Jumat 06 Feb 2015 14:00 WIB

Produk Dalam Negeri

Red:

Kementerian Perdagangan melarang impor pakaian bekas. Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menyebut pakaian bekas yang didatangkan dari luar negeri sebagai barang ilegal alias tak berizin sehingga tidak boleh diperjualbelikan di Indonesia.

Salah satu pertimbangan Kementerian Perdagangan melarang memperjualbelikan pakaian bekas impor adalah karena faktor kesehatan. Dari hasil sampel uji laboratorium yang dilakukan Ditjen Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kemendag, ditemukan 216 ribu koloni mikroba per gram di celana bekas impor. Tentu, fakta ini bisa membahayakan kesehatan konsumen pengguna pakaian bekas impor tersebut.

Selain faktor kesehatan, UU No 7 Tahun 2014 pun menyebutkan, semua importir yang memasukkan barang ke dalam negeri harus dalam keadaan bagus, kecuali ada persetujuan menteri. Pengecualian itu, misalkan, ada pabrik di luar negeri yang merelokasi diri ke Indonesia dengan tetap memakai mesin-mesin lama. Kasus ini masuk dalam kategori pengecualian karena barangnya berupa mesin. Namun, pengecualian ini tidak berlaku untuk impor pakaian bekas.

Kebijakan Kemendag ini menunai penentangan dari sejumlah pedagang pakaian bekas impor. Alasannya, mereka tidak mau dirugikan, apalagi jika usaha mereka ditutup secara mendadak dengan alasan produk yang dijual membahayakan konsumen. Modal saja belum impas, produk mereka malah dilarang dijual.

Dalam hal ini, pedagang pakaian bekas impor yang bisa dikategorikan sebagai pengusaha kecil, tidak boleh dimatikan usaha mereka. Harus dibuat masa peralihan hingga mereka menemukan dagangan baru. Belum lagi para pembeli pakaian bekas impor kebanyakan warga kelas menengah ke bawah, meski tak dimungkiri para penikmat baju tersebut merupakan warga kelas menengah atas yang berduit. Salah satu pertimbangan mereka menggemarinya karena harga yang miring, tapi kualitas tak kalah bagus daripada produk baru buatan dalam negeri.

Pelarangan berjualan pakaian bekas impor secara mendadak bisa berdampak pada munculnya pengangguran baru. Dalam hal ini, sosialiasi akan bahaya baju bekas impor menjadi hal utama yang mesti dilakukan pemerintah.

Hal yang tak kalah pentingnya adalah perbaikan di hulu. Para pedagang bisa bebas berjualan karena aturan dan penindakan yang tidak tegas. Bea Cukai mengaku kesulitan membendung masuknya pakaian bekas impor kalau aturannya tidak tegas. Apalagi, permintaan domestik cukup tinggi akan pakaian tersebut. Hukum ekonomi pun berlaku untuk supply and demand, ada permintaan, maka ada barang. Permintaan yang besar mengakibatkan upaya penyelundupan pun tinggi melalui "jalur-jalur tikus".

Data Ditjen Bea Cukai menunjukkan, sepanjang 2013-2015, sudah 34 kali penyelundupan pakaian bekas digagalkan. Jumlahnya mencapai 25.600 bal. Satu bal berisikan 500 buah pakaian, berupa celana, baju, jaket, dan sejenisnya. Setiap satu bal dijual seharga Rp 1 juta–Rp 2 juta kepada pedagang besar. Keuntungan yang tak sedikit.

Namun, kita juga harus fair. Praktik penjualan pakaian bekas impor ini telah menekan produk tekstil nasional yang berskala industri kecil padat karya. Data Asosiasi Pertekstilan Indonesia menyebutkan, praktik impor ilegal itu telah menggerus potensi pendapatan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) hingga Rp 10 triliun per tahun.

Omzet industri kecil menengah (IKM) tekstil selama ini bisa mencapai Rp 50 triliun. Jika kehilangan Rp 10 triliun, sudah menggerus pendapatan hingga 20 persen. Fakta ini belum memperhitungkan hilangnya jumlah pekerja IKM. Jika satu IKM bisa mempekerjakan 10 orang, bisa dibayangkan dari 5.000 IKM berapa tenaga kerja yang hilang.

Padahal, produk tekstil dalam negeri sempat merajai pasar domestik selama 15 tahun dengan membanjiri pasar hingga 70 persen. Angka itu saat ini anjlok menjadi hanya 40 persen. Penurunan terasa signifikan sejak 2010 yang saat itu masih menguasai 50 persen pasar, tergerus akibat kebijakan bea masuk impor nol persen.

Melihat fakta ini, edukasi terhadap konsumen juga menjadi penting. Harus disadarkan akan manfaat pada perekonomian nasional bila masyarakat lebih memilih produk tekstil dalam negeri yang jauh lebih sehat dan dari segi kualitas juga tidak kalah. Agar industri TPT dalam negeri bisa berdaya saing, pemerintah harus serius menindak tegas impor ilegal. Mulailah dari mencintai produk-produk negeri sendiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement