Senin 16 Nov 2015 13:00 WIB

Teror Paris, Krisis Pengungsi, dan G-20 Turki

Red:

Aksi teror di Paris yang sangat mengerikan. Hingga kini the Telegraph dan ragam media lain terus merilis perkembangan jumlah korban yang menembus angka di atas 100 korban jiwa. Secara cepat dapat diterka bahwa aksi keji ini digerakkan oleh sel virtual, berjejaring luas, yang melakukan serangan simultan terkoordinasi, sehingga diperlukan tindakan solidaritas internasional menyelesaikan akar permasalahan terorisme. Agar duka Paris dapat menjadi penggugah efektif yang mengobati luka kemanusiaan dunia.

Dalam menghadapi tragedi kemanusiaan seperti ini, jelas cacian tidak bertanggung jawab yang menjadikan tragedi ini kesempatan untuk menyalahkan pengungsi yang tengah berduyun ke Eropa, atau menuding dengan nada Islamofobia adalah sikap yang terbelakang dan tidak manusiawi. Jelas, para pengungsi yang melarikan diri merupakan korban teror yang sama bahkan mengalaminya lebih dahulu dan berulang kali dalam intensitas yang lebih mengerikan.

Dampak lain yang tak terhindarkan adalah bahwa setelah aksi teror Paris ini, agenda penanggulangan terorisme, migrasi, pengungsi, dan Syria akan menjadi tema dan agenda yang dominan dibicarakan di kalangan para pemimpin dunia. Terlebih sekarang ini tengah dilaksanakan G-20 Summit di kota sebelah barat daya Turki, Antalya. Indonesia sebagai salah satu peserta G-20, melalui Presiden Jokowi dapat mengangkat beberapa isu strategis agar perspektif komprehensif lebih mengemuka.

 

Faktor rezim Suriah

Solidaritas internasional tentu akan menambah tingkat urgensi pembahasan krisis pengungsi di G-20 Turki, mengingat, sebelum terjadinya aksi teror Paris, isu pengungsi telah menjadi tema utama yang dibicarakan secara viral di Eropa sejak awal September 2015, mulai dari masyarakat, pejabat negara, hingga proses pengambilan keputusan di tingkat Uni Eropa yang dimulai pada 12 September 2015 di Praha.

Pembahasan ini tentu tidak dapat memisahkan fenomena gelombang pengungsi Suriah ke Eropa dari konteks sekaligus dua faktor utamanya, yakni faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor).

Faktor pendorong utamanya adalah masih berlanjutnya pendekatan rezim Suriah dalam melakukan represi dan keterlibatan negara dalam konflik vertikal hingga membantai warga negaranya sendiri. Sementara, pengungsi kesulitan mencari tempat karena tidak banyak alternatif negara yang netral. Beberapa negara-negara tetangga seperti Irak, Lebanon, juga terlibat konflik. Sehingga, meskipun Lebanon adalah negara kedua tertinggi menampung pengungsi Suriah (1.172.753 juta pengungsi), namun karena terlibat konflik dengan menjadikan negaranya basis dukungan terhadap Jabhah An Nusrah dan faksi Suriah lainnya, membuat persoalan tersendiri. Selain juga secara domestik Lebanon tengah menghadapi krisis sampah yang menuntut perdana menterinya mundur. Pilihan ke negara-negara tetangga lainnya juga sudah overload, berdasarkan data UNHCR, Turki sudah menangani 1.805.255 pengungsi, Jordan 629.128, Mesir 132.375.

Negara-negara kawasan Arab Teluk atas pertimbangan demografi membatasi pengungsi untuk menjaga potensi gejolak domestik akibat ketidakseimbangan penduduk asli dengan pengungsi apabila membuka secara bebas. Mengingat negara-negara monarki konstitusional, seperti Bahrain, telah mengalami dampaknya dengan perubahan komposisi anggota parlemennya. Negara-negara Arab Teluk akhirnya lebih memilih memberikan donasi atas pengelolaan pengungsi di negara lain.

G-20 Turki akan lebih efektif apabila juga menekankan faktor lain yang memperparah, yakni kehadiran Rusia di Suriah. Kini peringatan The Economics September 2015 menemui kebenarannya, ketika Obama diperingatkan bahwa sikap "diam" Amerika Serikat terhadap kehadiran Rusia di Suriah berpotensi mewariskan tambahan masalah pengungsi Suriah dan kian berkembangnya terorisme ISIS. Itu terlihat ketika serangan Rusia di Suriah, setelah dianalisis—di antaranya oleh The Carter Center—memperlihatkan peta jatuhnya bom dan serangan Rusia bukan berada di wilayah yang dikendalikan ISIS, bukan pula Kurdi, namun kelompok-kelompok oposisi anti-Assad. Sehingga menguatkan dua monster sekaligus: Assad dan ISIS.

ISIS adalah kelompok yang terus mengalami perluasan kendali signifikan. Ketika 2014 menguasai wilayah yang cukup besar dengan mendirikan pemerintahan di Raqqa dan mengendalikan Sungai Efrat yang tersambung ke Irak, maka secara de facto ISIS telah menjadi kelompok terkuat di Suriah, terlihat dari momen-momen berikutnya pada Januari 2015 dan Oktober 2015 bersamaan dengan pelemahan kelompok-kelompok oposisi Assad, baik karena tekanan rezim Assad ditambah gempuran Rusia terbaru.

 

Faktor kebijakan inklusif Eropa

Adapun faktor penariknya, kepeloporan Jerman yang mendorong negara-negara Eropa menerapkan kebijakan terbuka terhadap pengungsi. Jerman, secara tradisional memang dikenal dengan kebijakan inklusi sosial terhadap imigrasi (social inclusion on immigration policy) dan kini menerapkan kebijakan inklusi terhadap pengungsi (refugee inclusion strategy). Ini membuat sebagian besar negara akhirnya menyatakan siap membuka pintu seluas-luasnya kepada pengungsi. Kondisi negara-negara dengan iklim demokrasi—bukan otoritarian yang menegangkan seperti negara Eropa, serta peluang kesejahteraan hidup.

Sebenarnya ada alasan lain Jerman, di tengah industrialisasi yang terus dilangsungkan, Jerman punya kekhawatiran terhadap krisis defisit demografi tahun 2050. Oleh karenanya, peluang menyerap buruh dari para pengungsi Suriah juga menjadi pertimbangan. Ini pula yang semestinya membuat Prancis, Italia, Spanyol, dan beberapa negara lain yang memiliki problem serupa. Faktor seruan Paus Francis juga menjadi pendorong sikap kultural warga negara Eropa. Meskipun, kendala bahasa, perbedaan budaya, serta permasalahan lainnya yang juga disadari oleh negara-negara Eropa.

 

G-20 Summit di Turki

Di antara faktor pendorong dan penarik, juga perlu dilihat urgensi dukungan dunia terhadap kapabilitas negara tuan rumah G-20 tahun ini, yakni Turki. Pertama, dalam posisi geografisnya yang merupakan negara satu-satunya yang berbatasan dengan Irak utara dan Suriah utara sekaligus, yakni tempat transit utama menuju "ibu kota" ISIS. Kedua, sekarang merupakan rumah terbesar pengungsi Suriah. Meskipun, terdapat ketegangan dari ketidaksetujuan Eropa terhadap sikap intoleransi Erdogan terhadap oposisinya, namun isu Rusia dan pengungsi Suriah bagi Barat agaknya lebih prioritas menjadi alasan penguatan hubungan dengan Turki.

Rangkaian serangan Rusia di Suriah telah membuat negara-negara Eropa jengkel. Serangkaian gelar serangan pengeboman Rusia di Suriah telah mengondisikan situasi meningkatnya hubungan antara Turki dan Barat dengan menggarisbawahi kepentingan bersama untuk menyingkirkan pengaruh Rusia di Timur Tengah. Kerja sama intens Uni Eropa dengan Ankara diperlukan, terutama untuk menanggulangi pengaruh ISIS dan memberikan dukungan terhadap perbaikan kondisi pengelolaan pengungsi yang lebih baik di Turki.

Aksi teror Paris tidak boleh membuat menyurutkan langkah para pengambil kebijakan di Eropa. Justru, G-20 adalah forum yang lebih luas untuk menggalang solidaritas internasional. Apabila sekarang terdapat implementasi dari pembagian beban (burden-sharing) yang hanya dipikul negara tertentu seperti Turki, Lebanon, Jordan, serta di negara-negara Eropa. Kita berharap G-20 yang berlangsung 15-16 November 2015 dapat menjadi ajang pembahasan secara komprehensif mengenai aksi teror Paris serta krisis pengungsi di dunia.

Perlu pandangan dan kontribusi dari para pemimpin yang negaranya dijadikan tujuan transit ataupun tujuan mengungsi/mukim. Sembari berharap ada inisiatif baru kebijakan asertif Obama terhadap intervensi Rusia, juga terhadap rezim Assad. Indonesia sebagai salah satu peserta G-20, melalui Presiden Jokowi dapat mengangkat persoalan ini secara lebih komprehensif. Profil Indonesia sebagai negara Muslim demokratis terbesar diharapkan dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi bergandengan dengan Turki, negara-negara Timur Tengah, sekaligus juga Amerika Serikat dan Eropa perihal isu ini. Agar duka Paris dapat menjadi langkah efektif solidaritas penawar duka dunia.

Arya Sandhiyudha

Kandidat Doktor Hubungan Internasional, Fatih University, Turki

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement