mencapai 140 dan ojek pangkalan kampus ada 217.

Peningkatan tersebut menyebabkan emisi karbon dioksida, karbon monoksida, dan sulfur dioksida menjadi paling tinggi. Herry menyatakan, beban emisi karbon dioksida perlu ditekan untuk mengurangi tingginya emisi gas rumah kaca. "Itu sebabnya kami berupaya untuk mengurangi lalu lintas sepeda motor di dalam kampus yang emisinya paling tinggi mencapai 115.510 dan membatasi kendaraan pribadi lainnya dengan menyediakan empat kantong parkir," ungkap dia.

Herry memahami saat Green Transportation diimplementasikan memang fasilitas belum sepenuhnya lengkap. Namun, pihaknya memang berniat untuk memulainya secara bertahap, bukan dengan menyiapkan segala fasilitasnya. "Kami bukan menyiapkan semuanya dulu baru memberlakukan. Itu kan nggak mungkin. Mau sampai kapan?" ucapnya.

Dari program tersebut, Herry sadar banyak yang terdampak, mulai dari dosen, mahasiswa, tukang ojek di dalam kampus, dan warga desa lingkar kampus. Namun, melalui program tersebut, IPB mengajak semua pihak untuk memahami akan kebutuhan dari Green Transportation.

Untuk menciptakan kampus yang aman, nyaman, dan berwawasan lingkungan maka Green Transportation dilakukan dengan mengajak warga IPB menggunakan sepeda dan jalan kaki, bus kampus, serta mobil listrik. Parkir sepeda motor di Graha Widya Wisuda (GWW), seberang Green TV, samping posko Menwa, dan Fakultas Peternakan. Hingga penggunaan layanan sistem tranportasi seperti bayar parkir Rp 1 bagi semua kendaraan untuk pendataan.

Sayangnya, upaya menuju Green Campus 2020 mendapat hambatan. Pada 10 Maret 2016, sejumlah mahasiswa berdemo di dalam kampus terkait penerapan program yang dinilai tidak ada sosialisasi. Selanjutnya pada 14 Maret 2016, sebanyak 150 ojek pangkalan kampus demo tidak terima karena tidak bisa lagi mengojek, dan terakhir kali pada 15 Maret 2016 warga kembali protes dengan menutup akses pintu belakang IPB Darmaga.

Terkait demo mahasiswa tersebut, Kepala Biro Hukum, Promosi, dan Humas IPB Yatri Indah Kusumastuti menilai ada kesalahpahaman oleh mahasiswa.  Yatri menjelaskan, masalah sosialisasi yang dituntutkan sama sekali sudah dilakukan oleh pihak kampus. "Kami sudah bikin selembaran, ada baliho besar kami pasang, bahkan setiap rapat kami ajak perwakilan dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) untuk mengetahui Green Transportation. Sampai setiap simpul informasi kami berikan info broadcast," jelas Yatri kepada Republika, Sabtu (19/3).

Yatri menilai, memang tidak mudah mengubah budaya yang selama ini sudah terbiasa dilakukan seluruh orang di dalam kampus. Tapi, kata dia, baik sivitas akademika atau semuanya yang ada di lingkungan kampus harus mengetahui Green Transportation tidak hanya berbicara soal lingkungan namun keamanan kampus.

Jika disebut merugikan tukang ojek, kata Yatri, pihak IPB juga sudah memberikan solusi. "Ojek pangkalan di dalam kampus itu ilegal. Kami bahkan juga tawarkan pekerjaan dengan gaji 1,5 juta per bulan," tutur Yatri menjelaskan.

Yatri menjelaskan, tukang ojek bisa bekerja menjadi sopir bus, sopir mobil listrik, penjaga sepeda atau parkiran, hingga teknisi sepeda jika memiliki kemampuan. Bahkan, IPB sengaja mengosongkan pekerjaan tersebut untuk para tukang ojek dan menunggu untuk bergabung.

Meskipun pada awalnya didemo oleh para tukang ojek, Yatri menyatakan sudah ada sejumlah dari mereka yang mendaftar untuk bekerja di IPB. "Bersama PT Bogor Life Science and Tecnology (BLST) sampai kamis (17/3) sudah sebanyak 69 orang tukang ojek yang mendaftar," jelas dia.

Yatri mengungkapkan, tukang ojek yang mendaftar juga sudah melakukan pertemuan orientasi dan seleksi sesuai permintaan pekerjaan yang diharapkan. Tak hanya itu, para tukang ojek yang mendaftar dan siap bergabung dengan IPB sudah melakukan pengukuran baju.

Jika sesuai rencana, kata Yatri, para pengojek yang mendaftar akan dipekerjakan mulai akhir Maret 2016. Meskipun sudah banyak yang mendaftar, tapi pendaftaran tetap terus dibuka hingga semua bagian cukup diisi.

Yatri mengungkapkan, bukan kali ini saja solusi untuk mengajak tukang ojek bekerja di IPB, tawaran tersebut sudah dilakukan sejak lama namun hanya sedikit yang mau bergabung. Ia merasa mengubah budaya memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sambil dilakukan bertahap, kata dia, pihak kampus terus meningkatkan fasilitas yang dibutuhkan untuk mencapai Green Campus 2020.

Sosialisasi masih kurang

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) IPB Danang Setiawan menyatakan, komponen Green Transportation dalam program Green Campus 2020 sudah sangat positif. Meskipun begitu, Danang menilai, kesuksesan implementasi program tersebut juga tergantung bagaimana sosialisasinya.

"Mahasiswa ada yang demo, sebenarnya kebijakan ini sudah bagus cuma implementasinya belum tahu. Kalau gagal disosialisasi maka gagal diimplementasi," kata Danang kepada Republika, awal pekan ini.

Saat demo berlangsung pada 10 Maret 2016, Danang mengakui tidak turut hadir dalam demo karena keperluan di Belitung. Namun, ia tetap menyarankan ada audiensi dari mahasiswa terhadap pihak kampus, yaitu rektor.

Audiensi pun dilaksanakan pada Sabtu (12/3), Danang menjelaskan masalah antara mahasiswa dan kampus selesai namun ia meminta adanya sosialisasi di tingkat lanjut terutama di setiap fakultas yang ada di kampus IPB Darmaga. "Sosialisasi ini penting karena juga akan menentukan pola pikir semua orang di kampus untuk menerapkan program Green Transportation," ujarnya.

Menurut Danang, pihak kampus terlalu menggebu-gebu untuk mengimplementasikan Green Transportation, namun sosialisasi tidak maksimal. Dia mengakui selembaran dan informasi sebelum diberlakukannya Green Transportation sudah ada, namun cara tersebut belum bisa menyamakan pola pikir semua yang ada di kampus.

Danang pun meminta pihak kampus terus melakukan sosialisasi berkala. Selanjutnya, dia bersama BEM menyatakan siap mengawal komponen Green Transportation agar terus berjalan sesuai kebijakan.

Meskipun ada sejumlah demo yang dilakukan oleh tukang ojek pangkalan kampus, Danang menyatakan, persoalan tersebut sudah ditangani. "Kalau masalah ojek sendiri /nggak tahu ya tiba-tiba langsung demo. Tapi, kemarin rektor sudah menyampaikan intinya membuka ruang untuk mereka bisa menjadi pegawai BLST dengan gaji Rp 1,5 juta," jelas Danang.

Saat demo, rektor juga meminta beberapa orang perwakilan dari pengojek untuk berbicara langsung. Sesuai dengan harapan, kata Danang, akhirnya puluhan pengojek sudah ada yang mendaftar bekerja di IPB.

Akibat diberlakukannya Green Transportation, 150 pengojek melakukan aksi demo yang menyuarakan keberatan mereka karena tidak bisa lagi mencari nafkah di dalam kampus. "Pendapatan kami jadi berkurang, IPB kan juga kampus masyarakat. Banyak warga yang mencari nafkah di kampus ini. Sekarang kami sudah tidak bisa mengojek lagi," kata koordinator ojek yang berdemo, Sapri, beberapa waktu lalu.

Begitu juga Herman, salah satu tukang ojek yang mangkal di kampus IPB menolak dengan tawaran kampus yang ingin memperkerjakan mereka. "Gajinya hanya Rp 1,5 juta. Kami saja kebutuhan per harinya Rp 100 ribu, kan nggak cukup," ujarnya berkilah.

Herman juga tidak setuju dengan sistem kontrak yang ditawarkan oleh kampus IPB jika bekerja sebagai sopir bus kampus atau sopir mobil listrik atau satpam atau penjaga parkir. Ia merasa sistem kontrak bisa saja membuat mereka sewaktu-waktu dipecat saat pergantian pengurusan kampus.

Melihat kala itu pengojek dan sejumlah warganya berdemo, Kepala Desa Cikarawang Sapturi Wijaya mengaku terus mencoba menjelaskan kepada para pengojek mengenai kebijakan IPB. "Saya juga merasa dilema, pihak rektor sudah mengajak saya dan kepala desa lainnya mengenai kebijakan tersebut," jelas Sapturi.

Sebagai kepala desa, Sapturi menilai, kebijakan tersebut baik untuk lingkungan meskipun memberikan dampak bagi warga yang bekerja di dalam kampus, terutama tukang ojek. Padahal, kata dia, IPB juga sudah menawarkan pekerjaan lain agar warga tetap bisa mencari nafkah. "Saya seperti ada di tengah-tengah tapi warga tetap banyak yang menolak tawaran tersebut. Saya juga sudah berusaha menjelaskan solusinya," tuturnya.

Sapturi menjelaskan, memang ada sebagian warga yang mencari nafkah di IPB. Namun, sumber  pekerjaan warga, sambung dia, tidak seluruhnya di IPB. Menurutnya, yang terdampak memang para pengojek yang sudah lama beroperasi di kampus tersebut. "Selain itu, akses pintu belakang IPB kantembus ke desa mungkin itu juga yang menyebabkan warga tidak setuju karena sudah tak lagi bebas melintas," jelasnya.  c32, ed: Endro Yuwanto

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement