Senin 05 Jan 2015 17:00 WIB

Bukittinggi Ibu Kota Perjuangan RI

Red:

''Apa yang Anda tahu tentang Bukittinggi?'' Pertanyaan ini sempat dicoba ditanyakan kepada para wisatawan yang datang ke kota itu pada pekan terakhir Desember 2014. Lalu, apa jawabannya? Jawabnya ternyata hanya satu kalimat: ''Di sana ada Jam Gadang!''

Bagi publik, ingatan akan peristiwa penyerbuan Belanda ke Bukittinggi pada 19 Desember 1948 memang sudah terhapus dari benak. Adanya keputusan presiden yang telah memutuskan bahwa tanggal itu sebagai 'Hari Bela Negara' pun hanya sedikit berbekas di kepala banyak orang. Masyarakat kebanyakan hanya tahu, Bukittinggi sekadar kota wisata di tengah Pulau Sumatra yang berudara sejuk.

Ingatan sebagai ibu kota negara yang berkaitan dengan peristiwa pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Kolonial Belanda, sudah tanggal. Ironi ini begitu nyata dengan melihat kenyataan tak ada peringatan yang serius mengenai peristiwa ini, baik itu di Bukittinggi maupun Sumatra Barat secara keseluruhan. Paling-paling penandanya hanya acara sekadar upacara bendera.

                          *****

Wali Kota Bukittinggi Ismet Amzis mengatakan, memang selama ini masyarakat lebih mengenal Bukittinggi sebagai kota wisata. Namun, sebenarnya kota ini juga mempunyai nilai sejarah yang tinggi. Publik di Indonesia seharusnya tahu bahwa selain Yogyakarta, Bukittinggi pernah menjadi pusat perjuangan kemerdekaan dan sekaligus juga ibu kota negara Republik Indonesia.

                     

''Selama ini Bukittingi lebih dikenal sebagai kota wisata. Namun, pada sisi lain, nilai kesejarahan kota ini sebagai kota perjuangan semasa perjuangan kemerdekaan juga sangat tinggi. Selain punya banyak peninggalan sejarah, Bukittinggi pernah menjadi ibu kota negara pada 22 Desember 1948 sampai 13 Juli 1949 atau semasa terbentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRU) yang dipimpin Mr Syafrudin Prawiranegara,'' kata Ismet.

Menurut Ismet, keinginan untuk menjadikan Bukittinggi sebagai kota perjuangan sudah sangat lama. Berbagai peninggalan sejarah kebangsaan banyak berserak di kota ini, seperti rumah kelahiran Bung Hatta, Tugu PDRI, dan Istana Bung Hatta. ''Namun, keinginan itu tersendat dalam perjalanannya. Nah, sekarang keinginan itu sudah terwujud. Tinggal mewujudkannya secara lebih konkret dengan memperkenalkannya secara luas ke publik.''

Dan, memang pada Jumat, 19 Desember lalu, pencanangan tersebut telah dilakukan di Lapangan Wirabraja, Bukittinggi. Upacara diikuti jajaran TNI, Polri, korps veteran, keluarga pejuang, DHD 45, Korpi, mahasiswa, dan pelajar.

Di panggung utama turut hadir keluarga Mr Syafrudin Prawiranegara, sastrawan Taufiq Ismail, hingga anggota DPR asal Bukittinggi. Pencanangan tersebut dilakukan Wakil Kedua DPR RI Fadli Zon. Pada malam harinya di 'Rumah Budaya Aie Angek', sejarawan Taufik Abdullah memberikan renungan andil Bukittinggi dan Sumatra Barat dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.

"Bukittinggi memiliki saham yang besar terhadap Republik Indonesia. Kota ini punya peran strategis dalam sejarah perjuangan bangsa. Republik Indonesia belum tentu ada kelanjutannya tanpa Bukittinggi. Sebab, melalui PDRI yang lahir di Bukittinggi, eksistensi Indonesia tetap ada walaupun pemimpin bangsa ditawan penjajah,'' kata Fadli.

Saham besar itu dilakukan para pejuang bangsa bersama Syafruddin Prawiranegara saat membentuk PDRI bersamaan dengan agresi Belanda II di Yogyakarta pada 19 Desember 1948. ''Pada hari yang sama, Bukittinggi juga diserbu Belanda. Atas inisiatif (karena telegram tak sampai), menteri kemakmuran saat itu, Pak Syafruddin, yang tengah berada di Bukittinggi membentuk PDRI. Setelah itu, barulah perjuangan secara berpindah-pindah dilaksanakan di pedalaman Sumatra Barat, yakni di Halaban, Koto Tinggi, Sumpur Kudus, sampai Bidar Alam.''

Tak hanya itu, Bukittinggi juga telah melahirkan berbagai tokoh pejuang bangsa, seperti Agus Salim, Moh Hatta, Tan Malaka, Hamka, dan lainnya. Dan, tak hanya mengemban sebagai ibu kota, PDRI juga pernah menjadi ibu kota Provinsi Sumatra, ibu kota Sumatra Tengah, serta ibu kota Sumatra Barat.

 

                        ****

Terkait penetapan Bukittinggi sebagai 'Kota Perjuangan', sejarawan LIPI Taufik Abdullah menyatakan sebagai keputusan yang tepat dan bernilai strategis. Hal ini karena keberadaan kota tersebut memang sudah tidak bisa dilepaskan dari eksistensi negara Indonesia.

''Mudah-mudahan dengan ditetapkannya Bukittinggi menjadi kota perjuangan, maka akan ada semangat baru untuk mengejar kemajuan pembangunan. Sebab, bagaimanapun Sumatra Barat, dalam hal ini Bukittinggi, mempunyai peran sejarah sangat penting bagi bangsa Indonesia. Bukittinggi itu kelahiran Bung Hatta, tempat sekolah Tan Malaka, dan kampung ayah Syahrir. Jadi, kecuali Sukarno, tiga bapak bangsa terkait dengan kota ini. Belum lagi tokoh nasional penting lainnya juga banyak berasal dari sini,'' ujar Taufik Abdullah menegaskan.

Namun, lanjut Taufik, pada saat ini memang ada sedikit kemirisan ketika membaca keadaan wilayah Sumatra Barat. Ada dua penelitian terakhir tentang penelitian mengenai profil provinsi di Indonesia. Hasil penelitian ini memang membuat mengurut dada karena menyatakan Sumatra Barat peringkatnya berada di posisi 20 dari seluruh provinsi yang ada di negeri ini.

Bila dibandingkan, fenomena ini berbeda dengan suasana Sumatra Barat pada zaman Orde Baru. Saat itu, provinsi ini sempat mendapat dua 'Parasamnya Nugraha' (penghargaan pembangunan—Red) sebagai daerah terbaik selama Pelita. Adanya penghargaan pembangunan hingga dua kali ini menjadikan Sumatra Barat sebagai satu-satunya daerah di luar Jawa yang berhasil meraih penghargaan ini. ''Pesaing pembangunan wilayah ini pada zaman Orde Baru hanyalah Provinsi Jawa Timur dan DKI Jakarta,'' ujar Taufik.

Bukan hanya itu, lanjut dia, keberhasilan tersebut menjadi sangat berarti karena Sumatra Barat pada masa awal Orde Baru itu baru saja ke luar dari suasana konflik PRRI. Namun, sayangnya keberhasilan ini belum muncul meski sudah cukup lama memasuki era reformasi.

''Jadi, di waktu Orde Baru rupanya mereka bisa langsung bersama-sama mendorong kemajuan pembangunan di wilayah ini. Pertanyaannya, mengapa pada masa seusai reformasi ini kok keadaannya mundur? Saya tak tahu apa penyebabnya karena tak ikut meneliti,'' ujarnya.

Uniknya lagi, bila Indonesia yang sampai tahun 2030 mengalami 'bonus demografi', situasi ini tidak terjadi di tiga wilayah Indonesia, yang salah satunya adalah Sumatra Barat. Di wilayah ini, tenaga produktif terus terserap ke luar atau pergi merantau.

''Ya harapannya, penetapan Bukittinggi sebagai kota perjuangan merupakan langkah awal untuk meraih kemajuan Tanah Minang,'' ujar Taufik berharap. oleh: muhammad subarkah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement