Kamis 24 Dec 2015 07:00 WIB

Monumen Jenderal Van Heutsz di Menteng

 Jenderal Van Heutsz
Foto: wikipedia
Jenderal Van Heutsz

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Belanda, saat berkuasa, banyak membangun monumen atau tugu di Batavia untuk memperingati tokoh yang mereka anggap berjasa dalam mengokohkan pemerintah kolonialnya. Salah satunya adalah monumen Jenderal Van Heutsz yang sampai awal 1960-an masih berdiri di Taman Cut Mutia, Menteng, Jakarta Pusat.

Dalam foto, tampak Jenderal Van Heutsz setengah badan terletak paling atas dari monumen yang diberi perunggu. Jenderal Van Heutsz dianggap orang yang berhasil mengakhiri Perang Aceh pada 1903 saat ia menjadi komandannya.

Berakhirnya Perang Aceh dianggap keberhasilan pemerintah kolonial dalam menyatukan nusantara. Belanda dengan bangga mengatakan, merekalah yang berhasil menghidupkan kembali kekuasaan, prestasi, dan kesatuan yang dulu terdapat dalam Kerajaan Majapahit.

Karena prestasinya itu, Belanda kemudian mengangkatnya sebagai gubernur jenderal (1904-1911). Monumen ini dibangun setelah ia meninggal dunia di Belanda pada 1927.

Taman Cut Mutia dan Jalan Tengku Umar di dekatnya pada masa Belanda dinamakan Van Heutsz Boulevaard (Jalan Raya Van Heutsz). Patung yang terletak di depan Masjid Cut Mutia dan berhadapan dengan Menteng Raya No 31, tempat pejuang-pejuang kemerdekaan berkumpul dihancurkan pada awal 1960-an. Ketika patung perunggu ini runtuh, ratusan orang yang menyaksikannya bersorak dan bertepuk tangan.

Dilihat dari perjuangan rakyat Indonesia, penghancuran monumen dan patung Van Heutsz adalah wajar. Kaum nasionalis menilai, patung dan monumen itu sebagai penghinaan terhadap kehormatan rakyat Indonesia dan membuat mereka berontak.

Sebab, bagaimanapun dasar-dasar karya yang ditinggalkan Van Heutsz setelah berhenti sebagai gubernur jenderal hanyalah bertujuan pada keuntungan uang bagi kekuasaan kolonial dan untuk kepentingan kapitalisme modern tempat perusahaan-perusahaan swasta Belanda diberi kesempatan untuk menguras keuntungan sebesar-besarnya dari bumi jajahannya. Hal ini seperti ditulis Adam Malik dalam buku Mengabdi Republika jilid I.

Ketika Belanda membangun kawasan elite Menteng pada 1920-1930 di sini hanya terdapat tiga buah boulevard (jalan raya lebar), yakni Oranye Boulevard (kini Jalan Diponegoro), Nassau Boulevard (kini Jalan Imam Bonjol), dan Van Heutsz Boulevard (kini Jalan Teuku Umar). Penggantian nama ini sejak 1950-an sangat tepat.

Pangeran Diponegoro adalah pemimpin Perang Jawa (1920-1925), Imam Bonjol pemimpin Perang Padri (1930-1935), dan Tengku Umar adalah lawan utama Jenderal Van Heutsz dalam Perang Aceh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement