Ahad 18 Oct 2015 00:15 WIB

Teliti Perbedaan PRD dan PKS, Arie Sujito Raih Gelar Doktor

Rep: C97/ Red: Erik Purnama Putra
Sosiolog UGM Ari Sujito.
Foto: Republika/Wihdan
Sosiolog UGM Ari Sujito.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Debat tentang ideologi memang tidak pernah usai. Termasuk dengan kadar dan variasi perspektif yang masih cukup menarik dalam ranah akademik maupun sosial.

Terjadi tarik-menarik antara pandangan pesimistis yang memvonis terjadinya kematian ideologi, dengan mereka yang optimistis ideologi masih ada pada presentasi yang berbeda dan mengalami transformasi dalam praktik sosial dan politik.

Menurut pengamat politik Arie Sujito fenomena kebangkitan ideologi pada awal demokratisasi Indonesia yang direpresentasikan partai politik masih terbatas di kalangan elite intelektual dan aktivis saja. “Penelitian ini berhasil menelusuri bahwa upaya PRD membangun kembali sosialisme sebagai ideologi, dan PK(S) dengan islamisme masih terbatas nalar dan keyakinan para elite politiknya,” tuturnya dalam ujian terbuka Program Pascasarjana Fisipol UGM, Sabtu (17/10).

Dalam kesempatan itu Arie mempertahankan disertasinya yang berjudul 'Ideologi Politik dan Basis Sosial Studi tentang Keterbatasan Ideologi dalam Perluasan Dukungan Partai Kiri PRD dan Partai Islam PK(S) di Era Pasca-Orde Baru'.

Dia mengemukakan, pelajaran penting dari corak kedua parpol tersebut menarik. Perbedaan antara Partai Rakyat Demokratik (PRD) memiliki para aktivis yang militansinya kuat, terutama dalam memproduksi simbol, jargon, dan alat propaganda di dalam mengembangkan organisasinya dengan memegang teguh 'ideologi'.

Sementara Partai Keadilan Sejahtera memiliki kekuatan pada kelola dan perluasan jaringan pada segmen kelas menengah kota dengan mesin-mesin politik di kampus yang berwujud organisasi kemahasiswaan dan kerja praktis ekonomi. “Di sini PK(S) relatif berhasil signifikan dalam penguasaan organ-organ kampus,” kata dosen Jurusan Sosiologi UGM itu.

Di akhir paparannya, Arie menilai struktur masyarakat sebagai habitat bagi berprosesnya nilai-nilai, keyakinan, atau kultur tidak sepenuhnya mampu menjadi ladang tumbuh dan eksisnya pembangunan ideologi politik. Ideologisasi mengalami fase di persimpangan jalan.

Di satu sisi parpol demokrasi telah menghadirkan ruang keterbukaan sebagai kesempatan yang memungkinkan ideologi politik tumbuh dan berkembang. Namun disisi lain parpol juga mengalami kebingungan saat membangun basis sosial yang kuat dan mengakar sebagai pijakan keyakinannya.

“Alih-alih membentuk ideologi masyarakat, yang terjadi justru gagal manfaatkan kesempatan tersebut,” kata Arie mengakhiri paparan karya ilmiahnya. Dalam kesempatan tersebut Arie dinyatakan lulus dalam program doktoral UGM.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement