Jumat 19 Feb 2016 17:00 WIB

Amdal, Tata Ruang, Hingga Masalah Lingkungan

Red:

Segala akses menuju Bandung ke Jakarta maupun sebaliknya sudah tersedia dengan lengkap. Ada bus, kereta, angkutan travel, hing ga pesawat terbang. Lantas pemerintah bersama investor Cina kembali menambah varian transportasi, yakni kereta cepat. Jika telah terbangun pada 2019, kereta ini menjanjikan akses transportasi dari dan menuju kedua kota tersebut dengan waktu yang super efisien: hanya 45 menit. Pengamat tata kota Nirwono Joga lantas menelisik positif negatif keberadaan proyek kereta cepat ini. Positif nya, ia akan menggerakan pembangunan ekonomi lokal. Paling tidak, kata dia, dalam 2-3 tahun ke depan akan ada percepatan pertumbuhan industri perkeretaapian. "Apalagi, jika diiringi penerapan teknologi baru," kata dia.

Hanya saja Nirwono mengkhawatirkan sisi positif tersebut tidak akan tercapai karena prosesnya yang kurang matang. Ketika jalur ke reta api dibangun akan muncul dam pak lingkungan dan sosial di wilayah kiri dan kanannya. Ini mencakup dampak di bidang infrastrukur, transportasi, lingkungan, maupun tata ruang lainnya.

Rencana tata ruang dan wilayah perlu lebih lebih dahulu direvisi. Nir wono menjelaskan penyesuaian tersebut membutuhkan koordinasi dengan pemerintah daerah yang wilayahnya dilewati kereta tersebut. Pemerintah pusat harus memastikan warga terdampak mendapatkan manfaat baik berupa peningkatan kesejahteraan.

Penyesuaian rencana tata ruang dan wilayah, lanjut Nirwono, menjadi syarat wajib ketika proyek infrastruktur dimulai. Untuk kereta cepat, ia melihat adanya keterburu-buruan yang gamblang. Pelaksanaan groundbreaking dengan mengabaikan penyesuaian rencana tata ruang dan wilayah juga akan membuat pemerintah melakukan pelanggaran UU ganda.

Yakni, melanggar UU no 27/2007 ten tang Penataan Ruang dan UU 23/ 2009 tentang Perlindungan Ling kung an Hidup. Presiden, lanjut dia, se ha rus nya memberi contoh kepatuhan terhadap UU yang telah dibuat sendiri dan tidak melanggarnya hanya karena ingin melakukan percepatan infrastruktur. Secara keseluruhan, lahan yang akan terganggu yang dilewati jalur ke reta terdampak seluas 673 hektare. Da ri luas lahan tersebut, ada lahan hutan seluas 57 hektare atau 8,5 persen lahan terganggu pembangun an kereta cepat.

Direktur Jenderal Planologi Ke menterian Lingkungan Hidup dan Ke hutanan (KLHK) San Afri Awang meng uraikan, lahan terganggu akan diselesaikan dengan mekanisme pinjam pa kai kawasan hutan. Ia memastikan ma salah pengaturan dan perencanaan lahan sudah selesai. Hal tersebut di tan dai dengan telah diterbitkannya izin analisis dampak lingkungan (amdal).

Ia menjelaskan proses pengurusan amdal untuk proyek kereta cepat lebih singkat dari ketentuan awal. Yak ni dari seharusnya 52 hari menjadi hanya 40 hari saja. "Sudah dilakukan pen carian data, ada tim prakarsa, me reka juga mengumumkan sudah meng kaji amdal di sembilan kabupaten/kota pada 12 Desember 2015," jelas San.

Ia mengungkapkan waktu singkat keluarnya izin amdal bukan berarti diberikan secara sembarangan. Pun, pengurusan izin amdal dalam kurun waktu lama tidak menjamin kualitas. Disinggung belum rampungnya penyesuaian rencana tata ruang dan wilayah di daerah terlewati kereta, San menyebut nantinya daerah-dae rah akan itu menyesuaikan diri. Tapi penyesuaian ini tidak bergantung pa da keberadaan proyek kereta. "Se jak awal, proyek kereta dan penyesuaian tata ruang dan wilayah tidak berbenturan, bahkan melengkapi," katanya.

Penyesuaian tata ruang dan wila yah mengacu pada Perpres 107/2015. Di dalamnya dinyatakan, Menko Per e ko nomian merangkap sebagai Ketua Ba dan Komunikasi Rencana Tata Ruang Nasional. Nantinya, semua tata ruang di daerah menyesuaikan dengan rencana tata ruang dan wilayah tingkat nasional.

Ahli hukum tata ruang Universitas Padjadjaran (Unpad) Amiruddin Daja an Imami menilai amdal bukan satusatunya persoalan yang muncul pada proyek kereta cepat. Ada hal-hal lebih detail di dalam amdal tersebut me nyang kut aspek-aspek penting seperti rencana pemantauan lingkungan dan rencana pengelolaan lingkungan. "Ini menjadi penting untuk melihat kemungkinan apa yang akan terjadi dan bagaimana penataannya, jangan sampai luput," kata Dajaan.

Persoalan lain yang masih belum kelar adalah belum masuknya proyek kereta cepat ini ke dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW). Dari sekian wilayah yang dilalui kereta cepat, baru Kabupaten Purwakarta yang telah memasukkan pembangunan proyek ini ke dalam RTRW-nya. Padahal, trase kereta ini melalui begitu banyak wilayah, mulai dari Jakarta Timur, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, hingga Kota Bandung.

Pembangunan, kata Dajaan, akan membawa suatu perubahan. Di dalam perspektif hukum, perubahan yang dilakukan harus tertib, teratur, dan me miliki kepastian. Selain itu, peru bah an juga harus dilakukan secara te rencana, bertahap, dan berkelanjutan. Menanggapi persoalan trase yang belum masuk ke dalam RTRW, per wa kilan Badan Perencanaan Pem bangunan Daerah (Bappeda) Jawa Ba rat Slamet mengakui ada kendala dalam revisi di tingkat kabupaten/ ko ta.

Pemprov Jawa Barat telah me lakukan koordinasi dengan Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kemen teri an Agraria dan Tata Ruang (ATR) ter kait hal ini dengan mengajukan per ubahan parsial untuk percepatan revisi RTRW. "Namun karena dalam Undang- Undang Penataan Ruang tidak ada lagi istilah perubahan parsial, maka ka mi mohonkan kepada presiden un tuk me nerbitkan bagaimana cara nya RTRW dapat disesuaikan tapi dengan proses yang di luar kebiasaan," kata Slamet.

Ia menegaskan saat ini kabupaten/ kota tengah merevisi RTRW tetapi dengan cara yang sesuai dengan perundang-undangan sehingga pro sesnya agak lama. Provinsi pun akan merevisi RTRW pada tahun ini. Terkait perizinan, daerah telah memberi masukan ke pemerintah pusat bahwa semua perizinan sudah harus dilalui oleh konsorsium. Oleh Sonia Fitri, Friska Yolandha, ed: Elba Damhuri

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement