Jumat 07 Nov 2014 11:00 WIB

Beratnya Beban Kepemimpinan

Red:

Ketika menjabat sebagai khalifah, Umar bin Khattab RA suatu kali pernah bertutur, "Seandainya seekor keledai terperosok ke sungai di kota Baghdad, nicaya Umar akan dimintai pertanggungjawabannya dan ditanya, ‘Mengapa engkau tidak meratakan jalan untuknya?’."

Demikian berat cakupan definisi tanggung jawab seorang pemimpin bagi Umar bin Khattab. Ia yang berada di Madinah dengan segala keterbatasan komunikasi dan transportasi saat itu masih memikirkan tanggung jawabnya akan apa yang terjadi ribuan mil di Kota Baghdad.

Ketua Umum Persatuan Islam (Persis) Prof KH Maman Abdurrahman mengatakan, jika definisi pemimpin yang dipahami orang-orang saat ini sama apa yang dipahami Umar bin Khattab, tentu tidak ada orang berkeinginan menjadi pemimpin. Saat ini, orang berlomba-lomba mengajukan diri menjadi wakil rakyat baik di eksekutif maupun legislatif. Pahamkah mereka dengan definisi kepemimpinan seperti yang dituturkan Umar bin Khattab?

"Itulah beratnya menjadi seorang pemimpin. Di akhirat dia akan ditanya berbagai masalah kepemimpinannya. Kalau dilihat dari aspek tanggung jawabnya, tidak akan ada orang berbondong-bondong untuk menjadi pemimpin," ujar KH Maman kepada Republika, Selasa (4/11).

Dalam berbagai riwayat disebutkan, Rasulullah SAW tidak menyukai orang yang menyatakan dirinya ingin menjadi pemimpin. Abu Musa RA pernah meriwayatkan tentang dua orang yang datang kepada Rasulullah dan berkata, "Angkatlah aku ini sebagai amir, wahai Rasulullah!"

Menanggapi permintaan orang tersebut, Rasulullah SAW pun bersabda, "Aku tidak akan menyerahkan ini kepada orang yang meminta dan tidak juga kepada yang sangat menginginkannya." (HR Bukhari Muslim). Rasulullah SAW malah menyerahkan jabatan tersebut kepada Abu Musa yang tak pernah meminta jabatan.

Menurut Kiai Maman, dalam Islam jelas diterangkan meminta jabatan bukanlah adab seorang Muslim. Justru orang yang takut mengemban amanah, dialah yang pantas mendapatkannya. Karena dia menyadari, betapa besar amanah yang akan tertopang di pundaknya. Dia terancam di akhirat jika tidak menjalankan amanah tersebut dengan sebaik-baiknya. "Orang yang kuat itu bukanlah orang yang sanggup mengemban beban berat, tapi orang yang sanggup mengemban amanah dengan baik," katanya.

Sekretaris Jenderal Internasional Conference of Islamic Scholars (ICIS) KH Hasyim Muzadi menambahkan, seorang pemimpin harus mempunyai integritas dan kapabilitas dalam berbagai bidang sebagai bekalnya dalam memimpin. Inilah yang menjadikannya berbeda dari orang biasa. Pemimpin bukanlah orang sembarangan dan harus memiliki nilai lebih dari yang dipimpinnya.

Menurut Kiai Hasyim, untuk memimpin Indonesia yang kompleks dengan suku, agama, dan budaya, diperlukan seorang pemimpin yang berjiwa moderat. Moderat berarti pemimpin yang bisa menjadi jalan tengah bagi seluruh elemen-elemen bangsa. "Di sinilah perlunya prinsip al-Wasathiyah (jalan tengah) di segala bidang. Misalkan, di bidang ekonomi. Ekonomi harus dibangun secara merata. Jangan hanya dikuasai sekelompok kecil orang saja," ujar mantan ketua umum PBNU tersebut.

Menurutnya, pemimpin bangsa harus berkomitmen mempertahankan prinsip tawasuth (moderat) dan berkeadilan. Hal itulah yang saat ini langka dan hampir menghilang di Indonesia. "Selain keadilan dalam akses ekonomi, prinsip ini juga diperlukan dalam pendidikan agar anak bangsa memiliki keseimbangan berpikir dan bersikap. Begitu juga dalam budaya, hukum, dan politiknya," katanya.

Selain itu, Ketua Umum Pengurus Pusat Hidayatullah KH Abdul Mannan menambahkan, pemimpin bertanggung jawab menciptakan kerukunan dan ketenteraman antarumat beragama. Menurutnya, pertikaian berbau sara merupakan salah satu kelalaian pemimpin dalam menciptakan sistem yang kondusif bagi masyarakat Indonesia yang heterogen. "Saran saya, pemimpin dalam hal ini presiden bisa mengumpulkan seluruh ulama, pendeta, dan pemimpin-pemimpin agama agar mereka bisa mengarahkan umatnya masing-masing untuk menciptakan kedamaian dan kerukunan beragama," ujarnya menjelaskan.

Abdul Mannan juga memesankan agar meneladani model kepemimpinan Rasulullah SAW. Rasulullah diklaim sebagai orang tersukses sepanjang masa dalam memimpin umatnya. "Model kepemimpinan ala Islam sudah bisa dipertanggungjawabkan dan teruji kesuksesannya. Sebagaimana pada zaman Rasulullah, sahabat, dan tabi’in dahulu, lihat saja tidak ada waktu itu rakyatnya yang tidak sejahtera. Tidak ada orang mustahik (penerima zakat), yang ada hanya muzakki (donatur zakat)," katanya.

Dia juga mengungkapkan, pemimpin yang idealis dan Islami harus didukung oleh rakyatnya. Ketika sudah menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya maka pemimpin itu berhak untuk didukung oleh rakyatnya. Pemimpin yang disebut dalam Alquran sebagai ulil amri harus dipatuhi, sebagaimana patuh kepada Allah dan Rasul-Nya. n ed: hafidz muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement