Jumat 19 Feb 2016 07:00 WIB

Sadisnya Hukuman Mati Belanda di Kampung Pecah Kulit

hukuman mati (ilustrasi)
Penjara bawah tanah di gedung Stadhuis yang kini menjadi Museum Sejarah Jakarta

Pieter Erbelfelt, yang dituduh ingin memberontak, dihukum secara biadab. Kedua kaki dan kedua tangannya diikat tambang. Masing-masing dihubungkan dengan kuda di empat penjuru. Dengan sekali sentak, keempat kuda melesat diikuti tubuh Pieter menjadi empat bagian. Setelah itu, kepalanya dipenggal dan ditancapkan di atas tonggak yang dipasang di depan kediaman di Jalan Jayakarta, Jakarta Kota.

Monumen ini masih kita dapati di Museum Sejarah DKI Jakarta dan di Taman Prasasti, Tanah Abang. Setelah dilakukan penelitian, ternyata tuduhan Pieter ingin memberontak hanya rekayasa pengadilan.

Sebetulnya, karena soal tanah. Gubernur Jenderal Zwaarderroon ingin membeli seluruh tanah di Jacatraweg (kini Jalan Pangeran Jayakarta). Yang kala itu merupakan kawasan elite.

Tapi, Pieter menolak tanah yang merupakan ahli waris dari ayahnya. Menyebabkan sang Gubernur Jenderal berkepentingan untuk menyingkirkannya dan dibuatlah tuduhan makar.

Menurut sejarawan Adolf Heyken, monumen tersebut didirikan pada 14 April 1722. Padahal, Pieter dibunuh pada 22 April 1722. Tidak mungkin ada monumen peringatan, sementara peristiwanya belum terjadi. Menunjukkan bahwa sejak masa VOC, hakim pengadilan tidak pernah adil karena adanya tekanan dari atasan.

Elberfeld adalah orang Indo Jerman-Siam, tapi kemudian bekerja di Batavia. Ayahnya datang ke Batavia sebagai penyamak kulit. Setelah ia diangkat sebagai anggota Heemraad untuk mengurusi kepemilikan tanah di daerah Ancol, ia menjadi tuan tanah. Kekayaan ini diwariskan kepada anaknya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement