Senin 01 Dec 2014 16:00 WIB

Kejadian Acak dengan Tokoh-Tokoh di sekitar Cak Munir

Red:

Dalam kurun 2006-2012 saya selalu dipertemukan dengan pihak-pihak yang terkait dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir. Semua pertemuan terjadi kebetulan, entah itu di kafe, di selasar bank, di rumah makan, dan di penjara. Mereka yang tak sengaja saya temui adalah Raymond (Ongan) Latuihamalo (saksi kunci), Suciwati (istri almarhum Munir), Pollycarpus Budihari Priyanto (terpidana), dan Muchdi PR (tersangka).

Saya bertemu bertatap muka langsung dengan ketiga pihak yang pertama, sementara dengan Muchdi saya tak bertemu langsung. Namun, dalam setiap kesempatan itu saya tak pernah bisa menegur mereka. Entah apa itu artinya.

Pertemuan pertama saya terjadi pada 2006. Saya lupa waktu persisnya. Ketika itu saya usai meliput Menteri Keuangan Sri Mulyani di DPR. Saya dan beberapa wartawan memutuskan untuk menulis berita sambil minum kopi di kedai kopi Starbucks di FX Senayan, tak jauh dari gedung DPR. Kami duduk di teras kedai.

Saya masuk ke dalam untuk memesan kopi. Usai membayar pesanan di kasir, saya menoleh ke arah kiri. Situasi kedai kopi sore itu sepi.

Hanya tiga meja yang ada tamu. Dua meja di dalam, satu meja di luar, yaitu rombongan saya. Ketika saya menoleh, mata saya bertemu dengan mata sesosok pria tinggi, berambut panjang, dengan kacamata hitam bertengger di atas kepalanya.

Saya bertemu Ongen Sangaji. Dia menatap balik ke arah saya sambil tersenyum kecil. Seingat saya, saya tak membalas senyuman Ongen. Saya mengambil kopi pesanan dan bergegas ke luar. Lucunya, ketika itu saya tak kenal Ongen Sangaji. Hanya saya menganggap wajahnya familier. Saya merasa seperti pernah melihatnya di televisi.

Baru kemudian ketika pers "menemukan" Ongen di ruang sidang, dan fotonya bertebaran di media massa dan televisi, saya teringat kejadian di Starbucks itu. "Itu Ongen dalam kasus Munir ternyata," ujar saya dalam hati. Sangat kebetulan saya bertemu Ongen di Starbucks, sementara Ongen melihat Munir di kedai kopi Coffee Bean di Bandara Changi, Singapura, sesaat sebelum Munir wafat.

Pertemuan kedua saya dengan Mbak Suciwati, istri almarhum Munir. Ini terjadi di 2007, saya juga lupa persisnya. Yang saya ingat, ketika itu malam, mungkin sekitar pukul 21.00 WIB-22.00 WIB. Saya usai pulang kantor di Warung  Buncit mampir ke kawasan Menteng. Ada satu bank, Lippo Bank, di sana yang kalau malam terasnya menjadi tempat nongkrong tamu-tamu Menteng.

Malam itu saya mengambil uang di ATM Lippo tersebut. Menteng jelang tengah malam memang ramai. Banyak pedagang makanan buka kedai di samping Lippo. Tamu yang datang duduk di meja kedai atau duduk di teras Lippo itu. Di teras itu saya melihat Mbak Suciwati. Dia mengenakan baju hitam dan celana jeans. Posisi duduknya agak rebah. Ia bersama satu orang teman. Mereka berbicara dengan nada pelan.

Saya sejenak mengamati Mbak Suciwati dan rekannya, karena posisi duduk mereka yang nyaris rebahan itu agak aneh. Dari remang-remang neon pedagang, ini karena teras Lippo selalu gelap, saya bisa melihat wajah Suciwati. Ia tampak sendu. Matanya seperti berkaca-kaca. Bicaranya sepatah-patah. Lagi-lagi saya baru ngeh kalau itu Suciwati Munir ketika berada di atas motor jauh dari Menteng. Ketika melihat langsung, saya hanya merasa perempuan itu sangat terkenal. "Tapi siapa dia?"

Pertemuan ketiga saya dengan Pollycarpus. Pada pertengahan 2008 saya mendapat tugas meliput beberapa situs sejarah terkait Bung Karno di Jawa Barat. Saya mampir ke Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung. Di sana saya meliput sel Bung Karno yang terkenal itu.

Setelah meliput sel, rombongan saya dibawa ke bengkel untuk melihat tempat kerja Bung Karno memotong kertas dan buku.

Di tengah jalan, saya melihat Pollycarpus berdiri. Ia sedang merokok tak jauh dari satu bangunan. Saya dan satu teman lagi melepaskan diri dari rombongan, menuju ke Pollycarpus. Kami menyapanya dan ia menyapa balik.

"Apa kabar, Mas?"

"Baik, baik. Ya, beginilah saya," katanya dengan pelan.

Pollycarpus berbicara dengan nada santai tapi tegas. Struktur kalimatnya sangat rapi. Di akhir kalimat ia kerap mengatakan, "Begitu, kan?" seolah mengajak kami untuk setuju dengan pernyataannya. Saya dan rekan hanya mengangguk-angguk. Satu sipir memanggil kami.

Tangannya melambai, meminta kami menjauh dari sosok yang dituding sebagi anggota BIN itu. Kami pun pamitan dengan dia. Sialnya, sepanjang percakapan singkat itu saya justru lupa menanyakan satu hal penting, "Mengapa Anda melakukannya?"

Perjumpaan terakhir pada 2012. Saya dan beberapa teman mendapat tugas kantor untuk merancang majalah remaja Islam. Jadilah pada Februari 2012 kami beberapa kali rapat di luar kantor. Seingat saya, dua kali kami rapat di satu restoran di Jalan Pejaten Barat. Saya lupa nama restorannya, tapi ketika itu restorannya memang baru buka beberapa pekan. Menu nasi goreng buntutnya lezat.

Belakangan saya baru dapat kabar bahwa pemilik restoran itu masih ada hubungan keluarga dengan Muchdi PR, mantan komandan jenderal Kopassus dan petinggi Badan Intelijen Negara yang terseret kasus pembunuhan Munir. Pengadilan Negeri Jaksel pernah menyidangkan kasus Muchdi PR, tetapi ia akhirnya bebas karena tak ada bukti yang kuat.

Barulah setelah Polly bebas bersyarat pekan kemarin, saya kembali teringat dengan semua "ketidaksengajaan bertemu" ini. Apa isyarat yang ingin disampaikan oleh nasib? Saya tak tahu. Mungkin ada maknanya, tapi bisa jadi tidak ada sama sekali. Hanya sekadar kejadian acak dalam hidup. Tetapi tentu tewasnya Munir bukanlah "kejadian acak". Saya termasuk yang percaya ada skenario besar di balik itu. Munir tewas di akhir masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Kepala BIN ketika itu adalah AM Hendropriyono. N

Stevy Maradona

Email: [email protected]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement