Sabtu 05 Dec 2015 06:52 WIB

2018, Kemenristekdikti Evaluasi Kinerja Guru Besar

Rep: c 13/ Red: Indah Wulandari
Menristek Dikti Muhammad Nasir.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Menristek Dikti Muhammad Nasir.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) akan mengevaluasi kinerja seluruh guru besar di Indonesia pada 2018. Terutama pada hasil karya ilmiah yang telah dihasilkan dan dipublikasikan secara internasional oleh mereka.

“Di 2018, para guru besar akan dievaluasi. Mereka akan dilihat apa ada karya mereka yang dipublikasi bertaraf internasional atau tidaknya,” ujar Menristekdikti M Nasir saat Jumpa Pers ihwal Peluncuran Program Penghargaan Publikasi Ilmiah Internasional dari Lembaga Pengelola Pendidikan (LPDP) di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Thamrin, Jakarta, Jumat (4/12).

Upaya ini dilakukan untuk bisa meningkatkan jumlah jurnal di tingkat nasional maupun internasional.

Jika selama lima tahun terakhir tidak menghasilkan apa-apa, Nasir menilai, ini jelas menjadi masalah. Apalagi mereka selalu mendapatkan tunjangan penghargaan sebagai guru besar.

“Apakah pantas tunjangan itu tetap diberikan sementara mereka tidak menghasilkan karya dan ini jelas menjadi bentuk pertanggungjawaban mereka” ungkap Nasir.

Maka, hingga 2018 mendatang, mereka wajib mampu mempublikasikan karyanya, baik nasional maupun internasional.

Sejauh ini, Nasir menjelaskan, jumlah guru besar di Indonesia sebanyak 3000-an. Sementara guru besar yang nampak terus berkarya dan menghasilkan jurnal nasional maupun internasional hanya separuh dari jumlah tersebut. Bahkan, kata dia, pihak yang lebih banyak menghasilkan itu para dosen dan mahasiswanya.

Mantan Rektor Universitas Diponegoro (Undip) ini mengatakan ihwal kondisi publikasi ilmiah di luar negeri terutama Malaysia.Para mahasiswa S-3 diwajibkan untuk bisa mempublikasikan tiga jurnal bertaraf nasional maupun internasional. Para guru besarnya juga diharuskan menghasilkan dua jurnal setiap tahunnya.

“Biaya mereka memang besar sih untuk penelitian, tidak kayak kita,” kata Nasir.

Nasir mengaku, anggaran merupakan faktor penghambat untuk memperbanyak riset di Indonesia. Jumlah dana riset Indonesia hanya 0,09 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dari angka itu, 76 persen berasal dari negara.

Menurut dia, kondisi ini sangat jauh berbeda dengan negara lainnya, semisal Singapura, Malaysia, Singapura, Korea Selatan dan sebagainya. Di Korea Selatan, 80 persen pembiayaan riset berasal dari industri.

Untuk itu, dia terus mendorong agar penelitian dan riset Indonesia bisa mendapat dukungan biaya dari industri. Misal, tambah dia, Biofarma mendukung pembiayaan riset BATAN.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement