Ahad 01 Mar 2015 16:59 WIB

‘BERLABUH’ DI SAYANGAN

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, Krrucuk krucuuuk.... Suara protes terdengar dari perut saya. Isyarat dari jam biologis itu kini tak bisa lagi diabaikan. Keliling Kota Muntilan bahkan melaju hingga Ketep Pass begitu menguras waktu dan energi sampai-sampai jam makan siang sudah jauh terlewati. Rasa lapar mustahil terkelabui. Saya langsung teringat Sayangan.

Teman saya di Jakarta mengingatkan agar jangan lupa ke Sayangan bila berkunjung ke Muntilan. Jangan berprasangka buruk, Sayangan tak ada urusannya dengan kawasan remang-remang. Sebaliknya, terang benderang urusan makanan.

Sayangan adalah nama kawasan lama di Muntilan. Menilik namanya, "sayang" dalam bahasa Jawa berarti `orang yang bekerja membuat barang-barang dari tembaga'. "Sayangan" berarti `tempat para pembuat barang-barang tembaga'. Kemungkinan dahulu kawasan ini merupakan sentra pengrajin tembaga.

Kini Sayangan berada di sepanjang Jalan Veteran. Jalan ini berada di samping Klenteng Hok An Kiong. Dari ujung ke ujung jalan pendek ini dipenuhi oleh pedagang makanan. Tenda-tenda berderet di sebelah kanan jalan, sedangkan tempat parkir pengunjung di sebelah kiri.

Pada senja itu sekitar 20 kios pedagang sudah berdiri memanjang. Pedagangnya pun bervariasi, mulai dari bakmi, bakso dan mi ayam, makanan hasil laut, bubur kacang hijau, kupat tahu, ayam goreng, tongseng dan satai ayam, hingga martabak.

Pengunjung dipersilakan memilih makanan mana yang akan disantap. Semuanya masih dengan harga masuk akal dan tidak membuat dompet jebol.

Bolak-balik saya menyusuri Jalan Veteran ini untuk memilih makanan yang sesuai. Karena termasuk pencinta tongseng, maka akhirnya saya menjatuhkan pilihan ke "Sate Tongseng Mirah" milik Pak Basuki. Suasana ramah di dalam warung sederhana ini menyambut pembeli. Saya langsung memesan tongseng dan satai kambing sekaligus.

Kepulan asap langsung menghiasi gerobak sebagai ruang kerja Pak Basuki. Dibantu asisten, dia menyajikan hidangan yang sudah dinanti. Aroma harum langsung dari adonan daging kambing, kol, bawang, dan bumbu lainnya yang menyeruak dari tenda beratap oranye itu membuat perut saya semakin lapar. Dengan perlahan-lahan Basuki mengaduk adonan tongseng dalam wajan kecil yang dipanaskan dengan tungku arang. Ia meracik bahan sambil berbincang dengan pembeli lain yang kebetulan datang bersamaan.

Saya juga tidak mau kalah dalam hal bertanya mengenai kawasan kuliner Sayangan ini. "Sejak 1995 Sayangan sudah menjadi kawasan kuliner di Muntilan," jawab Pak Basuki sambil tersenyum. Dulu pedagang belum seramai ini. Pak Bas, sapaan Basuki, masuk generasi awal.

Sejak 2000-an pedagang bertambah dan mulai memadati kawasan ini. Banyak pengunjung yang berdatangan, bahkan tidak hanya dari Muntilan. Terkadang dari Yogjakarta atau Magelang yang sengaja berburu kuliner.

Tidak berbeda dengan pedagang lain, Warung Kupat Tahu Pak Lan Legendaris juga memiliki pengunjung tersendiri. Terlihat pengunjungnya ramai silih berganti keluar masuk warung. Dari cerita warga sekitar, kupat tahu Pak Lan cukup terkenal.

Wajar saja memiliki banyak pelanggan. Selain itu, kalau pagi ada juga tempat yang terkenal yakni Sop Empal Bu Haryoko. "Sampai-sampai warung empal ini udah diliput TV Jakarta," kata Mas Eko, salah satu warga setempat, bercerita.

Aktivitas di Sayangan lebih ramai pada akhir pekan. Namun, tutur Eko, kawasan ini sangat padat pada liburan Lebaran. Saat Lebaran, sekitar 100 pedagang memadati Jalan Veteran ini.

Pedagang biasanya mulai berjualan pada malam hari. Sekitar pukul 16.00 WIB pedagang mulai menata dagangan, mendirikan tenda, atau menata gerobaknya.

Pukul 19.00 WIB atau selepas Isya merupakan waktu yang tepat untuk menyambangi kawasan ini.

Pengunjung bebas memilih sesuai keinginan dari sederet rentang pilihan makanan. Jangan lupa telusuri dahulu dari ujung ke ujung untuk menemukan warung yang pas untuk makan malam. Sebuah hidangan yang pas sebagai penutup kunjungan di Muntilan.

Sudah Seabad Berdagang Jenang

Berkunjung ke suatu daerah tidak komplet tanpa ada buah tangan. Buah tangan ini yang menjadikan kekhasan suatu daerah saat berkunjung. Tidak sulit untuk menemukan tempat penjual oleh-oleh di Muntilan, kota yang berada di antara Yogyakarta-Magelang ini. Pada awal berkunjung, Kota Muntilan ini memang sudah kesohor dengan tape ketan. Makanan itu menggunakan bahan dasar ketan kemudian diberi ragi dan biasanya berwarna hijau.

Namun, rasa penasaran akhir nya mendorong saya untuk bertanya kepada warga soal oleh-oleh khas ini. Akhirnya saya disarankan untuk pergi ke toko yang terletak di Jalan Pemuda No 71. Di toko dengan gaya kuno ini bagian depannya tertulis Jenang (Dodol) Ny "PANG". Meski demikian, itu tidak menyurut kan niat saya untuk bertanya lebih lanjut mengapa saya disarankan ke sini. Ada banyak jajanan dan kue yang ditata pada rak. Ukuran toko cukup besar, yang kemudian diketahui toko ini sudah mengalami perluasan untuk lebih banyak menampung pelanggan pada 2014.

Begitu di dalam saya langsung diberikan saran untuk mencicipi jenang (dodol) Nyonyah Pang. Lidah saya merasakan jenang yang berbeda. Gurih, tidak terlalu manis, dan tidak lengket di gigi. "Memang dodol di sini menurut saya paling enak," kata Pak Agus, salah satu pembeli. Lelaki asal Semarang ini mengaku selalu mampir jika lewat Muntilan. Dodol ini merupakan kesukaan nenek dan istrinya.

Pembeli selalu keluar masuk toko ini sejak pertama saya datang. Toko Nyonyah Pang sudah ada sejak 1915-an. Sri Kartiningsih, pemilik saat ini, meladeni keingintahuan saya dengan penuh semangat. Sri adalah keturunan keempat dari pemilik toko ini.

Menurut Sri, sebenarnya pemilik pertama toko ini bukanlah Nyonyah Pang, namun Nyonya Lauw Ing Tjo. "Nama Nyo nyah Pang sendiri berasal dari nama sang mertua, yakni Ny Lauw Ki Pang," kata Sri.

Pada awal berbisnis Ny Tjo sebagai pemilik pertama tidak langsung memiliki toko untuk berjualan. Namun, hanya memanfaatkan depan rumah dan berproduksi dalam jumlah yang sedikit. Lama-kelamaan karena permintaan meningkat maka ia memutuskan untuk membuat toko. Dan bertahan sampai saat ini dengan anda lan yang sama: jenang (dodol), krasikan, wajik, dan tape ketan. Tidak hanya itu, makanan lain juga dijual sebegai variasi oleh-oleh.

Sampai sekarang, produksi dari jenang dodol, krasikan, wajik, serta tape ketan masih dilakukan sendiri di tempat penjualan. Jadi, makanan yang dijual di toko itu ibaratnya fresh from the oven. Proses pembuatan makanan yang terkategorikan kuno ini pun cukup sulit dan memakan waktu yang agak lama. Dulu, pembuatan makanan manis ini masih menggunakan tangan dan mema kan waktu lama serta tenaga ekstra. Kini mesin mulai menggantikan pekerjaan berat sehingga dapat menghemat waktu dan energi.

Harga jualnya, tape ketan dijual Rp 9.000 per kotaknya, wajik Rp 18 ribu, sedangkan kra sikan dijual Rp 20 ribu. Dodol Ny Pang yang legendaris itu dijual Rp 22 ribu per dus. Semua jenis itu saya beli untuk teman-teman di kantor sebagai bukti sudah singgah di Muntilan.

rep: Wihdan Hidayat ed: Nina Chairani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement