Rabu 17 Feb 2016 12:00 WIB

Menjaga Hutan dengan Diskon Pengobatan (2): Berawal dari 400 Jam Mendengarkan

Red:

Maraknya pembalakan liar membuat 3.038 hektare di Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) Kalimantan Barat harus direhabilitasi pada kurun 2010-2014. Kondisi ekonomi yang buruk mendorong warga di sekitar TNGP mengandalkan hutan sebagai sumber penghasilan. Untuk bisa membayar biaya rumah sakit, kayu hutan menjadi sumber dana. Maka, memadukan konservasi lingkungan dengan insentif pelayanan kesehatan membuat pembalakan liar berkurang drastis di TNGP. Wartawan Republika, Priyantono Oemar, menurunkan hasil liputannya dalam enam tulisan.

***

Lodi Lededara (38 tahun) bersama istrinya bekerja di Klinik Asri ketika anaknya dirawat sembilan hari. Tujuh jam kerja dihargai Rp 60 ribu. Begitulah dia membayar biaya perawatan anaknya, selain menyerahkan sekam.

"Ada kekurangan Rp 400 ribu, saya bayar dengan uang," ujar Lodi, di rumahnya, di Dusun Sawah, Desa Sedahan Jaya, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Kayong Utara, Kamis (28/1).

Lodi merasa terbantu dengan cara seperti ini. Bekerja di klinik, menyerahkan sekam, dan uang tunai Rp 400 ribu setara dengan 30 persen dari total biaya perawatan anaknya. Ia cukup membayar 30 persen lantaran dusunnya mendapat status zona hijau, status yang menandakan dusunnya bebas dari penjarahan hutan.

Semula, anaknya mengeluh sakit gigi. Obat yang diminum berpengaruh pada terganggunya fungsi otak hingga akhirnya memutuskan pindah berobat ke Kinik Asri yang berjarak 20 km dari dusunnya dan harus dirawat inap. Jarak rumah Lodi masih tergolong sedang karena ada pasien yang harus menempuh jarak 40 km bahkan lebih, terlebih dengan kondisi jalan rusak. Warga Pulau Maya pun ada yang berobat menempuh perjalanan laut 8-10 jam.

Harun (46) juga termasuk yang menikmati diskon 30 persen dari klinik karena status dusunnya hijau. Rabu (27/1), warga Benawai Agung itu harus dirawat di klinik karena tifus. Empat tahun lalu, ia dirawat karena keracunan pestisida.

Anggota kelompok tani Harapan Baru itu mengungkapkan, banyak warga yang membayar biaya pengobatan dengan pupuk organik. Kelompok tani Harun beranggotakan 25 petani, membuat pupuk organik atas bimbingan Asri. "Setiap bulan ada empat ton pupuk kami yang dibeli pemda," ujar Harun didampingi istrinya, Ramnah, di ruang perawatan Klinik Asri.

Insentif kesehatan dari Yayasan Asri ini terbukti mengurangi angka sakit dan pembalakan hutan. Diskon pengobatan yang besar merupakan bentuk ucapan terima kasih yang berlebih kepada dusun yang telah menjaga hutan.

Sebelum Klinik Asri berdiri Juli 2007, angka kematian bayi mencapai 3,4 kasus dari 100 kelahiran. Pada 2012, angka kematian bayi turun menjadi 1,1 persen. "Angka kematian turun berpengaruh pada kondisi kesehatan secara keseluruhan," ujar pendiri sekaligus pembina Yayasan Asri drg Hotlin Ompusunggu.

Penurunan ini juga terbantu dengan semakin terampilnya bidan menangani kelahiran. Yayasan Asri bersama Dinas Kesehatan memberi pelatihan kepada para bidan.

Pada 2007, kasus TBC juga tinggi, mencapai 26 kasus per 100 penduduk. Lima tahun kemudian turun menjadi 20 persen. "Kita bentuk tim pengawas minum obat sehingga pasien benar-benar tuntas menjalani pengobatan selama enam bulan," ujar Hotlin.

Ketika memulai program pada 2007, Asri berangkat dari kondisi kualitas kesehatan, kehidupan masyarakat, dan kondisi hutan yang buruk. Diare termasuk tinggi kasusnya, mencapai 40 kasus per 100 penduduk, turun menjadi 20 persen pada 2012.

Ada yang sudah habis Rp 5 juta hanya untuk kudis. Sudah berobat ke mana-mana, kudisnya tak sembuh-sembuh. "Sekali berobat di Klinik Asri, kudisnya langsung sembuh," ujar Hotlin yang berkat pengabdiannya memadukan pelestarian hutan dengan pelayanan kesehatan menerima Whitley Awards dari Putri Anne, Kerajaan Inggris, pada 2011.

Menebang kayu menjadi pilihan warga untuk mendapat uang tunai. Menurut Hotlin, ada yang harus menebang 60 pohon untuk biaya operasi di rumah sakit. Saat itu, tiap hari suara yang terdengar dari hutan hanyalah suara gergaji mesin.

Yasayan Asri memerlukan 400 jam pertemuan dengan masyarakat berbagai dusun di 23 desa di sekitar Gunung Palung selama setahun. Hotlin dan kawan-kawan berusaha keras menjadi pendengar setia di setiap pertemuan yang dihadiri 60-70 orang itu.

Satu pertanyaan utama dilontarkan di setiap pertemuan. "Jika ada yang mau berterima kasih karena telah menjaga hutan, apa yang diharapkan masyarakat untuk bisa melindungi hutan?"

Jawaban pun didapat. Mereka membutuhkan akses kesehatan dan pelatihan pertanian. Klinik kemudian didirikan dilengkapi dengan klinik keliling, ambulans disiagakan, layanan kesehatan yang berkualitas pun dapat dibayar nontunai.

Asri perlu mengikat perjanjian. Dari 23 kepala desa, kata Hotlin, ada dua yang susah diajak bekerja sama karena batas belum jelas dan memiliki usaha penggergajian. Soal batas yang tidak jelas diakui Kepala Balai Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) Dadang Wardhana. "Di beberapa lokasi, batas kawasan TNGP dengan lahan masyarakat tidak jelas karena pal batasnya hilang, sulit ditemukan di lapangan, ada yang memindahkan, atau letak pal batas yang tidak disetujui masyarakat," ujar Dadang, Ahad (7/2).

Kepala desa yang susah diajak bekerja sama itu tak berkutik ketika warganya menggalang tanda tangan komitmen yang kemudian disodorkan kepadanya. Akhirnya, kepala desa itu bersedia menandatangani dokumen kerja sama.

"Desa berkomitmen mendukung pelestarian hutan, Asri berkomitmen memberi penghargaan di bidang kesehatan berupa diskon biaya pengobatan, penyediaan klinik, dan klinik keliling, dan pemberdayaan masyarakat," jelas Direktur Eksekutif Yayasan Asri drg Monica Ruth Nirmala.

Kepala desa yang satu lagi bersedia bekerja sama setelah melihat manfaat yang dirasakan warga desa lain yang mendapat diskon pengobatan 70 persen dan pelatihan pertanian organik. Setelah tanda tangan, usaha penggergajian kayunya pun dia tutup.

Saat itu, tercatat ada 1.360 keluarga di sekitar taman nasional yang dijadikan sampel penanganan Yayasan Asri. Mereka keluarga perambah hutan, sebagai tangan pertama yang menjual kayu rambahan kepada cukong. Jumlah sebenarnya tentu lebih besar lagi.

Satu pembalak bisa mendapat 15-20 meter kubik kayu per bulan. Jika satu keluarga ada satu pembalak saja, minimal ada 20.250-27 ribu meter kubik kayu yang diambil dalam sebulan. Satu pohon bisa menjadi 16-20 meter kubik. "Pohon medang, benuang, bengkirai, durian, bisa sampai 20-an kubik per pohonnya," ujar Agus Supianto, koordinator Monitoring Asri.

Jika satu pohon menghasilkan 20 meter kubik, ada 1.350 pohon yang ditebang untuk mendapat 27 ribu meter kubik dalam sebulan. Jika dalam satu keluarga ada lebih dari satu pembalak, jumlah pohon yang ditebang dalam sebulan berarti bertambah lagi jumlahnya.

Hutan yang rusak menjadi ancaman bagi masa depan manusia. "Ada ribuan warga yang membutuhkan air di desa kami. Jika kemarau, air berkurang karena pohon-pohon ditebang," ujar Samadi, nelayan yang menjadi sahabat hutan di Dusun Tanah Merah Desa Sutera yang diberi tugas oleh desanya menjaga sumber air.

Jika musim hujan, sawah kebanjiran. Sawah-sawah di Desa Sedahan Jaya termasuk yang pernah kebanjiran. "Pembalakan kini sudah jauh berkurang, tapi belum semua dusun di desa kami menjadi zona hijau," ungkap Kepala Desa Sedahan Jaya, Kecamatan Sukadana, Nazanadira.

Di Sedahan Jaya ada Dusun Sawah, Tanjung Banjar, Sidorejo, dan Begasing. Tiga dusun pertama sudah berstatus zona hijau. Begasing yang sempat berstatus zona kuning kembali berstatus zona merah sehingga warga hanya mendapat diskon 30 persen jika berobat ke Klinik Asri.

Meski masih ada aktivitas pembalakan, setidaknya kondisi sudah berubah. Lima tahun berjalan, dari 1.360 keluarga pembalak itu, jumlahnya turun menjadi 450 keluarga pada 2012. "Kini tinggal 180 keluarga, mereka belum bisa beralih profesi karena mereka tak punya sawah," ungkap Hotlin.

Para pembalak yang sudah beralih profesi, ada yang bekerja di perusahaan (14 persen). Ada pula yang bekerja di pabrik minyak sawit (13 persen), menjadi pedagang (empat persen), menjadi nelayan (dua persen), menjadi pekerja konstruksi (1,5 persen), dan sebagainya. "Paling banyak menjadi petani organik, mencapai 52 persen," ujar Hotlin.  ed: Nur Hasan Murtiaji

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement