Senin 16 Nov 2015 13:00 WIB

Pertumbuhan Ekonomi, Paket Kebijakan, dan Perpajakan

Red:

Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis angka pertumbuhan ekonomi kuartal III-2015 sebesar 4,73 persen (year on yearyoy). Laju pertumbuhan ini lebih tinggi dibanding kuartal II-2015 yang sebesar 4,67 persen (yoy).

Meski lebih tinggi, angka pertumbuhan ini sebenarnya masih di bawah potensinya. Ini mengingat hanya pengeluaran pemerintah (government spending) yang pertumbuhannya cukup tinggi. Sementara itu, konsumsi rumah tangga, investasi, ekspor netto, pertumbuhannya tidak terlalu menggembirakan. Bahkan, konsumsi rumah tangga (consumption) yang memberi kontribusi (share) terbesar terhadap PDB, yaitu sekitar 55 persen, pertumbuhannya justru menurun.

Kalau kita telusuri datanya, banyak faktor yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi kita masih begitu rendah. Pertama, rendahnya pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2015 ini berkaitan pula dengan kualitas belanja pemerintah. Sebelumnya saya telah menyebutkan bahwa pengeluaran pemerintah mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi pada kuartal III-2015, yaitu sekitar 6 persen (yoy). Tingginya pertumbuhan sisi pengeluaran pemerintah ini sebenarnya "siklus" kita yang menganut pola "balloon spending" atau realisasi belanja yang menumpuk menjelang akhir tahun.

Sayangnya, tingginya pertumbuhan pengeluaran pemerintah ini tidak terjadi pada pos pengeluaran yang memiliki daya dorong (multiplier effect) tinggi bagi pertumbuhan ekonomi. Kalau kita cermati, dari data realisasi APBN yang dirilis Kementerian Keuangan pada awal November ini, terlihat pos belanja yang bersifat non-discretionary atau belanja yang bersifat wajib yang realisasinya tinggi. Pos-pos belanja non-discretionary ini antara lain belanja pegawai, barang operasional, subsidi, pembayaran bunga utang, dan bantuan sosial yang realisasinya sampai dengan akhir Oktober 2015 telah mencapai sekitar 80 persen.

Sementara itu, pos belanja yang bersifat discretionary, realisasinya masih rendah. Bahkan, belanja modal baru terealisasi 39 persen. Sementara itu, anggaran penyertaan modal negara (PMN) baru terealisasikan hanya pada beberapa BUMN saja. Padahal, belanja yang bersifat discretionary ini memiliki efek yang lebih tinggi bagi pertumbuhan ekonomi.

Kedua, rendahnya pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan rendahnya daya beli masyarakat. Data BPS menunjukkan, pada kuartal III-2015, sisi konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,96 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan kuartal III-2014 sebesar 5,44 persen. Data ini konsisten dengan data realisasi pajak pertambahan nilai (PPN) yang hingga September 2015 hanya tumbuh sekitar 3,55 persen (yoy). Kondisi ini menyimpulkan bahwa aktivitas belanja masyarakat belum pulih. Berbagai insentif pajak yang dikeluarkan pemerintah, seperti penurunan pajak barang mewah, tampaknya kurang efektif mendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga.

Saya melihat adanya suatu indikasi yang aneh dengan perekonomian kita. Harga minyak mentah rendah sehingga harga BBM pun dapat ditekan ke level yang cukup rendah. Harga komoditas lainnya juga rendah. Pemerintah juga telah mengeluarkan sejumlah paket kebijakan ekonomi untuk menurunkan biaya produksi.

Sayangnya, turunnya harga bahan baku serta upaya pemerintah untuk menurunkan biaya produksi tersebut ternyata belum mampu mendorong aktivitas belanja masyarakat. Padahal, di Amerika Serikat, rendahnya harga minyak mentah menjadi salah satu faktor yang turut mendongkrak laju pertumbuhan ekonominya, terutama dari sisi konsumsi rumah tangga.

Dengan berbagai fakta ini kemungkinannya bisa bermacam-macam. Meskipun beberapa harga bahan baku dan komponen biaya produksi telah diturunkan, secara total biaya produksi sesungguhnya masih tinggi. Hal ini dapat diidentifikasi dari terjadinya kenaikan harga-harga barang di pasar (market). Terbukti, sampai dengan September laju inflasi tahunan (yoy) masih tinggi, mendekati level bunga acuan BI Rate. Saya melihat, faktor depresiasi rupiah yang sangat tajam selama 2015 ini menjadi faktor utama di balik tingginya kenaikan harga barang-barang konsumsi tersebut.

Rendahnya pertumbuhan ekonomi dari sisi konsumsi rumah tangga ini juga menunjukkan bahwa daya beli masyarakat belum pulih. Kondisi ini antara lain dapat disebabkan karena menurunnya pendapatan riil (real income). Turunnya pendapatan riil ini antara lain bisa terjadi karena kenaikan harga-harga atau bahkan disebabkan oleh hilangnya kesempatan kerja (unemployment). BPS belum lama ini mengonfirmasikan bahwa angka kemiskinan kita meningkat. Kondisi ini bisa menyimpulkan memang ada kenaikan dalam hal angka pengangguran (unemployment). Kenaikan angka pengangguran ini terkait pula dengan upaya perusahaan untuk menurunkan biaya produksi akibat melemahnya permintaan dan tingginya biaya produksi.

Ketiga, rendahnya pertumbuhan ekonomi kita juga berkaitan dengan pertumbuhan investasi. Laju pertumbuhan investasi pada kuartal III-2015 mencapai 4,62 persen lebih tinggi dibanding kuartal III-2014 sebesar 4,02 persen. Pertumbuhan investasi memang mengalami kenaikan. Sayangnya, kenaikannya tidak signifikan. Padahal, komponen investasi ini memiliki kontribusi (share) yang cukup tinggi sebagai pembentuk PDB, sekitar 32 persen.

Dorongan kenaikan investasi selama 2015 memang menurun. Turunnya harga minyak, batu bara, dan komoditas pertanian menyebabkan gairah investasi berkurang. Padahal, investasi di sektor primer selama ini memegang peran yang cukup besar dalam kegiatan investasi kita. Rendahnya dorongan investasi ini juga terlihat dari rendahnya pertumbuhan kredit perbankan yang hingga Juli 2015 baru mencapai 9,7 persen.

Harapan untuk menggerakkan investasi sebenarnya diharapkan dari sisi pemerintah melalui percepatan investasi infrastruktur dan belanja modal. Sayangnya, realisasi kegiatan investasi pemerintah masih jauh dari harapan. Salah satu penyebabnya adalah kemampuan fiskal kita pada 2015 ini yang tidak mendukung.

Realisasi penerimaan negara, khususnya perpajakan, belum sesuai target. Hingga akhir Oktober 2015, realisasi penerimaan perpajakan baru mencapai 63 persen. Posisi kas pemerintah di Bank Indonesia (BI) pun semakin berkurang, di mana per September 2015 tinggal sekitar Rp 64 triliun.

Dengan kemampuan fiskal yang menipis, di sisi lain posisi defisit APBN harus dijaga agar tidak melampaui target, maka sejumlah pos belanja negara yang bersifat discretionary ditunda realisasinya. Akibatnya, pos belanja negara seperti belanja modal, PMN, dan belanja discretionary lainnya realisasinya masih sangat rendah. Pemerintah ingin menjadi driver bagi pertumbuhan ekonomi melalui investasinya. Sayangnya, hal itu tidak diimbangi dengan kapasitas fiskalnya, khususnya dari sisi perpajakan.

Sepertinya pemerintah harus mengambil pendekatan lain untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Pendekatan perbaikan struktural melalui paket kebijakan ekonomi tetap perlu dilakukan karena penting bagi kesinambungan perekonomian kita dalam jangka panjang.

Namun, langkah-langkah jangka pendek juga perlu dilakukan karena masyarakat tidak bisa menunggu hasil dari perbaikan struktural tersebut. Konsumsi rumah tangga harus digenjot melalui peningkatan daya beli. Sedangkan, investasi harus digenjot, setidaknya melalui dorongan investasi pemerintah, yang tentunya membutuhkan dukungan kemampuan fiskal yang cukup.***

Oleh Sunarsip

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement