Kamis 15 Jan 2015 10:36 WIB

Dana BOS Diselewengkan, Pengamat: Penghapusan Ada Positif dan Negatifnya

Rep: c 80/ Red: Indah Wulandari
Dana bantuan operasional sekolah (BOS) perlu dipantau dan diawasi (ilustrasi)
Foto: ANTARA
Dana bantuan operasional sekolah (BOS) perlu dipantau dan diawasi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG–Rencana penghapusan dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang berasal dari pemerintah provinsi dinilai tepat. Pasalnya, selama ini penggunaan dana tersebut diduga banyak dimanipulasi maupun diselewengkan.

“Rencana penghapusan BOS Provinsi memiliki sisi positif dan negatif,” terang  pengamat pendidikan Edi Gaswanto, Kamis (15/1).

Positifnya, kata dia, selama ini dana BOS yang dikucurkan ke sekolah banyak kelemahan dalam pengawasan penggunaannya. Bahkan, seakan-akan dimanfaatkan pihak yang tak bertanggunjawab dengan berlindung di balik panduan penggunaan dana BOS.

‘’Ada beberapa kepala sekolah yang bilang, alhamdulilah saja dana BOS provinsi itu akan dihapuskan. Karena selama ini, uangnya belum diterima, tapi sudah dialokasikan dan sudah habis untuk membayar berbagai hal yang tidak bermanfaat,’’ katanya.

Contohnya, lanjut Edi, meski sudah ada surat edaran dari bupati dan kepala dinas agar berlangganan koran itu dibatasi sesuai kebutuhan, namun dana BOS diperuntukkan untuk langganan koran yang dihitung berdasarkan jumlah siswa.

Misalnya, kalau jumlah siswa 500 orang, langganan koran yang harus dibayar sekolah tiap bulan untuk 500 eksemplar. Bahkan, jelas Edi, di salah satu sekolah terdapat biaya langganan koran yang mencapai Rp 1,3 juta per bulan.

‘’Itu belum lagi ditambah pembelian berbagai barang yang dijual oleh oknum wartawan, LSM dan oknum dinas,’’ ujarnya.

Namun demikian, jelas dia, jika dana BOS ini digunakan dengan baik, efektif dan efisien. Tentunya berperan penting untuk memajukan dunia pendidikan.

Salah satunya, jelas dia, dalam panduan BOS tercantum jika 15 persen nilai uang yang dikucurkan ke setiap sekolah, diperuntukan bagi gaji para guru honorer.

‘’Tapi kan kenyataannya kurang dari 15%. Itu terjadi karena terlalu banyak barang atau pengeluaran diluar prioritas. Padahal, seandainya itu benar dibayarkan 15% untuk honorer pasti bisa membantu mensejahterakan para guru honorer,’’ ungkapnya.

Edi melanjutkan, apabila Pemerintah Pusat akan menghapuskan BOS provinsi, ada baiknya harus ada pos anggaran pengganti untuk menggaji para guru honorer.

‘’Lebih baik dana BOS itu dialihkan untuk menggaji guru honorer secara layak. Yah minimal setara dengan UMK. Karena saat ini nasibnya memprihatinkan, meski masuk jajaran profesional tapi upah mereka masih ada yang dibayar dibawah Rp 500 ribu per bulan,’’ jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement