Wali Songo (sembilan wali) merupakan sembilan ulama yang menjadi pelopor dan pejuang pengembangan Islam (Islamisasi) di Pulau Jawa pada abad ke-15 atau pada masa Kesultanan Demak. Kata "wali" (Arab), antara lain berarti pembela, teman dekat dan pemimpin.
Dalam pemakaiannya, wali biasanya diartikan sebagai orang yang dekat dengan Allah (waliyullah). Sedangkan, kata "songo" (Jawa) berarti sembilan. Maka, Wali Songo secara umum diartikan sebagai sembilan wali yang dianggap telah dekat dengan Allah SWT, terus menerus beribadah kepada-Nya, serta memiliki kekeramatan dan kemampuan-kemampuan lain di luar kebiasaan manusia.
Mengutip Ensiklopedi Islam, dalam penyiaran Islam di Jawa, Wali Songo dianggap sebagai kepala kelompok dari sejumlah besar mubaligh Islam yang mengadakan dakwah di daerah-daerah yang belum memeluk Islam. Mereka adalah Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. Namun, masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli sejarah tentang nama-nama mereka yang termasuk kelompok sembilan wali tersebut.
Keberadaan Wali Songo dalam menyebarkan Islam di Indonesia juga menimbulkan perdebatan. Bahkan, belakangan ini, ada beberapa yang meragukan upaya Wali Songo dalam menyebarkan Islam di nusantara.
Mereka bahkan berpikir bahwa kisah Wali Songo itu hanya mitos atau legenda. Alasannya, tidak mungkin bahwa Islam bisa saja menyebar begitu luas dalam waktu singkat. Bahkan, abad sebelumnya, Islam mengalami banyak kesulitan untuk menyebar di kepulauan nusantara, khususnya di Jawa.
Memang, semula tidak mudah bagi Islam untuk masuk dan berkembang di nusantara. Bahkan, dalam catatan sejarah, pada rentang waktu sekitar 800 tahun, Islam belum mampu berkembang secara besar-besaran.
Eric Tagliacozzo (2009) dalam bukunya yang berjudul Southeast Asia and the Middle East: Islam, Movement, and the Longue Duree menjelaskan catatan dari Dinasti Tang, pedagang dari Timur Tengah telah datang ke Kerajaan Shih-li-fo-shi (Sriwijaya) di Sumatra dan Holing (Kalingga) di Jawa pada 674 M, yaitu dalam masa transisi dari Khalifah Ali untuk Muawiyah.
Pada abad ke-10, sekelompok Persia disebut suku Lor datang ke Jawa. Mereka tinggal di sebuah daerah di Ngudung (Kudus), juga dikenal sebagai Loram (dari kata "Lor" yang berarti utara). Mereka juga membentuk komunitas lainnya di daerah lain, seperti di Gresik dikenal sebagai daerah Leran.
Keberadaan batu nisan Fatimah binti Maimun bin Hibatallah di Leran Gresik yang menunjuk kronogram dari abad 10, diduga sebagai bukti dari berita tentang migrasi masuknya suku Persia. Dan Fatimah binti Maimun diharapkan sebagai salah satu keturunannya.
Seorang wisatawan sekaligus pedagang asal Italia, Marco Polo, menulis catatan saat ia kembali dari Cina ke Italia pada 1292, ia tidak melewati Jalan Sutra, tapi melewati laut menuju Teluk Persia. Dia berhenti di Perlak, kota pelabuhan di Aceh, yang terletak di selatan Malaka. Menurut Marco Polo, di Perlak ada tiga kelompok, yaitu Cina yang semua Muslim, Western (Persia), yang seluruhnya Muslim dan adat di pedalaman, yang menyembah pohon dan batu.
Seratus tahun setelah Marco Polo datang, Laksamana Zhang ke Jawa pada 1405. Saat berhenti di Tuban, ia menemukan ada seribu keluarga Muslim keturunan Cina. Ia juga menemukan keluaraga Muslim Cina di Gresik dan Surabaya. Pada kunjungan terakhirnya ke Jawa pada 1433, ia mengundang juru tulis Zhang Dia bernama Ma Huan. Menurut Ma Huan, semua penduduk Cina dan Arab dari kota-kota pantai utara Jawa merupakan Muslim, sementara penduduk pribumi kebanyakan non-Muslim karena mereka menyembah pohon dan batu.
Fakta awal
Dari fakta-fakta di atas, Huan Ma, Chengjun Feng, John Vivian Gottlieb Mills (2011) dalam bukunya berjudul Ying-yai Sheng-lan: 'The Overall Survey of the Ocean's Shores', mengatakan, pada 1440, datang wali dari Kerajaan Champa (Vietnam Selatan) ke Jawa bersama dengan keluarganya, yaitu Sheikh Ibrahim Samarqandi (Maulana Malik Ibrahim) dan dua putranya, Ali Murtadho dan Ali Rahmat.
Mereka tinggal di daerah Tuban, tepatnya di Desa Gesikharjo. Tapi, sebelum punya cukup waktu untuk mengembangkan Islam, Syekh Ibrahim Samarqandi telah meninggal dan dimakamkan di Desa Gesikharjo. Setelah permakaman, kedua anak-anaknya menuju ke ibu kota Majapahit karena bibi mereka (Putri Dwarawati) menikah dengan raja Majapahit.
Dan atas perintah Raja, mereka berdua kemudian diangkat menjadi pejabat Majapahit. Ali Murtadho sebagai Raja Pandhita (menteri agama) bagi umat Islam, sementara Ali Rahmat diangkat sebagai imam (imam bagi umat Islam) di Surabaya. Ali Rahmat dikenal sebagai Raden Rahmat (Pangeran Rahmat), yang kemudian menjadi Sunan Ampel.
Dari Sunan Ampel, lahir Sunan Bonang, Sunan Drajat, dan putrinya, kemudian murid-muridnya, seperti Sunan Giri dan Raden Patah. Kemudian, membentuk Wali Songo. Ketika itu, Wali Songo pertama kali datang pada 1440. Butuh waktu sekitar 30 tahun bagi Sunan Ampel mengembangkan Islam di Jawa, sementara anak-anak dan murid-muridnya sudah dewasa. Untuk itu, era awal Wali Songo disebut pada 1470.
Musthofa Asrori dalam tulisannya yang berjudul "Geliat Islam Periode Wali Songo" menjelaskan, sekitar 40 tahun kemudian atau pada tahun 1513, warga Portugis bernama Tome Pires datang ke Jawa. Dia mencatat, sepanjang pantai utara Jawa, semua adipati merupakan Muslim. Padahal sebelumnya, menurut Ma Huan (1433), di sepanjang pantai utara Jawa, penduduk pribumi semua kafir. Hal ini menunjukkan bahwa Islam dikembangkan sebagai massa baru sejak era Wali Songo.
Kesaksian lain, pada 1522, Antonio Pigafetta, seorang wisatawan dari Italia, menyebutkan kapal-kapal Portugis datang ke Jawa. Dia menyaksikan penduduk asli di sepanjang utara Jawa adalah Muslim. Jauh di dalam pulau, Kerajaan Majapahit masih ada, tapi tidak dikembangkan lagi. ed: nashih nashrullah