Jumat 08 Jan 2016 13:00 WIB

Tekan Fenomena Cerai

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,Tekan Fenomena Cerai

Oleh Sri Handayani 

Bekal ilmu pernikahan dinilai masih kurang.

Tingginya angka perceraian dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia menimbulkan keresahan tersendiri di kalangan Kementrian Agama (Kemenag) RI. Ini memaksa adanya perbaikan dalam pen didikan maupun pem bekalan pernikahan. 

Kepala Pusat Litbang Kemenag Muharram Marzuki mengatakan Libang Kemenag telah melakukan penelitian kepada 105 KUA di 33 provinsi di Indonesia. 

Dari dua juta pasangan, tercatat 15 persen di antaranya memutuskan untuk bercerai. 

Ada beberapa masalah yang umumnya memicu terjadinya perceraian. Sebanyak 97.615 kasus disebabkan ketidak harmonisan hu bungan sua mi dan istri. Posisi kedua seba nyak 81.266 karena ti- dak adanya tanggung ja wab sua- mi. Himpitan ekonomi yang diduga akan mendominasi justru ber ada pada posisi ketiga dengan angka 74.599, gangguan pihak ketiga sebanyak 25.340, dan faktor kecemburuan sebanyak 9.338 kasus.

Fakta menarik lainnya, dari seluruh kasus yang ada, 70 persen merupakan kasus gugat cerai yang dilakukan istri. Ke terbukaan informasi dan se makin tingginya pendidikan di kalangan perempuan diduga men jadi salah satu hal yang men du kung fakta ini. Sebab, ada pemahaman hukum yang lebih di kalangan perempuan. Perla kuan yang kurang baik atau kurang bertanggung jawab dari suami juga diduga menyuburkan praktek ini.

\"Ini menjadi keresahan Kemenag. Apakah pernikahan tidak betul-betul dipertimbangkan? Seolah-olah mereka menikah hanya secara fi sik, tapi hati mereka tidak menikah,\" kata dia. 

Atas hasil penelitian ini, Pus- lit bang Kemenag menya rankan perlunya ada gerakan ke luarga. 

Artinya, anggota keluar ga yang ingin menikah harus di pastikan telah memahami pengetahuan dan ketrampilan dasar perni- kah an. \"Memahami arti meni- kah, memahami bagaimana meng ha dapi konfl ik. Kalau ada persoalan, kalau ada pihak ketiga turut nimbrung apa yang harus dilakukan,\" ujar Muharram.

Tanggung jawab ini tak men- jadi dominasi pemerintah saja me- lalui BP4. Keluarga dan organisasi masyarakat mempunyai tanggung jawab dalam hal ini. Masyarakat juga perlu mengedepankan kon- sultasi dengan BP4 sebelum memutuskan bercerai. \"Ini yang kita lihat, peran BP4 kurang digunakan secara optimal oleh masyarakat,\" ujar dia. 

 
Muharram mengatakan, Dir- jen Bimas juga perlu meng gan - deng lembaga adat dan mem- perkuat peran tokoh masyarakat. 

Mereka dapat menjadi tameng pertama para pasangan sebelum me lakukan gugatan cerai ke peng- adilan. Pemerintah melalui Dirjen Bimas kiga perlu menyiapkan pe- doman praktis untuk calon pa- sangan yang akan menikah. 

Ketua Umum PB Al Washliyah Ustaz Yusnar Yusuf mengatakan ada pergeseran dalam tren perni- kahan dan perceraian di tiap da- sa warsa. \"Pasa masa 70-an, lebih kepada ketidaktahuan tentang makna pernikahan. Sebarannya di Indonesia berbeda-beda sesuai kultur yang ada,\" ujar dia. 

Di Karawang, misalnya, tren pernikahan meningkat pa da ma sa panen, sedangkan perce- raian banyak terjadi pada masa paceklik. Ini terkait dengan pandangan budaya yang melihat perempuan sebagai objek. \"Kalau sudah waktunya menikah harus menikah. Kalau tidak kawin di- ang gap tidak laku,\" ujar dia. 

Di tahun 80-an, faktor kul- tural ini dibalur dengan faktor ekonomi. Ketika orang menikah, kemapanan calon mempelai la ki-la ki menjadi salah satu pertimbangan penting. Bahkan, ada keyakinan jika ekonomi ti- dak baik, pernikahan yang didam- bakan tidak akan terwujud.

Tahun 90-an, kesadaran akan peran perempuan dalam keluarga meningkat. Peran ibu sebagai pe- mimpin dalam keluarga mulai didengungkan. 

Menurut Ustaz Yusnar, perce- rai an seringkali terjadi karena pa- sangan tidak memahami tujuan pernikahan. Pernikahan tak lagi dipandang dari sisi syariat, na- mun sesuai pemahaman masing- masing orang. \"Bagi ulama, tu ju an perkawinan adalah me- ngem bangkan keluarga dan keturunan. Keturunan itu tidak boleh lemah,\" ujar dia. 

Para ulama menilai, berkaca dari beberapa negara lain, pem bekalan yang mencukupi menjadi salah satu kunci untuk menurunkan angka perceraian. Di Malaysia pembekalan dilakukan selama 1 bulan, di Singapura dua pekan, dan di Filipina 1 bulan. 

Indo nesia telah memiliki atur an dan lem baga yang ber- tanggung jawab dalam melakukan pena tar an pernikahan, yaitu BP4. Sayangnya, kata Ustaz Yus nar, ini tak cukup efek tif. 

Pembekalan seringkali tidak dila ku kan, apalagi mengingat banyaknya kasus zina sebelum pernikahan. Tak hanya pembe- kalan, sertifi kasi perlu dilakukan untuk menjamin proses ini benar- benar dilaksanakan. 

Ustaz Yusnar menambahkan, pendi dik an tentang pernikahan tak hanya perlu dipelajari men- jelang menikah.

 
Fikih Munakahat me rupa kan salah satu modal penting dalam menjalani per- nikahan dan memperkecil angka perceraian. Sebagai aturan syariat, ini perlu diajarkan sedini mungkin. 

\"Saya sudah belajar Muna- kahat sejak Ibtidaiyah kelas 6.Ada hadis Arbain di SMP. Tidak perlu malu (belajar tentang pernikahan) 

karena itu menyangkut hukum. 

Sehingga ketika akhil baligh dia sudah tahu pubertas, ketentuan dengan yang bukan muhrim.\" 

Ketua Korps Mubaligh Jakarta KH Muhammad Sobari mengatakan, pembekalan pernikahan perlu diregulasikan. \"Ka- lau untuk haji pemerintah mampu mewajibkan 10 hari. Padahal itu untuk keper luan 40 hari. 

Untuk nikah yang untuk seumur hidup jangan hanya nasihat pernikahan,\" ujar dia. 

Selain itu, pertimbangan dalam memilih suami atau istri juga menjadi hal penting. Menurut Kiai Sobari, masjid dan majelis taklim dapat mengambil peran dalam hal ini, dengan membuat biro-biro jodoh. 

Kiai Sobari mengatakan, embrio biro jodoh telah muncul sejak masa Khulafaur Rasyidin dan dicontohkan oleh Umar. Ia menawarkan putrinya, Hafshah kepada para sahabat, namun mereka menolak. Akhirnya, putri kesayangannya justru dipinang oleh Rasulullah SAW. 

Saat ini, biro jodoh banyak dikembangkan oleh berbagai media, koran, dan televisi tanpa memperhatikan syariat. Apabila peran ini diambil oleh masjid dan majelis taklim, ia berharap akan dapat ditemukan pasangan yang baik berdasarkan aturan yang berlaku dalam Islam. (ed: hafidz muftisany)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement