Senin 17 Aug 2015 14:13 WIB

Taufik Ismail: Pengajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah Harus Diubah

Rep: arie lukihardianti/ Red: Taufik Rachman
Sastrawan Taufik Ismail.
Foto: Republika/Yasin Habibi
Sastrawan Taufik Ismail.

REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG--Saat ini, toko buku dan perpustakaan banyak tersebar di Jabar. Namun,  secara umum minat baca di sini masih rendah.  Sastrawan, Taufik Ismail menilai pengajaran bahasa dan sastra di sekolah, harus diubah. Karena, orientasi pengajaran bahasa saat ini hanya berfokus pada tata bahasa saja.

Sehingga, pendidikan bahasa dan sastra di sekolah dinilai tidak bisa memicu dan mendorong para siswa untuk tertarik pada kegiatan membaca.

"Sejak sekolah dasar hingga menengah, siswa terus dijejali kewajiban untuk menghapal saja, seperti menghapal awalan, akhiran, dan sebagainya," ujar Taufik di sela-sela acara Pembukaan Perpustakaan Ajip Rosidi, di jalan Garut akhir pekan lalu.

Bahkan, menurut Ajip, banyak siswa sekolah menengah mengatakan bahwa pengajaran bahasa sangat membosankan. "Jadi ada yang salah dalam hal ini," katanya.

Menurut Ajip, ada 2 hal yang harus diperbaiki dalam pendidikan bahasa. Yakni, kecintaan terhadap membaca buku dan bimbingan terhadap kemampuan menulis. Kedua hal itu,  tidak diajarkan di sekolah saat ini,khususnya pada tingkat SMA.

Taufik mengatakan, lahirnya tokoh-tokoh besar seperti Soekarno, Moh Hatta, Moh Yamin salah satunya karena pemikiran kritis mereka yang muncul akibat pendidikan membaca dan menulis yang kuat. Semasa sekolah, ketiga tokoh tersebut rajin membaca buku. Bahkan di pendidikannya mereka diharuskan membaca buku minimal 25 judul buku dalam kurun waktu 3 tahun. Tak hanya itu, mereka pun diwajibkan menulis 1 tulisan setiap pekannya.

"Bagaimana kita mau melahirkan tokoh besar jika keinginan membaca dan menulis saja masih rendah?"katanya.

Tokoh -tokoh besar, kata Taufik, lahir dari keingintahuan yang besar, mereka membaca, dan menulis. Dalam 3 tahun pendidikan menengah tokoh-tokoh tersebut, bahkan sudah menghasilkan 108 tulisan.

Hal ini, kata dia, terbalik dengan apa yang terjadi saat ini. Kurikulum pengajaran bahasa dan sastra di sekolah menengah paling banyak menulis 5-6 kali dalam setahun. Bahkan ada pula yang gurunya menugaskan siswa menulis setahun sekali. Itu pun, hanya pada saat kenaikan kelas saja.

"Untuk itu, kami dan para sastrawan Indonesia lainnya selama 17 tahun ini berjuang untuk merubah kurikulum pengajaran bahasa dan sastra di sekolah," katanya.

Dikatakan Taufik, pihaknya ingin mata pelajaran tersebut difokuskan pada dua hal. Yakni, bagaimana menciptakan kecintaan siswa terhadap kegiatan membaca buku dan bimbingan dalam meningkatkan kemampuan menulis. "Namun sebagaimana diketahui, merubah kurikulum di negeri ini tidak lah mudah," katanya.

Banyaknya perpustakaan saat ini, kata Taufik, sudah bagus. Hal ini pun turut mendorong minat baca agar terus meningkat. Akan tetapi perpustakaan kalau bisa tak hanya berperan dalam pinjam meminjam buku saja.

Perpustakaan yang ingin banyak dikunjungi, seharusnya juga memiliki program kegiatan yang menarik."Perpustakaan sebaiknya bekerjasama dengan sekolah," katanya.

Misalnya, kata dia, perpustakaan mengundang para siswa untuk datang ke sekolah dalam rangka apresiasi sastra. Pada kegiatan tersebut, siswa tidak hanya belajar membaca, tetapi juga belajar mengkritisi karya.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement