Selasa 08 Dec 2015 17:00 WIB

Mengejar Standar Internasional

Red:

Oleh: RAKHMAT HADI SUCIPTO 

 

Awal tahun depan, negaranegara yang tergabung da lam Perhimpunan Bang sa- Bangsa Asia Tenggara akan membuka sejarah baru. Mereka akan terintegrasi dalam satu ekonomi dengan menerapkan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Siap atau tidak siap, semua harus menjalaninya. Tidak ada lagi kata-kata protes, apalagi terus mengeluhkan ketidaksiapan. Michael G. Plummer, guru besar ekonomi internasional Johns Thompkins University, me nilai MEA ini sebagai salah satu program in tegrasi ekonomi paling ambisius di kawasan ne gara berkembang. Tapi, dia melihat MEA ju ga sebuah komunitas yang akan membawa ba nyak perubahan, tidak hanya di regional Asia Tenggara, tetapi juga bagi dunia internasional.

Banyak hal mendasar yang juga akan berubah setelah MEA berlaku bagi seluruh anggotanya. Di antaranya pembebasan tarif dan visa. Politik dan budaya pun akan ber ubah. MEA diperkirakan akan mening katkan pen dapatan dan lapangan kerja, serta mem buat kawasan ini lebih berdaya untuk menghadapi raksasa lainnya. "Integrasi ASEAN akan membantu menyeimbangkan kekuatan ekonomi Cina dan India," kata Plummer, se perti dilaporkan Cebu Daily News, beberapa waktu lalu.

Memang secara individual, masing-ma sing negara akan terlalu kecil bila harus ber hadapan dengan pesaing lainnya. "Tapi, ke tika berkelompok karena sudah lebih dari se tengah miliar orang di kawasan ini, mereka akan menjadi pemain utama," lanjut Plummer.

Nicholas Kwan, direktur riset Hong Kong Trade and Development Council, juga yakin akan muncul banyak perubahan di Asia Tenggara. "Ada arus perdagangan, perpindahan manusia, arus modal, dan apa-apa yang kita butuhkan hari ini ketika negaranegara saling bertukar, ketika dunia akan menutup pintu dan saling menciptakan hambatan," jelas Kwan, beberapa waktu lalu, seperti dilaporkan Global Trade Review.

Kwan menilai perubahan kecil MEA tetap sangat penting karena akan memberi keuntungan dalam perdagangan serta memberikan nilai tambah dalam ekonomi global. Di sisi lain, MEA akan mampu menyerap investasi yang lebih besar lagi dari sebelumnya. Artinya, aliran uang ke kawasan ini akan makin besar. ASEAN akan memompa uang lebih besar. Investor Eropa dan Jepang yang kini menjadi investor terbesar diperkirakan bakal makin tertarik pada kawasan ini.

Potensi MEA berkembang dianggap sangat besar, apalagi gabungan ekonomi negara ini menunjukkan pertumbuhan positif setiap tahunnya. Berdasarkan laporan Dana Moneter Internasional (IMF), pada periode 1990-2014, rata-rata pertumbuhan ekonomi ASEAN mencapai 5,4 persen.

Pertumbuhan ekonomi ASEAN pun selalu di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi global. Ekonomi global 2015 diperkirakan hanya akan tumbuh 3,3 persen, lebih rendah dibanding 2014 yang mencapai 3,4 persen. Diperkirakan pada 2015 ini pertumbuhan ekonomi ASEAN bisa menyentuh 4,6 persen dan akan naik lagi menjadi 4,9 persen pada 2016 mendatang.

Ekonomi yang makin kuat tentu akan membuat posisi tawar dan daya saing ASEAN makin diperhitungkan. Dengan jumlah penduduk mencapai 625 juta jiwa, ASEAN me nam pung 9,0 persen dari total penduduk du nia, pasar yang sangat menjanjikan bagi sesa ma negara ASEAN dan juga global. Kom binasi ekonomi 10 negara anggotanya sudah mencapai 2,5 triliun dolar AS pada 2014.

Lalu, siapa yang akan menjadi pemenang atau pengeruk keuntungan terbesar dalam in tegrasi ekonomi ASEAN? Mudah saja ja waban nya. Siapa saja bisa mendapatkan ke untung an asalkan memiliki daya saing. Yang berdaya saing tinggi, merekalah yang menjadi jawara. Menurut Richard Cahadi Sjarif, eksportir yang juga managing director PT Mega Global Food Industry (Kokola Group), tanpa MEA pun Indonesia harus siap menghadapi pe saing dari mana pun, apalagi ketika MEA sudah menjadi kesepakatan bersama di ASEAN. "Kita tidak boleh takut asing masuk karena eranya memang sudah terbuka," ungkap Richard kepada Republika.

Sumber daya lokal pun sebenarnya mampu bersaing dengan SDM asing. Richard menilai, SDM Indonesia asal mendapatkan kesempatan, kemudian diberi training, diberdayakan, diberikan pembelajaran, sangat cepat mengerti. Perlu transfer knowledge saja dan mereka cepat sekali menerimanya. "Orang asing yang datang ke tempat saya, mereka mengaku mendapatkan gambaran yang berbeda. Kita juga bisa memenuhi permintaan produk sesuai standar internasional," lanjut Richard.

Standar produk

Standar mutu produk barang dan jasa memang akan menentukan persaingan pada MEA nanti. Bagi pelaku bisnis yang berorientasi ekspor, standar mutu ini menjadi persyaratan dan kebutuhan utama. Tanpa kualitas yang memenuhi standar internasional, mereka tak akan mampu menyedot pasar.

Menurut Zakiyah, kepala Pusat Sistem Penerapan Standar Badan Standardisasi Nasional, pengusaha atau pelaku usaha sebenarnya tak perlu terlalu mengkhawatirkan standar mutu produk, apalagi bagi mereka yang mempunyai pasar global. Khusus di ASEAN saja, seluruh negara di kawasan ini sudah mengakui standar mutu dari masingmasing negara.

Karena itu, menurut Zakiah, MEA justru menjadi peluang bagi Indonesia, apalagi ada ASEAN Plus dan kerja sama lainnya. "Kalau mau ekspansi ke luar, produk yang sudah mempunyai tanda SNI tak perlu khawatir. SNI ini juga diakui oleh seluruh negara ASEAN," jelas Zakiah. "Bagi perusahaan lain yang tak memakai tanda SNI, tentu akan susah bersaing dengan negara-negara lain."

Sayang kesadaran untuk membuat ba rang sesuai standar internasional di Indo nesia masih rendah. Menurut Zakiah, penerapan SNI di Indonesia tak semuanya mandatory. Ada juga yang voluntary. "Ironisnya, yang voluntary justru lebih serius, dan produk mereka memenuhi standar internasional, baik dari sisi keamanan maupun faktor lainnya," katanya.

Berdasarkan penelitian Laura Southgate, kandidat doktor di University of Otago, Se landia Baru, perusahaan-perusahaan ber skala besar lebih siap menghadapi MEA ketimbang pelaku UKM. Survei Bank Pem bangunan Asia menunjukkan, kurang dari seperlima dari pebisnis ASEAN yang sudah siap menyambut transisi di kawasan ini.

Kenyataan ini tentu sangat ironis. Keti daksiapan UKM juga tentu akan memba wa masalah karena selama ini sektor mampu menyediakan 90 persen tenaga kerja di kawasan ASEAN. Kelompok usaha ini juga telah menyumbang PDB sebesar 30 persen hingga 50 persen.

Secara umum, memang banyak pengusaha yang belum memahami MEA, apalagi bagi mereka yang bermain di level usaha kecil me nengah (UKM). Berdasarkan survei Sekre ta riat ASEAN pada 2013 lalu, tiga dari empat war ga negara ASEAN yang menjadi objek sur vei menyatakan mereka tak memahami MEA.

Menurut pengamatan Iwan J Azis, guru besar ekonomi Universitas Indonesia dan Cornell University, kepedulian pebisnis terhadap MEA meningkat. "Dalam enam bulan terakhir, setiap dua pekan sekali, saya diundang untuk berbicara dalam forum diskusi MEA, tidak hanya di Indonesia. Menarik sekali karena yang mengundang bukan pemerintah, tetapi sektor swasta," ujar Iwan, seperti dilaporkan Nikkei Asian Review, beberapa waktu lalu.

"Bagi saya ini pertanda baik. Mengapa? Sebab tiba-tiba banyak perusahaan di ASEAN melihat bahwa, 'Ya, Tuhan, ternyata 1 Januari sudah di depan mata'," jelas Iwan.

Pemerintah Indonesia juga sejak jauhjauh hari meminta seluruh pihak agar siap meng hadapi era ekonomi bebas ASEAN ter sebut. Presiden Joko Widodo (Jokowi) me nga ku sedih masih ada yang mengeluhkan siap tidaknya Indonesia memasuki era Ma syarakat Ekonomi ASEAN. "Saya sedih kalau ada yang ngeluh, apakah kita siap ma suk MEA? Sebulan lagi kita baru bisa identifikasi produk yang bisa kita ekspor," kata Presiden dalam acara "Penyerahan Penghargaan Pro duktivitas Paramakarya 2015" di Istana Negara Jakarta, beberapa waktu lalu, seperti dilaporkan Antara.

Saat berkunjung ke Malaysia, menurut Jokowi, justru presiden, perdana menteri, dan menteri negara lain berbisik mereka takut digempur produk Indonesia. "Kalau kita yang takut, itu keliru. Mereka yang takut kita. Kok kita jadi takut mereka?" ujar Presiden.

Presiden mengaku sudah menugaskan para menteri agar mengidentifikasi barangbarang yang telah siap masuk pasar MEA, ter masuk sektor pedagang kaki lima (PKL). "Saya bisa ngomong karena saya mulai dari PKL, mikro, belum masuk ke yang besar su dah jadi wali kota, gubernur, dan sekarang jadi presiden," katanya.

Martha Tilaar, pengusaha lokal yang bergerak di bidang kosmetik dan jamu Sari ayu, termasuk yang optimistis menghadapi per saingan dalam MEA. Menurut dia, merek kosmetik lokal miliknya dapat bersaing di level ASEAN. "Saya optimistis karena seluruh dunia kini menuju natural," kata Martha.

Mengapa Martha begitu yakin bisa ber kompetisi dengan pengusaha asing? Dia sangat percaya karena produknya dibuat dengan pendekatan sains yang sudah teruji khasiatnya lewat teknologi. "Bukan sekadar konon kata nenek moyang," jelas Martha, seperti dilansir Antara. Untuk terus menjaga standar mutu dan menciptakan inovasi, Martha mengaku sudah bekerja sama dengan universitas-universitas dalam negeri, khususnya untuk melakukan riset herbal.

Pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) juga menyiapkan langkah-langkah strategis agar bisa bermain di MEA. APPSI menyiapkan sistem pemasaran baru menggunakan aplikasi pada android atau ponsel pintar secara online dalam memasarkan produk melalui teknologi menghadapi MEA.

"Ada tiga pilar APPSI, salah satunya menggunakan aplikasi teknologi berbasis android. Kita menginginkan penggunaan teknologi untuk peningkatan ekonomi kerakyatan. Tentunya aplikasi ini akan me ningkatkan pendapatan serta lebih efisien," ungkap Ketua Umum APPSI Sandiaga Uno. Aplikasi tersebut diberi nama "Appsipay", seperti aplikasi lain di ponsel pintar. Namun, aplikasi ini lebih sederhana dan mudah dipahami para pedagang dalam memasarkan dagangan mereka, selain di pasar tradisional.

Sementara, pilar kedua pada pengem bang an APPSI ke depan adalah memberikan solusi dan advokasi kepada pedagang yang ber jumlah 5,0 juta orang tersebar di 12 ribu pasar tradisional di seluruh Indone sia. De ngan demikian, APPSI hadir memberikan solusi bagi pedagang pasar yang terkena masalah, seperti tergusur, kebakaran, permodalan, lahan dagangan, serta peningkatan SDM.

Apabila pelaku usaha di sektor UKM siap, tentu level yang lebih besar seharusnya bisa lebih bertenaga menghadapi persaingan satu ekonomi ASEAN. Mungkin pada tahap awal masih banyak yang gagap. Tetapi, MEA bukanlah permainan sepak bola yang dibatasi waktu. MEA adalah proses panjang persaing an sekaligus kerja sama antarnegara di ka was an Asia Tenggara. Tekad mereka sebenar nya satu, besar bersama dan untung bersama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement