Selasa 04 Aug 2015 16:00 WIB

Gagak di Langit Yogya

Red:

Malam gelap gulita di atas lapangan terbang Maguwo, Yogyakarta. Sekitar 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara berjaga. Bermodalkan persenjataan yang sangat minim, yaitu beberapa senapan dan satu senapan antipesawat 12,7. Senjata berat dalam keadaan rusak.

Tentara Indonesia bukan tidak waspada terhadap kemungkinan agresi militer Belanda. Sebab, pada Juli hingga Agustus 1947 pernah terjadi serangan militer sehingga kemungkinan Belanda menyerang lagi sangat besar. Itulah sebabnya di berbagai daerah Republik dibentuk beberapa badan perjuangan.

Untuk menjaga kesiapan, TNI secara teratur mengadakan latihan perang-perangan. Kebetulan pada 19 Desember 1948 direncanakan latihan yang melibatkan semua unsur kelaskaran, dapur umum dan palang merah. Saat itu, tak ada yang menyangka akan terjadi perang sungguhan.

Hanya berselang dua jam sebelumnya, tepatnya pada 18 Desember 1948, pukul 23.30, siaran radio Antara dari Jakarta menyebutkan, "…pagi ini Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr Beel, akan mengucapkan pidato yang penting."

Pidato apakah itu? Tidak diketahui olah pemerintah Indonesia di Yogyakarta. Sementara, Jenderal Spoor memberikan perintah kepada seluruh tentara Belanda di Jawa dan Sumatra untuk memulai penyerangan terhadap kubu Republik. Operasi tersebut dinamakan "Operasi Kraai" atau operasi burung gagak.

Pukul 2.00 pagi, 1e para-compgnie (pasukan para I) KST di Andir Bandung (kini Bandara Husin Sastranegara), memperoleh parasut dan memulai masuk ke pesawat terbang.Pukul 3.30 dilakukan briefing terakhir. Pukul 3.45 Mayor Jenderal Engles tiba di bandar udara Andir, diikuti oleh Jenderal Spoor 15 menit kemudian.Dia melakukan inspeksi dan mengucapkan pidato sangat singkat. "Good luck!"

Pukul 4.20 pasukan elite KST di bawah pimpinan Kapten Eekhout naik ke pesawat dan pukul 4.30 pesawat Dakota pertama tinggal landas. Rute penerbangan ke arah timur menuju Maguwo diambil melalui Lautan Hindia. Pukul 6.25 menerima berita dari para pilot pesawat pemburu bahwa zona penerjunan dapat dipergunakan. Pukul 6.45 pasukan para mulai diterjunkan di Maguwo. Langit Yogya pun dihiasi pasukan terjun payung.

Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari 19 Desember 1948, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, "… bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville."

Penyerbuan terhadap semua wilayah Republik di Jawa dan Sumatra, termasuk serangan terhadap Ibu Kota RI, Yogyakarta, dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II telah dimulai. Belanda konsisten dengan menamakannya sebagai "Aksi Polisional".

Penyerangan terhadap Ibu Kota Republik diawali dengan pengeboman atas lapangan terbang Maguwo pada pagi hari. Pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh lima pesawat Mustang dan sembilan pesawat Kittyhawk.

Pukul 06.45, sebanyak 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 7.10 Bandara Maguwo jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik, tercatat 128 tentara tewas, tidak ada keterangan jumlah korban tentara Belanda.

Sekitar pukul 9.00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di Maguwo. Pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang—termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T—beserta persenjataan beratnya di bawah pimpinan Kolonel DRA van Langen telah terkumpul di Maguwo.

Itulah untuk pertama kalinya tentara Belanda melancarkan operasi terjun payung besar-besaran melalui Operasi Burung Gagak di Yogyakarta. Sebuah cara paling efektif untuk menguasai daerah lawan secepatnya. Setelah dengan mudah menguasai Pangkalan Udara Maguwo, tentara Belanda menuju ke Ibu Kota RI di Yogyakarta.

Perang Gerilya

Mendengar berita tentara Belanda telah memulai serangannya, Panglima Besar Jenderal Soedirman mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan di radio pada 19 Desember 1948 pukul 08.00. Di sisi lain, Kabinet RI mengadakan sidang kilat. Dalam sidang itu diambil keputusan, pimpinan negara tetap tinggal dalam kota agar dekat dengan Komisi Tiga Negara (KTN) sehingga kontak-kontak diplomatik dapat dilakukan.

Jam-jam berikutnya, daerah kekuasaan tentara Belanda meluas sampai ke jalan-jalan di Kota Yogya. Dengan teknik komando, pasukan Belanda menyerbu menggunakan truk berkecepatan tinggi. Setelah menerobos, dengan gerak cepat dan penuh kejutan, mereka memukul mundur tentara Indonesia.

Pada pukul 15.00, Yogya dikuasai tentara Belanda. Mereka mengepung Gedung Negara (Istana Presiden) di Jalan Malioboro, dekat Keraton Yogya. Sersan Vermeer melemparkan granat tangan ke arah istana, memancing pihak istana untuk keluar. Tak lama kemudian, seseorang keluar dari dalam istana dan mengibarkan bendera putih.

Pasukan pengawal istana menyerah tanpa membawa senjata. Kemudian, sersan Belanda itu menanyakan keberadaan Presiden Sukarno. Namun, dijawab Presiden tidak bersedia keluar istana. Kemudian, tentara Indonesia itu disuruhnya kembali dengan membawa pesan, jika dalam tempo dua menit Sukarno tidak keluar, istana akan diserbu.

Satu menit kemudian, Presiden Sukarno keluar. Ia kemudian ditawan bersama tokoh-tokoh Republik lainnya, seperti Wakil Presiden Mohammad Hatta, Perdana Menteri Sutan Sjahrir, Agus Salim, dan beberapa tokoh lainnya. Mereka kemudian dibawa ke lapangan terbang Maguwo untuk diterbangkan ke tempat pengasingan. Sementara, pemerintahan Republik dialihkan secara darurat kepada Sjafruddin Prawiranegara yang berkedudukan di Bukit Tinggi, Sumatra Barat.

Aksi ini segera menjadi berita dunia dan memancing berbagai reaksi. Dunia internasional lebih banyak bereaksi negatif terhadap aksi Belanda ini karena dinilai telah menyerang kedaulatan sebuah negara.

Pihak TNI juga tidak tinggal diam. Jenderal Sudirman memerintahkan aksi perang gerilya. Gentayangan di malam hari, menyerang secara mendadak pos-pos tentara Belanda, kemudian menghilang. Gaya serangan ini membuat perwira Belanda tidak berani bermalam di Kota Yogya. Mereka memilih tidur di kompleks lapangan terbang Maguwo yang dijaga ketat.

Perlawanan gerilya ini sekaligus mematahkan klaim Belanda bahwa Republik Indonesia telah tamat. Masalah ini dibawa ke Dewan Keamanan PBB. Belanda kesulitan dengan biaya tinggi untuk menguasai kembali Indonesia. Menurut perkiraan, Negeri Oranje itu harus mengeluarkan hampir 400 juta dolar per tahun untuk membiayai tentaranya di Indonesia. Akhirnya setahun kemudian, tepatnya tanggal 27 Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement