Jumat 22 May 2015 12:45 WIB

Longser LSBS Unisba, Berkaca pada Seni

Rep: mj05/ Red: Agus Yulianto
Pentas Bunda Ratu Hitut oleh kelompok longser Bandoengmooi.
Foto: Republika/Edi Yusuf
Pentas Bunda Ratu Hitut oleh kelompok longser Bandoengmooi.

REPUBLIKA.CO.ID, “E eh, kalahka sare deui geura…. Sarmud, Hudang!” –Ceu Onah (E eh, malah tidur lagi…. Sarmud, Bangun!)

“Alaah mendingan sare…. Percuma hudang ge da BBM naek deui…” –Sarmud (Alaah lebih baik tidur…. Percuma bangun juga BBM naik lagi)

(“Ucing Jeung Anjing Parebut Asin”-MD Ruhanda)

.

.

Diawali dengan lampu-lampu yang dimatikan, lalu muncul cahaya yang menyorot panggung, menampilkan dua penari jaipong berkebaya hijau dengan kerudung hitam dihias melati. Lalu muncul sosok ki Panjak yang membuka acara. Menyalakan obor, berharap obor akan bersinar ke arah utara, selatan, timur, dan barat. Lalu lampu kembali mati. Suasana berubah menjadi humor ketika karakter Kang Sarmud dan Ceu Onah berlakon di panggung.

Paragraf diatas merupakan bagian awal dari longser kamis malam lalu. Petikan di atas sendiri merupakan salah satu sindiran tidak langsung yang memang banyak diselipkan pada longser. Ya, Longser. Lingkung Seni Budaya Sunda Universitas Islam Bandung (LSBS Unisba) mengadakan pagelaran longser sunda di Student Center Unisba Bandung, pada Kamis malam (21/5).  Longser bertajuk “Ucing Anjing Parebut Asin” (Kucing dan Anjing Berebut Asin) ini disutradarai oleh MD Ruhanda, alas Kang Dadang. Kang Dadang (45) sendiri merupakan salah satu pendiri LSBS Unisba, menyebut dirinya sebagai ‘sesepuh yang peduli keadaan LSBS’. Kang Dadang juga yang membuat naskah pagelaran Longser tersebut.

“Longser ini bercerita tentang warga yang bertengkar seperti kucing dengan anjing. Perempuannya bertengkar memperebutkan si Tatang sarjana Tukang Sayur. Sama seperti negara kita yang bertengkar terus,” Terang sang sutradara ketika ditemui seusai pagelaran.

Longser ini memang bercerita tentang beberapa karakter wanita seperti Ceu Onah, Neng Epon, Neng Pipit, Neng Intan, dan Neng Iceu memperebutkan karakter kang Tatang yang digambarkan sebagai seorang sarjana namun bekerja sebagai tukang sayur. Ada juga konflik antara Ceu Iis yang merasa suaminya, Kang Sardun, digoda oleh Ceu Onah karena ketahuan berduaan di pos ronda.

Dadang sendiri mengaku ide untuk cerita longser ini dari keadaan negara yang menurutnya sedang tidak kondusif. Pertikaian partai politik menjadi ispirasi untuk cerita ini.

“Kan si eceu-eceu itu bertengkar memperebutkan si Tatang. Padahal Tatang mah hanya sarjana yang tidak bisa apa-apa, lalu jadi tukang sayur. Sama seperti kucing dan anjing yang berebut ikan asin, padahal tinggal tulang dan buntutnya. Sama seperti politik negara kita sekarang,”

Dadang juga menjelaskan bahwa adegan-adegan dalam longser ini merupakan adegan dari cerita kehidupan sehari-hari. Sang sutradara sendiri menyebutnya sebaga ‘cerita dari kehidupan, kehidupan dalam cerita’.  Adegan-adegan dalam longser ini sengaja dibuat sefamiliar mungkin dengan kehidupan sehari-hari, ditambah dengan bumbu humor agar cerita menjadi menarik.

Menjadi pemain longser rupanya tidak mudah. Seperti yang diceritakan Hanif (21), pemeran ceu Pipit. Menurutnya, sulit mencari chemistry dengan pemain lainnya agar ‘tek tok’–nya tepat dan terasa pas. Sulit juga mencari waktu latihan karena kesibukan kuliah. Selain itu masih ada kendala lainnya,

“Saya kan laki-laki, tapi berperan sebagai Ceu Pipit, perempuan, masih sulit untuk saya merubah suara agar jadi seperti perempuan. Lalu cara jalan juga berbeda kan. Di tambah ada bagian-bagian tubuh yang baru, seperti wig, dada bohongan, dan yang lainnya, jadi terasa aneh. Mata juga berat karena pakai bulu mata palsu, hhahaha…” tutur mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Unisba ini.

Kendala-kendala serupa pun dirasakan oleh Della (19), mahasiswi Akuntansi Unisba yang berperan sebagai Ceu Edoh, wanita hamil yang mau melahirkan. Della mengaku sulit untuk menyesuaikan diri dengan peran yang didapat.

“Karena saya juga belum pernah hamil, jadi tidak tahu bagaimana rasanya jadi ibu hamil. Kan cara berdirinya berbeda, cara jalannya juga beda,” ujar Della.

Selain kesulitan mendalami peran, yang menjadi kendala lain untuk Della adalah sulitnya untuk menahan tawa. Ketika  latihan maupun tampil, Della mengaku, sulit untuk berhenti menertawakan diri sendiri ataupun menertawakan pemain lain yang sedang berlakon.

“Ya biar tidak tertawa, saya harus berusaha membuat suasana hati sendiri sesama mungkin dengan naskah,”akunya.

Pagelaran Longser Modern (Longmod) ini diselenggarakan selama dua hari, pada 21-22 Mei 2015. Meski sempat molor satu jam lebih dari waktu yang dijadwalkan, penonton tetap antusias mengikuti pagelaran Longser tersebut. penonton memenuhi tempat duduk yang disediakan. Beberapa penonton memilih duduk lesehan. Tampak beberapa anak sekolah menengah atas yang turut menonton pertunjukan Longser.

Dadang berharap dengan adanya Longser ini, seni Sunda menjadi bangkit kembali dan generasi muda tidak lupa dengan seni dan budaya sunda. Selain itu, Dadang juga berharap para penonton dapat berkaca dari cerita longser yang ditampilkan dan dapat mengambil hikmahnya.

“Kalau untuk menyadarkan mah masih terlalu jauh, tapi setidaknya bisa ‘ngeunteung ku rasa, ngalenyepan ku seni’ (berkaca oleh rasa, berpikir oleh seni).”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement