Di pusat perkotaan, Linceu biasanya memanfaatkan waktunya untuk mencari bahan-bahan pembelajaran. Salah satunya dengan mencari bahan ajar seperti foto sebuah majalah yang berkenaan dengan mata pelajaran yang diampuhnya, yakni ekonomi. Ia juga akan berusaha memanfaatkan waktunya untuk bisa membereskan dokumen Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Sebagai puteri daerah Papua, lulusan Universitas Cenderawasih ini mengaku prihatin dengan kondisi masyarakatnya. Terutama kondisi pendidikan anak-anak Papua. Menurut dia, siswa dan masyarakat di tempatnya masih terbelakang. Oleh karena itu, hatinya pun tergerak untuk membenahi pendidikan di tanah kelahirannya dengan mengabdi sebagai guru.
Linceu menilai motivasi anak Papua dalam belajar begitu besar. Hanya saja keinginan ini masih terkendala banyak hal. Pertama, transportasi. Hal ini merupakan tantangan tersulit untuk bisa mengembangkan pendidikan di tanah kelahirannya itu. Transportasi merupakan jalan terpenting guru agar dapat bisa berhubungan dengan wilayah lainnya. Apalagi kebutuhan dan perlengkapan di wilayah pedalaman sangat kurang.
Selanjutnya, wanita yang telah menjadi guru sejak 2009 ini berpendapat, kemampuan bahasa Indonesia juga menjadi kendala dalam mengembangkan pendidikan di Papua. Masyarakat Papua masih belum terlalu lancar memakai bahasa Indonesia. Maka dari itu, pembelajaran bahasa ini harus terus dikembangkan oleh para guru. “Kemampuan bahasa Indonesia mereka belum lancar dan ini susah,” jelas Linceu.